Aktivis pro-Palestina asal Lebanon, Georges Ibrahim Abdallah, akhirnya kembali ke tanah air pada Jumat (26/7) setelah lebih dari empat dekade dipenjara di Prancis. Setibanya di Bandara Internasional Rafic Hariri, Beirut, Abdallah langsung menyampaikan dukungan penuh terhadap perjuangan Palestina dan menyatakan bahwa “perlawanan masih kuat” dan Israel “tengah berada di fase akhir eksistensinya.”
“Selama masih ada perlawanan, akan ada jalan untuk kembali. Dan jalan itu penuh kekuatan, didorong oleh darah para syuhada yang telah menciptakan arus perlawanan,” ujar Abdallah kepada wartawan, dikutip Anadolu Agency.
Mengenakan keffiyeh Palestina dan disambut meriah oleh pendukung, anggota parlemen, serta tokoh politik Lebanon, pria 74 tahun ini mengatakan, “Saya mampu bertahan selama 41 tahun di penjara berkat keteguhan yang tertanam di sini.”
“Kita harus terus melawan”
Dalam pernyataannya, Abdallah menegaskan bahwa perjuangan melawan penjajahan belum berakhir. “Perjuangan telah menang. Kita harus terus melawan hingga musuh benar-benar disingkirkan,” ujarnya dalam video yang beredar luas di media sosial.
“Perlawanan Palestina dan semua tahanannya harus tetap hidup dan berkembang. Selama masih ada perlawanan, kami akan kembali ke tanah air – saya dan semua tahanan lainnya,” lanjutnya.
“Pemimpin kami adalah syuhada”
Abdallah menolak anggapan bahwa perlawanan melemah. “Perlawanan ini kuat, karena dipandu oleh syuhada. Ketika pemimpin perlawanan adalah para syuhada, maka perlawanan itu kuat. Perlawanan hanya lemah jika dipimpin oleh para pengkhianat. Perlawanan kita bukan perlawanan para pengkhianat,” katanya.
Ia juga memberikan penghormatan kepada pemimpin-pemimpin perlawanan, termasuk Hassan Nasrallah, dengan menyatakan, “Perlawanan adalah kebebasan. Bersatulah mengelilingi perlawanan. Bersatulah mengelilingi Gaza dan para pendukung perlawanan. Kalian adalah simbol kehormatan dan martabat.”
Kritik terhadap dunia Arab
Dalam pernyataannya yang emosional, Abdallah juga menyampaikan kritik tajam terhadap sikap pasif negara-negara Arab terhadap penderitaan rakyat Palestina, terutama di Gaza.
“Ini adalah aib yang akan tercatat dalam sejarah: bagaimana dunia Arab hanya menyaksikan rakyat Palestina dan Gaza menderita,” kata Abdallah.
Secara khusus, ia menyerukan kepada rakyat Mesir: “Rakyat Mesir memiliki kekuatan untuk mengubah keadaan di Gaza. Jika dua juta warga Mesir turun ke jalan, tak akan ada lagi pembantaian atau genosida.”
Simbol perjuangan
Georges Abdallah, mantan anggota Popular Front for the Liberation of Palestine (PFLP) dan pendiri Lebanese Armed Revolutionary Factions (LARF), dijatuhi hukuman penjara seumur hidup pada 1987 karena dituduh terlibat dalam pembunuhan dua diplomat asing di Paris tahun 1982: Charles Ray (Atase militer AS) dan Yakov Barsimentov (diplomat Israel).
Setelah lebih dari 40 tahun di balik jeruji, Pengadilan Banding Paris pekan lalu memutuskan membebaskannya dengan syarat ia meninggalkan Prancis dan tidak kembali. Putusan tersebut menyebut masa penahanannya “tidak proporsional” mengingat usianya dan fakta bahwa kelompok yang ia pimpin telah lama bubar dan tidak melakukan aksi kekerasan sejak 1984.
Penolakan AS dan tertundanya pembebasan
Meskipun pengadilan Prancis sempat menyetujui pembebasan bersyarat pada 2013, tekanan politik – terutama dari Amerika Serikat – telah menghambat pelaksanaannya selama bertahun-tahun. Pemerintah Lebanon telah mengajukan permohonan pembebasan lebih dari 12 kali.
Kini, Abdallah dijadwalkan melakukan perjalanan ke kampung halamannya di Qoubaiyat, Lebanon utara, di mana acara penyambutan resmi akan digelar, menurut keluarga Abdallah yang dikutip Al Jazeera Arabic.
Dengan kepulangannya, Georges Abdallah kembali menjadi simbol perlawanan dan keteguhan di tengah tekanan geopolitik dan perjuangan panjang rakyat Palestina.