Mantan Menteri Pertahanan Israel, Yoav Gallant, mengkritik keras rencana Perdana Menteri Benjamin Netanyahu untuk melibatkan perusahaan keamanan swasta dalam distribusi bantuan kemanusiaan di Gaza.
Dilaporkan Aljazeera Arabic, Gallant menyebut langkah itu sebagai awal dari “kekuasaan militer” yang dapat mengorbankan nyawa tentara Israel.
Melalui pernyataan di platform X, Gallant menilai rencana distribusi bantuan dengan pengawalan tentara Israel “hanyalah kata-kata indah yang menyembunyikan niat untuk menciptakan kekuasaan militer di Gaza.”
Ia juga memperingatkan, langkah ini akan mengalihkan perhatian dari tugas-tugas keamanan yang lebih penting.
Menurutnya, Israel seharusnya mempersiapkan otoritas sipil alternatif untuk menggantikan peran militer di Gaza.
“Jika tidak, kita akan melangkah ke arah kekuasaan militer yang bukan merupakan tujuan perang, tetapi tindakan politik yang tidak bertanggung jawab,” tegas Gallant.
Peran Perusahaan Keamanan Swasta
Menurut laporan Radio Tentara Israel, Netanyahu dan Menhan Yisrael Katz membahas penggunaan perusahaan keamanan swasta Amerika Serikat selama empat jam.
Katanya, perusahaan tersebut akan bertanggung jawab atas distribusi bantuan di Gaza dengan dukungan keamanan dari militer Israel.
Surat kabar Israel Hayom juga melaporkan rencana ini. Menurutnya, perusahaan keamanan swasta akan bertugas di beberapa wilayah Gaza untuk mengurus distribusi bantuan. Meski demikian, identitas perusahaan tersebut belum diungkapkan.
Baca juga: 270 anak Palestina dipenjara Israel dalam kondisi buruk
Sejak 7 Oktober 2023, Israel telah melancarkan perang besar-besaran di Gaza yang menyebabkan lebih dari 148.000 korban jiwa dan luka-luka, mayoritas anak-anak dan perempuan.
Selain itu, lebih dari 10.000 orang masih dinyatakan hilang. Konflik ini memicu kehancuran besar-besaran serta memperparah kelaparan di Gaza, yang kini berada di ambang bencana kemanusiaan.
Dalam situasi ini, Israel juga telah menghentikan aktivitas UNRWA (Badan PBB untuk Pengungsi Palestina) di Gaza dan mengklaim sedang mencari alternatif untuk mengelola distribusi bantuan kemanusiaan di wilayah tersebut.
Langkah ini menuai kritik karena dianggap dapat memperburuk krisis kemanusiaan di Gaza.
Baca juga: Jumlah korban tewas di Gaza hampir capai 44.000 jiwa