Sejumlah media internasional dan Israel menyoroti eskalasi terbaru di Suriah dan Gaza, dengan menyorot ambisi Israel untuk menempatkan diri sebagai penguasa tatanan baru di Timur Tengah.
Laporan-laporan tersebut mengkritisi peran aktif Israel dalam memperparah ketidakstabilan kawasan, terutama lewat kebijakan militer agresif dan intervensi yang dinilai telah melewati batas.
Dalam laporan utamanya, The Wall Street Journal (WSJ) menyebut bahwa “garis merah” yang ditetapkan Israel di Suriah justru menyeretnya lebih dalam ke dalam konflik.
Media asal Amerika Serikat (AS) itu mengungkap bagaimana Israel memanfaatkan keruntuhan rezim Bashar al-Assad untuk melumpuhkan kekuatan militer Suriah.
Selain itu, Israel juga memperluas tuntutan terhadap negara tersebut, termasuk keinginan menciptakan zona bebas senjata di selatan Damaskus serta ancaman intervensi militer langsung.
Namun, pendekatan ini, menurut WSJ, malah menempatkan Israel dalam konfrontasi yang makin terbuka dengan Damaskus.
Bahkan, tulisnya, hal itu berpotensi memicu ketegangan langsung dengan Turki, sesama aktor regional besar di kawasan yang tidak selalu sejalan dengan Tel Aviv.
Sementara itu, harian Libération asal Prancis dalam tajuk analisisnya mempertanyakan kondisi tersebut.
“Siapa yang bisa menghentikan Israel?” katanya.
Media tersebut menyebut Israel sebagai aktor utama dalam menciptakan instabilitas di kawasan, dan menyayangkan diamnya negara-negara Eropa serta dukungan tak bersyarat dari AS.
Dalam sorotannya terhadap serangan udara ke Damaskus, Libération menilai bahwa Israel sedang berusaha menjadi satu-satunya penguasa regional di tengah kekacauan yang turut mereka desain.
Di sisi lain, lembaga analisis strategis Stratfor menilai bahwa AS kini kesulitan membentuk strategi jangka panjang yang efektif di Suriah pasca keruntuhan pemerintahan Assad.
Washington, menurut laporan tersebut, masih terombang-ambing antara keterlibatan terbatas dan upaya menjauh dari konflik.
Namun pendekatan seperti ini, jika terus berlanjut tanpa keterlibatan proaktif, dikhawatirkan akan menghasilkan konsekuensi yang tidak diinginkan di lapangan.
Derita tak kunjung usai di Gaza
Sementara itu, situasi kemanusiaan di Jalur Gaza turut menjadi sorotan tajam media internasional.
The Economist mengangkat potret memilukan warga Palestina yang harus mempertaruhkan nyawa demi memperoleh bantuan kemanusiaan.
Dalam laporannya, majalah terkemuka Inggris ini mengungkap bagaimana tentara Israel dan para kontraktor keamanan sering kali menutup paksa pusat distribusi bantuan atau bahkan melepaskan tembakan begitu mereka menilai ada potensi gangguan keamanan.
“Warga Palestina terus mati demi makanan,” tulis The Economist.
Meski begitu, Israel terus mengklaim bahwa distribusi bantuan berjalan sesuai rencana.
Dari sisi kemanusiaan, The Guardian memuat tulisan dokter asal Australia, Dr. Tien Minh Dinh, yang secara sukarela bekerja di Gaza.
Ia menolak anggapan bahwa para relawan asing adalah pahlawan sebenarnya.
“Pahlawan sejati adalah warga Gaza—anak-anak, tenaga medis, dan warga sipil—yang tetap datang bekerja setiap hari selama lebih dari 650 hari di tengah horor perang,” tulisnya.
Sementara itu, dalam opini tajam yang dimuat di Haaretz, disebutkan bahwa Israel saat ini menjalankan dua agenda secara bersamaan. Yaitu genosida di Gaza dan pembersihan etnis di Tepi Barat.
Artikel itu menyerukan agar perhatian dunia tidak hanya terpusat pada Gaza, tetapi juga pada tindakan sistematis Israel terhadap warga Palestina di wilayah pendudukan lainnya.