“Saya masih mendengar suara itu—suara ledakan roket yang menghantam bangunan di samping taman sekolah. Saya jatuh ke tanah, memeriksa tubuh saya dengan panik. Lengan? Kaki? Apakah saya masih hidup?”
Demikian Noor Abu Aisha memulai kesaksian menyayat hati tentang pembantaian yang dialaminya di Sekolah Al-Nasr, Gaza, pada awal Agustus 2024.
Ia bukan hanya saksi, tapi juga korban selamat dari sebuah tragedi yang merenggut nyawa banyak muridnya.
Pengalaman itu ia tuliskan dalam sebuah esai pribadi yang kemudian diterbitkan oleh media independen asal AS, Mondoweiss.
Noor bukan guru tetap. Ia seorang relawan yang mengajar bahasa Inggris dan memberikan dukungan psikologis kepada anak-anak di sekolah yang telah diubah menjadi tempat pengungsian.
Saat melihat berita tentang pembantaian lain di Sekolah Al-Jarjaawi—di mana anak-anak terbakar hidup-hidup di tengah tenda-tenda pengungsian—ingatan Noor langsung terlempar pada hari yang nyaris merenggut nyawanya sendiri.
Anak-anak yang hanya ingin makan daging
Di tengah derita dan deru pesawat tempur, Noor berusaha membawa sedikit tawa kepada murid-muridnya.
Dalam salah satu sesi kelasnya, ia mengajak mereka bicara tentang cita-cita. Ia mengira akan mendengar jawaban-jawaban umum seperti “insinyur” atau “dokter.”
Tapi anak-anak di Gaza berbeda.
“Kalau aku besar nanti, aku ingin makan nasi dengan banyak daging,” jawab anak perempuan bernama Aya Al-Dalou (5 tahun).
Jawaban itu memukul Noor.
“Bukan salah anak-anak kalau cita-cita terbesar mereka hanya untuk bertahan hidup dan tidak lapar,” tulisnya.
Di Gaza utara saat itu, tidak ada daging. Bahkan ikan pun nyaris tidak terlihat. Anak lelaki Noor yang berusia tiga tahun bahkan mengira ikan sarden adalah ular.
Ia belum pernah melihat ikan seumur hidupnya. Begitu pula buah-buahan—sebuah kemewahan yang hanya bisa dibayangkan.
“Ayo, kembali ke orang tua kalian!”
Hari itu, 4 Agustus 2024, Noor sedang bersiap mengakhiri kelas. Anak-anak bermain di taman sekolah yang dijadikan zona aman, sejauh yang mereka tahu.
“Saya berkata, ‘Ayo, anak-anak, waktunya pulang.’ Tapi mereka memohon: ‘Bu Guru, izinkan kami bermain sedikit lagi,’” lanjutnya.
Lima menit kemudian, langit meledak.
Sebuah rudal menghantam bangunan sebelah taman. Dalam sekejap, tubuh-tubuh mungil beterbangan.
Asap tebal memenuhi udara. Noor tersungkur ke tanah, berteriak, dan hanya bisa berharap ia masih utuh.
“Sebagian anak-anak saya meninggal di tempat. Sebagian selamat karena mereka kebetulan sudah pulang,” tulisnya.
Pihak sekolah berteriak memanggil siapa saja yang masih hidup, meminta mereka membantu menyelamatkan yang tersisa.
Noor akhirnya dijemput oleh pamannya. Dalam perjalanan pulang, mereka singgah ke rumah sakit dan mengantar beberapa korban luka, termasuk putri seorang perawat yang juga menjadi korban.
Saat itu, tak ada yang memberi tahu bahwa sang ibu masih terjebak di bawah reruntuhan.
Keajaiban dan trauma
Lebih dari 2 bulan setelah peristiwa itu, Noor memberanikan diri untuk kembali ke lokasi. Ia berdiri di halaman sekolah, tak percaya bahwa ia selamat padahal hanya berjarak 600 meter dari titik jatuhnya rudal.
“Wahai Noor, bagaimana mungkin kau selamat padahal ada murid yang lebih jauh tapi justru meninggal? Ini benar-benar mukjizat,” kata kepala sekolah menyambutnya.
Namun keberuntungan itu datang bersama beban. Noor menulis bahwa mungkin ia selamat agar bisa menjadi saksi. Agar dunia tahu apa yang terjadi.
Ia masih ingat dengan jelas salah satu muridnya, Nour Al-Din Maqdad, yang kehilangan seluruh keluarganya dalam serangan itu.
Anak lelaki itu tengah keluar membeli sesuatu saat rudal menghantam sekolah. Ketika kembali, tak ada siapa pun yang menunggunya.
Orang tua dan saudara-saudaranya telah terbunuh saat menyantap makanan terakhir mereka.
“Ibunya dulu sering berkata padaku: Nour Al-Din itu anak yang keras kepala. Tapi dia pintar. Guru-gurunya sabar menghadapinya. Perang mengubahnya,” kenang Noor.
Kini, Nour Al-Din menghabiskan hari-harinya memeluk makam orang-orang terkasih. Sendiri. Sepi. Ditinggal semua.
“Bagaimana mungkin anak seusia itu menanggung beban sebesar itu?” tanya Noor.
Kisah untuk dunia
Esai Noor Abu Aisha bukan sekadar catatan duka. Ia adalah jeritan yang menembus batas bahasa dan wilayah.
Sebuah ajakan bagi dunia untuk tidak memalingkan muka dari penderitaan Gaza—di mana anak-anak bermimpi tentang nasi dan daging, bukan mainan atau sekolah.
“Apakah saya selamat agar bisa menceritakan semuanya?” tanya Noor di akhir tulisannya.
Mungkin, jawabannya adalah: ya. Agar dunia tahu bahwa di balik statistik dan berita cepat, ada anak-anak seperti Nour Al-Din.
Ada guru seperti Noor. Dan ada kemanusiaan yang terus menjerit dari bawah puing-puing.