Oleh: Rifqi Rashidi, Lc., MA.
Penerjemah At-Tuhfah Al-Maqdisiyyah
“Masjid Al-Aqsa berada di tanah Syam… di kota Al-Quds, tempat para singa di hutan belantara.”
— At-Tuhfah Al-Maqdisiyyah, Bait ke-4
Ada satu tempat yang disebut dalam Al-Qur’an sebagai “diberkahi sekelilingnya.”
Tempat itu bukan di Mekkah, bukan di Madinah, tapi di sebuah kota yang hingga hari ini tak pernah sepi dari konflik yaitu Al-Quds, rumah bagi kaum muslimin.
Tapi tahukah kita, bahwa tempat ini tak sekadar penting secara sejarah atau politik? Dalam syair At-Tuhfah Al-Maqdisiyyah, bait demi bait membimbing kita untuk melihat kemuliaan Al-Quds dari lensa wahyu dan iman.
Tiga bait yang menyentuh makna tempat
Bait 4
فالمسجدُ الأقصى بأرضِ الشامِ
في القدسِ حيثُ الأسدُ في الآجامِ
Masjid Al-Aqsa berada di tanah Syam… di kota Al-Quds, tempat para singa di hutan belantara.
Bait 5
أرضُ إليهَا نُجِّيَ الخليلُ
ولوطٌ المُطَهَّرُ النبيلُ
Tanah yang dituju oleh Khalil (Ibrahim) dan Luth… tanah yang mulia dan disucikan dengan anugerah.
Bait 6
خيرُ بِقاعِ الأرض في شرعِ النبي
منْ بعدِ مكة وبعدَ يثربِ
Tempat terbaik di muka bumi menurut syariat Nabi… setelah Mekkah dan Madinah.
Syam: Tempat Para Singa, bukan tanah biasa
Al-Quds berada di tanah Syam ialah tanah yang diberkahi Allah, menjadi rumah bagi para nabi, dan tak pernah sepi dari sejarah panjang perjuangan.
Syair di bait keempat menggambarkan Al-Quds sebagai “tempat para singa di hutan belantara”. Ini bukan sembarang kiasan. Maksudnya, di kota ini selalu ada pejuang, mujahid yang menjaga kehormatan Masjid Al-Aqsa dengan kesabaran dan keteguhan yang luar biasa.
Dari masa Umar bin Khattab, Shalahuddin Al-Ayyubi, hingga para pemuda hari ini Al-Quds selalu melahirkan jiwa ksatria dan pemberani.
Dalam bait kelima, kita diajak menengok ke masa silam: ketika Nabi Ibrahim datang dan berdakwah di tanah ini. Nabi Luth pun demikian. Bahkan, setelah mereka, para nabi lainnya pun menginjakkan kaki dan menyebar cahaya tauhid dari sini.
Masih kurang? Inilah kehormatan yang dimiliki Al-Quds:
- Nabi Ibrahim menetap dan menyeru tauhid
- Nabi Luth berlindung dan memperingatkan kaumnya
- Nabi Daud dan Sulaiman memerintah dengan keadilan
- Dan Nabi Muhammad ﷺ memimpin seluruh nabi dalam shalat di Masjid Al-Aqsa saat Isra’. Dan para nabi lainnya yang sangat banyak.
Ibnu Katsir menulis:
“Tidak ada negeri yang lebih banyak diziarahi dan didiami para rasul selain Baitul Maqdis.”
Jadi jika ada tempat yang betul-betul menyimpan jejak langit, maka Al-Quds-lah tempatnya.
Bukan urutan ketiga, tapi semuanya utama
Dalam bait keenam disebutkan bahwa Al-Aqsa adalah tempat terbaik ketiga dalam Islam, setelah Mekkah dan Madinah. Tapi jangan salah, meskipun urutannya ketiga, tapi semuanya utama di hati orang beriman.
Allah menyebutnya langsung dalam Al-Qur’an:
“…Masjidil Aqsa yang Kami berkahi sekelilingnya…” (QS. Al-Isra’: 1)
Imam Al-Qurtubi menyebut tanah ini sebagai tempat yang dipilih Allah untuk menyebar cahaya risalah. Sementara Ibnu Taimiyah dengan tegas menyatakan:
“Tidak ada tempat di bumi yang menyamai keutamaan Baitul Maqdis setelah Mekkah dan Madinah.”
Tapi hari ini, berapa banyak dari kita yang benar-benar menyadarinya tentang keutamaannya? Atau jangan jangan mereka sudah tidak peduli lagi?
Kalau Mekkah adalah titik lahirnya risalah, dan Madinah tempat ia tumbuh menjadi peradaban, maka Al-Quds adalah tempat langit dan bumi bertemu. Tempat di mana Nabi ﷺ memimpin shalat para nabi. Tempat di mana beliau mengawali perjalanannya menuju Sidratul Muntaha.
Tempat itu masih ada. Tapi ia tidak hanya menunggu dikenang ia harus dibela.
خيرُ بِقاعِ الأرض في شرعِ النبي
منْ بعدِ مكةٍ وبعدَ يثربِ
“Tempat terbaik di muka bumi menurut syariat Nabi… setelah Mekkah dan Madinah.”
Kalau para nabi begitu dekat dengan tanah ini, bagaimana dengan kita?
Jangan sampai Al-Quds hanya jadi nama yang kita tahu… tapi tidak kita bela.
Jangan sampai Al-Aqsa hanya hadir dalam khutbah… tapi hilang dari hati kita.
Al-Quds tidak butuh banyak retorika, ia hanya butuh umat yang kembali sadar bahwa tempat itu adalah bagian dari iman kita sendiri.
Catatan: Artikel ini diadaptasi dari bait 4–6 Mandhumah At-Tuhfah Al-Maqdisiyyah, karya Dr. Al-Bashir Issom Al-Marokishi, dengan penjelasan oleh Rifqi Rashidi, Lc., MA.