Kelompok hak asasi manusia Israel, B’Tselem, menegaskan bahwa Israel memanfaatkan perhatian dunia yang teralihkan untuk melakukan pembersihan etnis di Gaza utara, lansir Middle East Eye pada Kamis (24/10).
B’Tselem, yang merupakan salah satu kelompok hak asasi terkemuka di Israel, telah menerbitkan laporan pada Januari 2021 yang menyebut Israel sebagai negara apartheid. Dalam pernyataan terbarunya pada Selasa, B’Tselem menuduh Israel berencana secara paksa memindahkan penduduk Gaza utara dan melakukan kejahatan berat berdasarkan hukum perang.
Mereka melaporkan bahwa ratusan ribu orang saat ini menghadapi kelaparan, penyakit tanpa akses ke layanan medis, serta serangan udara dan tembakan yang tak henti-henti. Israel juga disebut memutus hubungan warga Gaza dengan dunia luar.
Sejak 5 Oktober, Gaza utara berada di bawah pengepungan hampir total oleh Israel, dengan akses makanan, air bersih, dan pasokan medis yang sangat terbatas. B’Tselem menuduh Israel memanfaatkan situasi ini untuk mengubah realitas di lapangan secara permanen.
“Lebih dari 50.000 orang telah dipaksa meninggalkan rumah mereka sejak ofensif dimulai. Tiga rumah sakit yang masih beroperasi di Gaza utara berada di ambang kehancuran dan rentan terhadap serangan,” ungkap kelompok tersebut. Mereka juga melaporkan bahwa kamp pengungsian yang digunakan warga Palestina sebagai tempat perlindungan turut menjadi target serangan Israel.
Beberapa kesaksian yang berhasil keluar dari Gaza utara menggambarkan kondisi tragis dengan mayat di jalanan, kelaparan, ketiadaan air minum, dan warga sipil yang tewas dalam serangan bom tanpa peringatan.
Pekan lalu, media Israel melaporkan adanya bukti bahwa rencana untuk membersihkan Gaza utara dari penduduk Palestina sedang dijalankan.
Tiga tentara cadangan Israel yang bertugas di Gaza mengatakan kepada surat kabar Haaretz bahwa mereka percaya Rencana Jenderal—juga dikenal sebagai Rencana Eiland—sedang diimplementasikan.
B’Tselem juga menyebut bahwa masyarakat internasional menunjukkan ketidakmampuan menghentikan serangan Israel terhadap warga sipil selama setahun terakhir.
Mereka menyerukan komunitas global untuk menggunakan instrumen politik, hukum, dan ekonomi untuk menghentikan pembunuhan massal dan pengepungan di Gaza utara.
Sejak perang dimulai lebih dari setahun yang lalu, lebih dari 42.700 warga Palestina telah tewas, sementara lebih dari 100.000 lainnya terluka.