Sejumlah negara Eropa anggota Dewan Keamanan (DK) PBB mengecam meningkatnya kekerasan pemukim Israel terhadap warga Palestina di Tepi Barat dan Yerusalem Timur. Mereka mencatat lebih dari 260 serangan ilegal pemukim Israel hanya dalam satu bulan. Pernyataan tersebut disampaikan pada Selasa, seperti dilaporkan Anadolu.
Berbicara atas nama kelompok E5—Denmark, Perancis, Yunani, Slovenia, dan Inggris—Duta Besar Inggris untuk PBB James Kariuki mengatakan DK PBB akan menggelar pertemuan untuk membahas Resolusi 2334.
Resolusi tersebut secara tegas mengecam aktivitas permukiman Israel dan menyerukan agar Israel mematuhi kewajibannya berdasarkan hukum internasional.
Kariuki memperingatkan bahwa pemerintah Israel terus menerapkan kebijakan yang bertentangan dengan resolusi tersebut dan berkontribusi pada meningkatnya ketidakstabilan di Tepi Barat.
Kondisi itu, menurut dia, berisiko merusak pelaksanaan rencana 20 poin untuk Gaza serta mengancam prospek solusi dua negara dan perdamaian jangka panjang di kawasan.
“Kami dengan tegas mengecam lonjakan kekerasan pemukim yang belum pernah terjadi sebelumnya terhadap warga sipil Palestina dari berbagai latar belakang agama di Tepi Barat dan Yerusalem Timur, dengan tahun 2025 menjadi tahun paling brutal yang pernah tercatat,” ujar Kariuki.
Mengutip data Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA), Kariuki menyebutkan bahwa terdapat lebih dari 260 serangan terhadap warga Palestina dan properti mereka hanya pada Oktober. Ia menilai situasi tersebut sangat mengkhawatirkan.
“Serangan-serangan ini meneror warga sipil, menghambat upaya perdamaian, dan bahkan mengancam keamanan Israel sendiri,” kata Kariuki, seraya mendesak Israel untuk memenuhi kewajibannya menurut hukum internasional dan melindungi warga Palestina di wilayah pendudukan.
Kelompok E5 juga menegaskan kembali seruan agar status quo di tempat-tempat suci Yerusalem tetap dipertahankan dan dihormati.
“Kami kembali menegaskan penolakan tegas terhadap segala bentuk aneksasi serta kebijakan permukiman pemerintah Israel yang melanggar hukum internasional,” ujar Kariuki. Ia menyoroti keputusan Israel mengalokasikan dana sebesar 2,5 miliar shekel untuk permukiman ilegal, penggusuran paksa warga Palestina di Yerusalem Timur, persetujuan rencana permukiman E1, serta pembangunan ribuan unit rumah baru yang dinilai berpotensi mengganggu stabilitas dan melemahkan kelayakan solusi dua negara.
Kariuki juga menekankan pentingnya peran Badan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA). Ia menyatakan keterkejutannya atas masuknya otoritas Israel ke kompleks UNRWA di Yerusalem Timur pada 8 Desember tanpa izin sebelumnya.
Ia menegaskan bahwa fasilitas PBB memiliki status yang tidak dapat diganggu gugat berdasarkan hukum internasional dan menuntut Israel untuk menghormati serta sepenuhnya mematuhi kewajiban hukumnya.
Terkait kondisi ekonomi yang rapuh di Tepi Barat, Kariuki menyoroti penahanan pendapatan pajak Palestina, ancaman penghentian hubungan perbankan koresponden, serta pembatasan transfer mata uang shekel yang dinilainya tidak dapat dibenarkan.
“Kebijakan ini berisiko memicu keruntuhan keuangan di Tepi Barat dan krisis fiskal bagi Otoritas Palestina, yang akan melemahkan kemampuannya dalam memberikan layanan publik, melakukan reformasi, dan mengambil tanggung jawab di Gaza sebagaimana diamanatkan Resolusi DK PBB 2803,” katanya.
Ia mendesak Israel untuk segera mencairkan pendapatan yang ditahan, mencabut atau secara signifikan meningkatkan batas transfer shekel, serta memastikan perpanjangan jangka panjang hubungan perbankan koresponden guna mencegah keruntuhan ekonomi dan menjaga prospek perdamaian serta stabilitas.
“Kami juga sangat prihatin dengan pembatasan pergerakan, pengusiran paksa, serta operasi pasukan keamanan Israel di Tepi Barat yang memperburuk situasi kemanusiaan, dan menyerukan agar tindakan-tindakan tersebut segera dihentikan,” ujar Kariuki.


