Gubernur Darfur, Minni Arko Minnawi, memperingatkan bahwa setiap kesepakatan gencatan senjata di Sudan yang tidak disertai penarikan pasukan paramiliter Rapid Support Forces (RSF) dari wilayah sipil akan berujung pada perpecahan negara.
“Gencatan senjata harus diawali dengan penarikan milisi Janjaweed dan tentara bayaran dari kawasan pemukiman, rumah sakit, dan kota-kota,” tulis Minnawi di platform media sosial X, Sabtu (9/11/2025), sebagaimana dikutip Anadolu Agency.
Ia juga menuntut pembebasan para sandera, termasuk anak-anak dan perempuan, serta kepulangan aman warga sipil yang mengungsi akibat konflik.
“Untuk siapa gencatan senjata itu, jika tidak melindungi warga sipil dan tidak menuntut pertanggungjawaban pelaku?” ujarnya.
“Setiap gencatan tanpa syarat-syarat itu berarti membagi Sudan.”
Tragedi di El-Fasher
Kecaman Minnawi muncul setelah pasukan RSF merebut kota El-Fasher, ibu kota Darfur Utara, pada 26 Oktober lalu. Sejumlah lembaga lokal dan internasional menuduh RSF melakukan pembantaian terhadap warga sipil, menimbulkan kekhawatiran bahwa serangan itu akan memperdalam fragmentasi geografis Sudan.
Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) mencatat lebih dari 81.000 orang telah mengungsi dari El-Fasher dan sekitarnya sejak pertempuran pecah.
Sebelumnya, RSF menyatakan telah menyetujui gencatan senjata kemanusiaan yang diusulkan oleh kelompok negara “Quad” — terdiri dari Amerika Serikat, Uni Emirat Arab, Arab Saudi, dan Mesir. Namun, hingga kini belum ada rincian pelaksanaan maupun tanggapan resmi dari Quad atau tentara Sudan.
“Bencana kemanusiaan yang mengguncang nurani”
Menteri Sumber Daya Manusia dan Kesejahteraan Sosial Sudan, Mutasim Ahmed Saleh, menggambarkan situasi di El-Fasher sebagai “bencana kemanusiaan yang mengguncang nurani dunia.”
“Ada ribuan warga sipil di El-Fasher yang masih terjebak dan dihalangi RSF untuk keluar, menghadapi segala bentuk kekerasan dan penyiksaan,” ujarnya dalam konferensi pers di Port Sudan.
Saleh menegaskan bahwa pemerintah akan menuntut keadilan bagi darah yang tertumpah di El-Fasher dan di seluruh negeri.
“RSF, setelah semua kejahatan dan pelanggaran yang dilakukannya terhadap rakyat Sudan, tidak pantas memiliki tempat dalam masa depan negara ini,” tegasnya.
Sejak 15 April 2023, Sudan terjerumus dalam perang antara tentara nasional dan pasukan RSF. Berbagai upaya mediasi regional dan internasional gagal menghentikan konflik yang telah menewaskan ribuan orang dan memaksa jutaan lainnya mengungsi.
Pertempuran yang awalnya berakar pada perebutan kekuasaan di Khartoum kini berkembang menjadi tragedi kemanusiaan terbesar di Afrika Timur, dengan risiko nyata terpecahnya Sudan menjadi wilayah-wilayah yang dikuasai milisi bersenjata.


