Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengadopsi sebuah resolusi yang memberikan mandat pembentukan pasukan keamanan internasional di Jalur Gaza. Langkah ini menjadi kemenangan diplomatik bagi pemerintahan Presiden Donald Trump, hanya sehari sebelum kedatangan Putra Mahkota Arab Saudi di Washington.
Resolusi tersebut lolos dengan 13 suara setuju, sementara Rusia dan China memilih abstain.
Teks rancangan yang disusun Amerika Serikat itu mengacu pada rencana perdamaian Gaza versi Trump yang berisi 20 poin.
Pada tahap pertama, Israel dan Hamas telah menyepakati gencatan senjata bulan lalu. Gencatan senjata tersebut relatif bertahan, meski Hamas belum menyerahkan jenazah beberapa sandera yang telah meninggal, dan Israel belum sepenuhnya melonggarkan pembatasan bantuan seperti yang disyaratkan.
Pemungutan suara ini berlangsung sehari sebelum Putra Mahkota Saudi, Mohammed bin Salman, dijadwalkan bertemu Trump di Gedung Putih. Kunjungan ini menjadi yang pertama ke AS sejak 2018.
Trump mendorong Riyadh untuk menormalisasi hubungan dengan Israel, namun Saudi menegaskan bahwa langkah tersebut hanya mungkin terjadi jika ada kemajuan signifikan menuju pembentukan negara Palestina.
Arab Saudi bersama Qatar, Mesir, Uni Emirat Arab, Indonesia, Pakistan, Yordania, dan Turki mengeluarkan pernyataan bersama pada Jumat lalu untuk mendukung resolusi tersebut. Resolusi itu memberi mandat bagi pasukan stabilisasi internasional hingga akhir 2027. Beberapa negara sebelumnya telah menyatakan bersedia mengirim pasukan, tetapi menunggu mandat resmi PBB.
Dalam isi resolusi disebutkan bahwa pasukan stabilisasi akan bekerja sama dengan Israel dan Mesir, serta kepolisian Palestina yang baru dilatih, untuk mengamankan perbatasan Gaza dan memastikan kawasan itu bebas dari senjata dengan cara melucuti persenjataan Hamas dan menghancurkan infrastruktur militernya.
Namun, resolusi tidak merinci aturan operasi maupun mekanisme pelucutan senjata jika Hamas menolak melakukannya secara sukarela. Mandat penegakan dari Dewan Keamanan pun tidak dijelaskan secara tegas.
Duta Besar AS untuk PBB, Mike Waltz, menggambarkan pasukan tersebut sebagai “koalisi kuat penjaga perdamaian” yang berasal dari negara-negara mayoritas Muslim termasuk Indonesia dan Azerbaijan, yang akan “bertugas di bawah satu komando terpadu”.
“Mereka akan mengamankan jalan-jalan di Gaza,” ujar Waltz sebelum pemungutan suara.
Setelah stabilitas dan kendali operasional tercapai, militer Israel akan menarik diri sepenuhnya, “kecuali kehadiran di perimeter keamanan yang akan dipertahankan hingga Gaza benar-benar aman dari potensi kebangkitan kembali ancaman teror.”
Resolusi itu juga mendukung pembentukan Board of Peace yang akan mengawasi sementara tata kelola serta rekonstruksi Gaza.
Draf awal AS tidak memuat rujukan pada negara Palestina. Namun, setelah tekanan dari sejumlah negara anggota, AS merevisinya pekan lalu dengan menyatakan bahwa “kondisi kini dapat membuka jalan yang kredibel menuju penentuan nasib sendiri dan kenegaraan Palestina,” setelah otoritas Palestina menjalankan reformasi dan rekonstruksi Gaza menunjukkan kemajuan.
“Amerika Serikat akan memfasilitasi dialog antara Israel dan Palestina untuk menyepakati horizon politik bagi hidup berdampingan secara damai dan sejahtera,” demikian isi resolusi.
Dalam rapat kabinet pada Minggu, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu kembali menegaskan penolakannya terhadap pembentukan negara Palestina dan bersumpah akan mendemiliterisasi Gaza “dengan cara mudah atau cara sulit.”
Pemungutan suara pada Senin ini berlangsung setelah hujan deras di akhir pekan menyebabkan banjir di kamp-kamp pengungsian dan tempat penampungan darurat yang menampung warga Palestina yang mengungsi akibat perang selama dua tahun terakhir.
Bulan lalu, Organisasi Migrasi Internasional menyebut lebih dari 1,5 juta warga Gaza membutuhkan bantuan darurat untuk tempat tinggal.

