Pemerintah di Gaza kembali menyoroti rapuhnya situasi keamanan sejak diberlakukannya kesepakatan gencatan senjata.
Direktur Jenderal Kantor Media Pemerintah Gaza, Ismail al-Thawabta, menyampaikan bahwa Israel telah melakukan 393 pelanggaran terverifikasi sejak kesepakatan tersebut mulai berlaku.
Sebuah rangkaian pelanggaran yang menurutnya secara langsung menargetkan warga sipil dan memperluas lingkar kehancuran.
Dalam keterangannya kepada Al Jazeera Net, al-Thawabta menegaskan bahwa bentuk-bentuk pelanggaran itu “bertujuan menebar ketakutan, menggusur lebih banyak keluarga, dan memperdalam krisis kemanusiaan” yang sudah sangat parah.
Ia menyebut kondisi Gaza kian kelam di tengah ambruknya layanan kesehatan, dengan lebih dari 80 persen rumah sakit tidak lagi berfungsi.
Sementara akses pangan dibatasi secara ketat di tengah pengepungan yang terus berlangsung.
Menurut dia, aparat keamanan lokal tetap menjaga stabilitas internal dan melindungi area pengungsian serta pusat-pusat layanan publik, meski serangan dan pelanggaran terus terjadi setiap hari.
Dua tahun serangan, puluhan ribu korban
Data yang ia sampaikan menggambarkan skala kehancuran yang terjadi sebelum dan sesudah gencatan senjata.
Selama 2 tahun serangan tanpa henti, Gaza kehilangan sekitar 70.000 warga yang gugur dan lebih dari 170.000 lainnya terluka.
Ribuan orang masih hilang di bawah reruntuhan, dan puluhan ribu keluarga berpindah tempat berkali-kali dalam wilayah yang sama sempitnya.
Semua itu terjadi sebelum tercapainya kesepakatan gencatan senjata antara kelompok perlawanan dan Israel pada 11 Oktober lalu, menurut catatan Kementerian Kesehatan Gaza.
Rincian pelanggaran Israel
Al-Thawabta menjelaskan bahwa hingga Selasa malam, Israel telah melakukan 393 pelanggaran terverifikasi terhadap gencatan senjata.
Sebuah pelanggaran serius terhadap hukum humaniter internasional dan protokol kemanusiaan yang menyertai kesepakatan.
Rangkaian pelanggaran itu, menurutnya, mengakibatkan 279 warga sipil gugur, termasuk anak-anak, perempuan, dan lansia.
Selain itu, 652 warga terluka dalam berbagai tingkat, sementara 35 orang lainnya ditangkap dalam operasi penyusupan ke permukiman.
Pelanggaran yang tercatat mencakup:
- 113 kali penembakan langsung terhadap warga, rumah, dan tenda pengungsi.
- 17 operasi penyusupan ketika kendaraan militer melampaui garis kuning yang ditetapkan sementara.
- 174 serangan darat, udara, dan tembakan artileri.
- 85 aksi peledakan yang menghancurkan rumah maupun fasilitas sipil.
Al-Thawabta menilai pola ini sebagai bentuk “kejahatan yang dirancang sistematis untuk meneror warga dan memperluas kerusakan.”
Ia menegaskan bahwa pemerintah di Gaza “mengutuk keras seluruh pelanggaran tersebut” dan meminta pertanggungjawaban penuh dari Israel atas dampak kemanusiaan dan keamanan yang ditimbulkannya.
Ia juga mendesak adanya “intervensi internasional segera—dari Presiden AS Donald Trump, negara-negara mediator, pihak-pihak penjamin, serta Dewan Keamanan—untuk memaksa Israel mematuhi kesepakatan dan menghentikan agresinya.”
Sistem kesehatan di ambang runtuh
Mengenai situasi kesehatan, al-Thawabta menggambarkan kondisi yang ia sebut sebagai “bencana dalam segala ukuran.”
Lebih dari 80 persen rumah sakit tidak berfungsi atau tidak dapat beroperasi sama sekali.
Fasilitas kesehatan yang tersisa bekerja dengan kurang dari 30 persen kapasitas akibat tidak adanya bahan bakar, kerusakan fasilitas, dan minimnya pasokan medis.
Menurut dia, Israel menutup total pintu perlintasan, menolak evakuasi pasien ke luar Gaza, serta melarang masuknya obat-obatan dan perlengkapan medis vital.
Kebijakan ini, katanya, merupakan “kejahatan kemanusiaan berlapis” yang membuat ribuan pasien berada di ambang kehilangan nyawa.
Sebuah tindakan yang ia sebut sebagai bagian dari “kejahatan genosida yang masih berlangsung.”
Stabilitas keamanan domestik
Di tengah tekanan kemanusiaan tersebut, al-Thawabta menekankan bahwa situasi keamanan di dalam Gaza tetap terkendali.
Aparat kepolisian dan keamanan lokal, ujarnya, menjalankan tugasnya dengan profesional dan bertanggung jawab untuk menjaga ketertiban umum dan mencegah kekacauan.
“Mereka memantau lapangan dengan ketat, merespons cepat setiap potensi ancaman, dan memberikan prioritas pada perlindungan area pengungsian serta fasilitas layanan,” tutur al-Thawabta.
Bantuan yang minim, pemenuhan janji yang tertunda
Soal masuknya truk bantuan, al-Thawabta menyatakan bahwa Israel tidak mematuhi ketentuan yang telah ditandatangani dalam kesepakatan gencatan senjata maupun protokol kemanusiaannya.
Ia menyebut bahwa tingkat kepatuhan Israel terkait masuknya truk bantuan dan barang kebutuhan tidak lebih dari 30 persen.
Barang yang diizinkan masuk pun “sekadar bahan pangan minim yang tidak memenuhi kebutuhan dasar harian warga.”
Israel, tambahnya, melarang masuknya bahan pangan penting seperti daging merah, daging putih, protein hewani, dan telur.
Padahal, jenis makanan ini sangat dibutuhkan pasien, korban luka, dan anak-anak.
Ia menyebut praktik ini sebagai “rekayasa kelaparan dan bentuk hukuman kolektif yang dilakukan secara sistematis terhadap masyarakat yang hidup dalam kondisi kemanusiaan ekstrem.”
Menurut al-Thawabta, pengendalian Israel terhadap pasokan pangan dan obat-obatan “merupakan pelanggaran nyata atas kesepakatan dan sebuah kejahatan yang menyasar kehidupan sipil secara langsung.”
Mengakhiri keterangannya, al-Thawabta menegaskan bahwa kelanjutan pelanggaran Israel mengancam peluang stabilitas.
Selain itu juga membuktikan bahwa hanya tekanan internasional yang sungguh-sungguh dapat menghentikan perilaku agresif tersebut dan memaksa Israel mematuhi hukum internasional.
Ia kembali mendesak semua pihak penjamin untuk bertindak cepat menghentikan agresi dan memberikan perlindungan bagi rakyat Palestina.


