Harian Israel Haaretz menegaskan bahwa kekerasan yang dialami warga Palestina bukanlah praktik sporadis yang dilakukan oleh “pemukim ekstrem”, melainkan bagian dari kebijakan pembersihan etnis yang telah mengakar sejak lama.
Kekerasan tersebut, menurut Haaretz, tidak dimulai dan tidak pula berakhir pada kelompok pemukim radikal atau pada satu pemerintahan Israel yang berhaluan kanan ekstrem.
Dalam sebuah artikel tajam karya Jonathan Pollak, Haaretz menyajikan uraian dokumenter sekaligus politis yang menekankan bahwa apa yang selama ini disebut sebagai “kekerasan pemukim” sejatinya bukan fenomena terpisah atau pengecualian.
Kekerasan itu, tulis Pollak, merupakan bagian tak terpisahkan dari kebijakan Israel yang dijalankan secara sistematis terhadap warga Palestina, baik di Tepi Barat maupun di wilayah Palestina di dalam garis hijau.
Melalui rangkaian kronologi peristiwa konkret, Pollak menunjukkan bahwa berbagai serangan tersebut tidak berlangsung di pinggiran negara.
Melainkan terjadi dengan koordinasi langsung atau di bawah perlindungan tentara dan aparat keamanan Israel.
Hal ini, menurutnya, menjadikan tanggung jawab atas kekerasan tersebut bersifat kolektif dan institusional, bukan individual.
Pollak mengawali analisisnya dengan kasus penembakan Ammar Hamayel, yang ditembak tentara Israel dari belakang meskipun tidak sedang menghadapi mereka.
Setelah penembakan itu, ambulans dicegah selama dua jam untuk mencapai korban, sementara tentara menggunakan kekerasan guna menghalangi kerabat dan warga sekitar yang berupaya memberikan pertolongan.
Dua hari kemudian, lebih dari seratus warga Israel menyerbu Desa Kafr Malik—kampung halaman Hamayel—menghancurkan rumah-rumah dan membakar apa pun yang mereka temui.
Mereka tidak bertindak sendirian; pasukan bersenjata resmi negara juga masuk ke desa tersebut dan menewaskan tiga penduduk Palestina.
Kekerasan tidak terbatas di Tepi Barat
Artikel tersebut juga mengulas berbagai kasus pembunuhan dan penyerangan terhadap anak-anak, petani, serta keluarga Palestina, khususnya selama musim panen zaitun.
Dalam banyak insiden, tentara Israel dan kelompok bersenjata pemukim terlibat langsung dalam penembakan, pembakaran harta benda, serta pencegahan ambulans untuk mencapai korban luka.
Pada hari pertama musim panen zaitun, misalnya, sekitar 150 petani Palestina berkumpul di Bukit Qamas, dekat Desa Beita.
Mereka justru mendapati ladang-ladang telah dipenuhi tentara dan anggota milisi pemukim.
Hari itu berakhir dengan 20 petani dan tiga jurnalis terluka, delapan kendaraan dibakar, serta sebuah ambulans dibalikkan.
Pollak juga mendokumentasikan penggunaan kebijakan militer seperti penetapan wilayah sebagai “zona militer tertutup” dan penangkapan paramedis serta aktivis internasional.
Langkah-langkah tersebut, tulisnya, tidak dimaksudkan untuk melindungi warga Palestina, melainkan untuk mengisolasi para korban dan mencegah solidaritas, sementara para pelaku kekerasan tetap bebas dari pertanggungjawaban hukum.
Analisis Haaretz kemudian meluas ke wilayah Palestina di dalam Israel, khususnya Kota Jaffa, untuk menegaskan bahwa kekerasan ini bukan monopoli Tepi Barat.
Kekerasan tersebut, menurut Pollak, bersumber dari iklim hasutan yang dipelihara oleh institusi resmi dan lokal, serta diperkuat oleh tokoh-tokoh keagamaan ekstrem yang menikmati perlindungan hukum.
Dalam konteks ini, artikel tersebut menyoroti sebuah insiden di Jaffa.
Ketika 3 pemuda Israel yang mengenakan kipa dan memanjangkan ikal rambut di pelipis mengepung Hanan Khumayel—yang saat itu sedang hamil sembilan bulan—di dalam mobilnya bersama 2 anaknya yang berusia 4 dan 5 tahun.
Mereka mengancam, memukul, serta menyemprotkan cairan merica ke arah Khumayel dan anak-anaknya sambil melontarkan cercaan rasial.
Insiden ini, tulis Pollak, bukan sekadar serangan individual, melainkan pesan intimidasi terhadap seluruh komunitas Palestina di kota tersebut.
Artikel Haaretz tersebut ditutup dengan kesimpulan bahwa pelabelan kejahatan-kejahatan ini sebagai tindakan “kelompok ekstrem” justru menutupi realitas sesungguhnya.
Menurut Pollak, kekerasan tersebut merupakan pelaksanaan berkelanjutan dari kebijakan pembersihan etnis jangka panjang, yang dijalankan oleh satu sistem hukum dan satu otoritas “dari laut hingga sungai”.
Kekerasan itu, tegasnya, bukan penyimpangan dari sistem yang ada, melainkan inti dari sistem itu sendiri.


