Saturday, June 14, 2025
HomeBeritaExplainer: Mengenal geng kriminal di Gaza yang dipersenjatai Israel

Explainer: Mengenal geng kriminal di Gaza yang dipersenjatai Israel

Di tengah reruntuhan dan kekacauan akibat perang Israel di Gaza, sebuah kelompok bersenjata baru muncul di Rafah, wilayah paling selatan Jalur Gaza.

Mereka menamakan diri Pasukan Populer (Popular Forces)—kelompok yang kini mendapat sorotan tajam karena kedekatannya dengan militer Israel.

Kelompok ini dipimpin oleh Yasser Abu Shabab, seorang mantan narapidana dan penyelundup narkoba yang dikenal luas di wilayah perbatasan Gaza-Sinai.

Aktivitasnya kini tidak hanya sekadar criminal. Ia dituduh memimpin geng bersenjata yang mendapat perlindungan, bahkan dukungan persenjataan dari Israel.

Siapa Yasser Abu Shahab?

Yasser Abu Shabab lahir di Rafah Timur pada awal 1990-an, berasal dari suku Bedouin Tarabin yang berpengaruh dan tersebar di Sinai, Gaza, dan Israel selatan.

Semasa muda, ia meninggalkan sekolah dan membangun reputasi sebagai penyelundup lintas batas—dari rokok dan narkotika hingga barang-barang terlarang lainnya.

Pada 2015, Hamas menangkap dan menjatuhkan hukuman 25 tahun penjara terhadap Abu Shabab atas kasus penyelundupan narkoba.

Namun, pada Oktober 2023, di tengah gempuran udara Israel ke Khan Younis, ia berhasil kabur dari Penjara Asda. Detil pelariannya masih simpang siur hingga kini.

Apa yang dilakukan gengnya selama perang?

Pasca kabur, Abu Shabab merekrut ratusan orang dan menguasai wilayah di sekitar perbatasan Kerem Shalom, titik temu antara Gaza, Israel, dan Mesir.

Ia mengklaim memimpin kelompok sipil yang secara sukarela menjaga bantuan kemanusiaan dari penjarahan dan korupsi.

Melalui media sosial, kelompok ini memoles citranya sebagai suara kebenaran melawan terorisme demi tanah air yang aman.

Pada Mei lalu, mereka bahkan meluncurkan logo dan video kampanye bergaya profesional.

Namun, sebuah memo internal PBB yang bocor menggambarkan markas mereka sebagai kompleks militer dalam zona yang dibatasi, diawasi, dan dipatroli oleh pasukan Israel.

Menurut Muhammad Shehada dari European Council on Foreign Relations, Pasukan Populer terlibat dalam berbagai aktivitas.

Dari penjarahan bantuan PBB yang dijual di pasar gelap, misi pengintaian untuk kepentingan Israel, hingga bertindak sebagai milisi proksi di wilayah yang telah dikosongkan Israel.

Kelompok ini juga disebut-sebut menjalin hubungan dengan Gaza Humanitarian Foundation (GHF), sebuah inisiatif yang didukung AS dan Israel.

Meski GHF membantah keterlibatan, seorang diplomat menyebut ada komunikasi, langsung maupun tidak langsung, antara lembaga itu dan kelompok Abu Shabab.

Pada November lalu, Abu Shabab mengakui anak buahnya pernah “mengambil” beberapa truk bantuan.

“Kami mengambil truk supaya bisa makan, bukan untuk dijual. Semua orang yang kelaparan mengambil bantuan,” ujarnya.

Namun, sejumlah sopir truk mengaku dipaksa oleh anak buah Abu Shabab untuk menurunkan muatan mereka secara paksa.

Keberadaan Pasukan Populer tidak hanya memicu kecemasan warga, tetapi juga menimbulkan kekacauan.

Beberapa toko dilaporkan dijarah, sementara aparat lokal yang mencoba menghentikan kejahatan mereka justru menjadi sasaran tembakan militer Israel.

Pada 2 Mei, Asaad al-Kafarna, seorang polisi Gaza, ditembak mati oleh pasukan Israel di dekat sebuah restoran.

Ia sedang mengejar anggota geng yang dituduh menjarah dan bekerja sama dengan militer Israel.

“Israel secara aktif membom siapa pun yang berusaha melawan geng Daesh-nya di Gaza. Abu Shabab dan para kriminalnya sudah seperti unit militer Israel yang menikmati perlindungan penuh,” tulis Shehada.

Kisah ini membuka sisi lain dari konflik Gaza—tentang bagaimana kekuatan eksternal menciptakan aliansi baru demi kepentingan politik, dengan rakyat sipil sebagai pihak yang paling menderita.

Bagaimana geng tersebut terkait dengan ISIS?

Tudingan keterkaitan antara Pasukan Populer—kelompok bersenjata yang dipimpin Yasser Abu Shabab di Gaza—dengan kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) mencuat ke public.

Hal ini menambah kontroversi atas keputusan Israel memersenjatai kelompok tersebut di tengah perang yang masih berkecamuk.

Politikus oposisi Israel, Avigdor Lieberman, baru-baru ini menyatakan bahwa Abu Shabab dan anak buahnya memiliki hubungan dengan ISIS.

Namun, sejumlah analis menilai klaim itu perlu ditelaah secara lebih hati-hati.

Menurut Andreas Krieg, pakar keamanan dari King’s College London, sebagian individu dari suku Tarabin—asal Abu Shabab—memang pernah terlibat dalam penyelundupan dan menjalin hubungan dengan afiliasi ISIS di Sinai.

Namun, ia menegaskan bahwa secara umum suku tersebut tidak berafiliasi secara ideologis dengan kelompok jihad.

“Bahkan banyak anggota Tarabin di Sinai yang justru bertempur melawan ISIS bersama militer Mesir,” ujar Krieg kepada Middle East Eye (MEE).

Meski demikian, beberapa tokoh kunci di lingkaran dalam Abu Shabab tercatat memiliki rekam jejak militan.

Salah satunya adalah Issam al-Nabahin, yang bergabung dengan cabang ISIS di Sinai pada pertengahan 2010-an.

Ia diketahui terlibat dalam pemberontakan melawan tentara Mesir dan disebut ikut dalam pembunuhan terhadap warga sipil.

Meski Hamas dan Mesir sempat bekerja sama memburu kelompok ini, Nabahin berhasil lolos.

Ia muncul kembali pada 2023, ditangkap Hamas, dan dijatuhi hukuman mati. Namun sebelum eksekusi dilaksanakan, ia kabur dan kini menjadi bagian dari Pasukan Populer.

Tokoh lain, Ghassan al-Dahini, sebelumnya adalah pejabat dalam Army of Islam, sebuah kelompok bersenjata Palestina yang bersekutu dengan ISIS di Sinai.

Ia diketahui mengelola jalur penyelundupan dan komunikasi antara kelompoknya dengan militan di Sinai.

Dahini telah beberapa kali ditangkap oleh polisi Hamas, bahkan pernah membunuh seorang petugas saat penangkapan.

Seperti Nabahin, ia juga kabur dari penjara saat perang pecah dan kini menjadi wakil pemimpin Pasukan Populer.

Mengapa Israel mempersenjatai para gangster ini?

Pemerintah Israel, melalui pernyataan langsung Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, mengakui bahwa pihaknya telah memersenjatai kelompok Abu Shabab.

“Kami memanfaatkan klan-klan di Gaza yang menentang Hamas. Apa salahnya? Itu justru baik—menyelamatkan nyawa tentara Israel,” tulis Netanyahu di platform X pekan lalu.

Menurut laporan harian Maariv, kelompok Abu Shabab dibekali senjata ringan seperti pistol dan senapan Kalashnikov—sebagian besar berasal dari rampasan perang terhadap Hamas dan Hizbullah.

Badan intelijen dalam negeri Israel, Shin Bet, bahkan menyatakan bahwa risiko senjata ini berbalik digunakan terhadap Israel dinilai kecil atau “tidak signifikan”.

Bagi Israel, ini adalah bagian dari strategi jangka panjang. Andreas Krieg menyebutnya sebagai “strategi kalkulatif” yang bertujuan mengurangi beban militer dan administratif Israel di Gaza.

Dengan membentuk dan mendukung aktor lokal seperti Pasukan Populer, Israel dapat menjalankan kontrol tidak langsung, tanpa harus menanggung biaya politik dan militer dari pendudukan langsung.

“Melalui jaringan suku dan pengetahuan lokal, kelompok seperti Pasukan Populer memungkinkan Israel menjalankan pengaruh tanpa harus kembali menduduki Gaza,” kata Krieg.

Apa dampaknya terhadap Hamas?

Keberadaan Pasukan Populer, kelompok bersenjata yang dipimpin oleh Yasser Abu Shabab dan didukung oleh Israel, telah mengubah lanskap konflik di Gaza secara signifikan.

Kelompok ini bukan hanya menjadi momok bagi stabilitas wilayah, tetapi juga tantangan serius bagi Hamas, yang selama ini memegang kendali dominan atas Gaza.

Menurut Andreas Krieg, analis keamanan dari King’s College London, kehadiran kelompok Abu Shabab telah memaksa Hamas untuk bertempur di lebih dari satu medan sekaligus.

“Meskipun tidak memiliki legitimasi di mata publik dan dipandang sebagai kolaborator kriminal, kelompok ini berguna karena mampu mengacaukan Hamas dari dalam,” ujar Krieg kepada Middle East Eye.

Bentrokan antara kedua pihak telah menelan korban jiwa. Hamas disebut telah menewaskan setidaknya 50 anggota Pasukan Populer.

Sementara geng Abu Shabab dilaporkan membunuh enam anggota unit “Arrow” milik Hamas, yang dikenal karena tugasnya memburu kolaborator Israel.

Bahkan, serangan drone Israel dilaporkan pernah ditujukan langsung ke posisi Hamas ketika mereka sedang bertempur melawan geng tersebut—tanda jelas dukungan Israel bagi kelompok Abu Shabab.

Konflik internal ini semakin mempermalukan Abu Shabab secara sosial. Keluarganya sendiri baru-baru ini mengeluarkan pernyataan resmi yang memutus hubungan dengannya.

“Kami menyatakan penolakan total terhadap Yasser Abu Shabab dan siapa pun dari keluarga kami yang bekerja dengannya,” demikian pernyataan para tetua klan dua pekan lalu.

Mereka menolak warisan keluarga dinodai oleh kolaborasi dengan Israel.

Apakah Pasukan Populer mendapat dukungan di luar Israel?

Sejauh ini, tidak ada bukti langsung bahwa Pasukan Populer mendapat dukungan dari aktor eksternal lain di luar Israel. Namun, sejumlah indikasi memunculkan spekulasi.

Krieg menyebut bahwa konten propaganda video mereka yang profesional dan kehadiran seorang anggota milisi mengendarai mobil bernomor pelat Uni Emirat Arab (UEA) adalah “detail mencolok” yang tidak bisa diabaikan, terutama di tengah blokade total di Gaza.

Ia menambahkan bahwa posisi kelompok ini yang sangat anti-Hamas mengundang dugaan bahwa pihak-pihak yang berseberangan dengan gerakan Islamis mungkin terlibat secara tidak langsung.

Gerakan Islamis itu seperti UEA, yang dikenal mendukung kelompok anti-Islamis di Libya, Yaman, dan Sudan. Namun, hingga kini, tidak ada bukti konkret mengenai dukungan UEA.

Ada pula laporan dari media Israel i24news bahwa seorang penasihat Presiden Otoritas Palestina Mahmoud Abbas melakukan komunikasi langsung dengan kelompok Abu Shabab.

Kelompok ini bahkan mengklaim bertindak di bawah payung “legitimasi Palestina”—istilah yang kerap digunakan oleh tokoh-tokoh Fatah, rival utama Hamas.

Namun, juru bicara PA, Anwar Rajab, membantah adanya hubungan apa pun dengan kelompok Abu Shabab.

Apa peran mereka setelah perang?

Meski mendapat perlindungan dan dukungan senjata dari Israel saat ini, masa depan Pasukan Populer pasca-perang tampaknya suram.

Sumber militer Israel kepada Maariv menyatakan bahwa dukungan terhadap kelompok ini bersifat “taktis jangka pendek” dan bukan bagian dari rencana strategis jangka panjang.

“Geng semacam ini tidak bisa menjadi pengganti struktur pemerintahan yang sah. Solusi jangka panjang harus melibatkan negara-negara kawasan untuk membentuk pemerintahan pengganti Hamas,” ujar sumber itu.

Krieg menegaskan bahwa secara struktur, Pasukan Populer terlalu kecil, terlalu tercemar reputasi kriminal, dan terlalu tidak sah di mata rakyat Palestina untuk bisa mengelola wilayah atau menjalankan pemerintahan sipil.

“Kolaborasi terbuka mereka dengan Israel justru membuat mereka semakin tak mungkin diterima sebagai kekuatan politik yang sah,” tegasnya.

Namun, ia mengingatkan bahwa Israel punya sejarah menciptakan “monster Frankenstein” berupa aktor-aktor lokal yang awalnya dimanfaatkan secara taktis, tetapi kemudian tumbuh dan menjadi ancaman baru.

Maka, sementara Pasukan Populer saat ini mungkin berperan dalam taktik jangka pendek Israel untuk melemahkan Hamas, keberadaan mereka menambah lapisan kompleksitas dan ketidakpastian bagi masa depan Gaza.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular