Tak ada yang memberi isyarat tentang kehidupan di dalam tenda lusuh milik Muntazah Subh, kecuali jeritan tanpa henti dari ketiga anaknya yang terus-menerus meminta makanan.
Ketiganya menyandang disabilitas intelektual, dan tak satu pun dari mereka memahami bahwa Gaza kini sedang dikepung oleh kelaparan yang melumpuhkan seluruh sendi kehidupan.
Tenda keluarga Subh berdiri berdampingan dengan tempat pembuangan sampah di jantung Kota Gaza—sebuah lokasi yang nyaris tidak layak dihuni manusia.
Anak-anak Muntazah tidak mengerti apa itu blokade atau perang. Mereka juga tak paham mengapa makanan tak tersedia seperti dulu.
Yang mereka tahu hanyalah rasa lapar yang tak pernah pergi, dan kepada ibunyalah mereka terus meminta, berteriak, dan menangis.
Seorang ibu yang kini harus berjuang sendiri meredam jeritan yang tak bisa ia jawab.
Sejak awal Maret lalu, Jalur Gaza hidup di bawah cengkeraman blokade total yang diberlakukan Israel.
Tidak ada makanan, obat-obatan, atau bahan bakar yang masuk. Rumah-rumah hancur, dan tenda menjadi tempat tinggal sebagian besar warga yang tersisa.
Dalam krisis yang melanda seluruh penduduk ini, kelompok paling rentan—seperti penyandang disabilitas intelektual—menghadapi kondisi yang jauh lebih mengerikan dan memilukan.
Diam yang diterkam kelaparan
Sekitar dua bulan lalu, Muntazah bersama anak-anaknya mengungsi dari Beit Lahia di Gaza bagian utara menuju Kota Gaza. Rumahnya luluh lantak oleh serangan udara.
Kini ia tinggal di sebuah tenda sederhana yang disumbangkan oleh lembaga amal. Sejak saat itu, Muntazah tak memiliki sumber penghasilan.
Ia bergantung sepenuhnya pada belas kasih orang-orang dan makanan dari dapur umum yang kian hari makin jarang tersedia.
Kekurangan pangan dan terbatasnya bantuan memperburuk kondisi keluarga kecil ini. Ketiga anaknya tak bisa memahami mengapa mereka harus lapar.
“Dulu saya punya rumah di Beit Lahia, meski sederhana, tapi itu rumah kami, menutupi kami, menjaga martabat kami. Sekarang kami hidup di jalanan,” ujar Muntazah kepada Al Jazeera Net.
Namun kehilangan rumah hanyalah awal dari derita panjang yang harus ia hadapi. 3 putranya—Shaqer (25), Sakher (23), dan Ahmad (22)—tidak mampu memahami apa arti “perang”, “blokade”, atau “kelaparan”.
“Mereka tidak tahu apa artinya tidak ada makanan. Mereka bangun tidur dan langsung minta makan. Saya bilang: ini perang. Mereka jawab: kami lapar. Saya minta mereka sabar sebentar, tapi mereka berteriak, melempar barang, mengancam membakar tenda,” tutur Muntazah dengan suara yang nyaris patah.
Sudah sebulan berlalu tanpa sepotong roti pun masuk ke tenda mereka. Tak ada tepung, tak ada bahan pokok lain.
Ketika makanan datang, biasanya hanya lentil merah—sumbangan dari kerabat atau para dermawan. Ketiga anaknya tidak menyukai lentil, tetapi mereka tidak punya pilihan.
Suatu kali, Sakher melempar mangkuk makanan ke jalan usai memakannya.
“Saya lapar! Saya mau lagi!” teriaknya sambil mengancam membakar tenda.
Muntazah hanya bisa pasrah.
“Mereka minta makan setiap setengah jam. Mereka tidak bisa memahami bahwa kita sedang perang, dan makan dua atau tiga kali sehari saja kini sudah tak mungkin lagi,” ujarnya.
Kehidupan yang runtuh perlahan
Setiap hari, Muntazah menjalani hidup yang nyaris mustahil. Tanpa jeda. Tanpa istirahat.
Meski tubuhnya sendiri sudah lemah digerogoti diabetes dan tekanan darah tinggi, ia tetap memaksa diri demi ketiga anaknya.
Tubuhnya tak lagi kuat menempuh jarak jauh untuk mencari air, apalagi mengejar anak-anaknya yang sering kali mengamuk atau saling melukai.
“Saya benar-benar tidak kuat lagi. Kadang saya berjalan lalu tiba-tiba roboh. Ketika saya sudah tidak mampu mengendalikan keadaan, saya masuk ke dalam tenda dan tidur. Saya biarkan mereka berteriak, merusak apapun yang ada. Saya tidur bukan karena ingin tidur, tapi karena sudah menyerah pada kelelahan yang luar biasa,” keluhnya.
Namun kelaparan dan keletihan bukan satu-satunya derita. Lokasi tenda yang berdampingan dengan tempat pembuangan sampah membuat tempat tinggal sementara itu menjadi sarang serangga.
Wajah anak-anaknya kerap dipenuhi bekas gigitan. Mereka terbangun di malam hari karena gatal dan perih.
“Sepanjang malam saya memburu serangga. Baru satu saya bunuh, sepuluh lainnya muncul. Baunya juga menyiksa,” tutur Muntazah.
Tenda itu bahkan tidak memiliki toilet. Tak ada pakaian layak, apalagi alas kaki.
Ketiga anaknya kerap berjalan tanpa alas di jalan-jalan Kota Gaza yang penuh puing dan serpihan logam, dengan pakaian yang robek dan dekil.
Di tengah semua ini, Muntazah hanya menggantungkan dirinya pada kekuatan doa. Ia menyadari usianya tidak muda lagi. Ia lelah, tapi tidak boleh menyerah.
“Saya selalu bilang dalam hati: ya Tuhan, beri aku kesabaran menghadapi anak-anakku, menghadapi rasa lapar ini, dan menghadapi manusia,” ungkapnya.
Ledakan jumlah difabel
Penderitaan yang dialami keluarga Muntazah hanya satu contoh kecil dari realitas kelam yang dialami kelompok difabel di Gaza.
Menurut Dr. Iyad al-Kurnaz, Koordinator Sektor Disabilitas di Jaringan Organisasi Masyarakat Sipil Gaza, agresi militer Israel telah menyebabkan lonjakan drastis jumlah penyandang disabilitas.
“Sebelum perang, tercatat sekitar 58.000 orang difabel di Gaza. Kini jumlah itu melonjak sekitar 52 persen, dengan tambahan sekitar 32.000 kasus baru. Mayoritas dari mereka adalah anak-anak yang mengalami amputasi,” ujar al-Kurnaz kepada Al Jazeera Net.
Al-Kurnaz menegaskan bahwa angka tersebut masih belum final.
“Setiap hari kami menerima antara 10 hingga 12 kasus baru,” katanya.
Para penyandang disabilitas, baik yang lama maupun yang baru, kini menghadapi kondisi yang sangat buruk.
Mereka kekurangan makanan, suplemen gizi, vitamin, serta protein yang sangat penting bagi kelangsungan hidup mereka.
Dalam kondisi kelaparan massal seperti sekarang, kelompok difabel menjadi sangat rentan.
Secara khusus, penyandang disabilitas intelektual menghadapi tantangan yang unik. Otak mereka tidak mampu mengenali rasa kenyang, sehingga permintaan makan mereka terus-menerus.
Hal ini tidak hanya menambah tekanan psikologis bagi keluarga mereka, tetapi juga beban fisik dan finansial yang berat.
Lebih jauh, al-Kurnaz menyebutkan bahwa difabel saat ini kekurangan obat-obatan, popok dewasa, serta alat bantu seperti kursi roda dan kaki atau tangan palsu.
Ia juga menyoroti kondisi tempat pengungsian yang tidak ramah bagi kelompok ini.
“Mereka berkompetisi secara tidak adil dengan orang-orang sehat untuk mendapatkan air, makanan, dan pengobatan,” katanya.
Penderitaan difabel makin dalam ketika pusat-pusat rehabilitasi yang menjadi tempat mereka mendapatkan layanan khusus dihancurkan oleh serangan.
Banyak dari mereka juga kehilangan alat bantu pribadi saat mengungsi berkali-kali, dari satu tempat ke tempat lain.
“Penghancuran rumah sakit dan kekurangan layanan kesehatan mempercepat penurunan kondisi fisik mereka, bahkan memperpendek usia hidup sebagian dari mereka,” jelas al-Kurnaz.
Ia juga menekankan betapa kompleksnya penderitaan penyandang disabilitas intelektual yang juga mengalami kelumpuhan otak (cerebral palsy). Mereka membutuhkan nutrisi khusus, peralatan medis, dan kursi roda—semuanya kini tak tersedia.