Sunday, May 4, 2025
HomeBeritaHaaretz: Israel di ujung tanduk saat peringati "hari jadinya"

Haaretz: Israel di ujung tanduk saat peringati “hari jadinya”

Di tengah konflik berkepanjangan di Jalur Gaza dan krisis kepercayaan terhadap pemerintah, Israel pada Kamis, 1 Mei 2025, memperingati 77 tahun berdirinya negara haram itu—sebuah momen yang biasa dirayakan sebagai Hari Kemerdekaan.

Namun, sebagaimana diulas dalam tajuk rencana Haaretz, perayaan tahun ini diliputi suasana muram dan ketegangan internal yang mendalam.

Menurut Haaretz, peringatan tahun ini menjadi yang kedua kalinya digelar di tengah perang terbuka yang masih berkecamuk di Gaza.

Sejak pecahnya perang terbaru, sedikitnya 59 warga Israel dilaporkan menjadi tawanan, dan dari jumlah itu, sekitar 21 orang diyakini masih hidup.

Fakta ini, menurut koran tersebut, menjadi pengingat getir bahwa pemerintahan koalisi pimpinan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu lebih memprioritaskan kelangsungan kekuasaan politik daripada menyelamatkan nyawa warganya yang disandera.

Luka yang menganga di hari kemerdekaan

Haaretz menyebut sikap pemerintah Israel yang enggan bertanggung jawab atas kegagalannya dalam mencegah penculikan warganya.

Israel juga enggan membayar harga untuk menyelamatkan mereka sebagai “noda moral” yang mencoreng setiap anggota koalisi pemerintahan, khususnya Netanyahu.

Penelantaran terhadap para sandera ini, menurut media tersebut, bukan hanya mengaburkan makna peringatan kemerdekaan. Tetapi juga mengguncang kepercayaan warga terhadap negara yang seharusnya menjadi rumah aman bagi seluruh orang Yahudi.

Surat kabar itu juga menyoroti hilangnya arah moral dalam kebijakan militer Israel di Gaza.

Menurut Haaretz, perang yang semula ditujukan untuk membalas serangan Hamas kini berkembang menjadi operasi militer yang menyasar seluruh penduduk Gaza, tanpa membedakan antara kombatan dan warga sipil.

Ketika suatu negara kehilangan kemampuannya membedakan antara perang dan kejahatan perang, tulis mereka, maka ancaman dari dalam negeri bisa jadi lebih membahayakan daripada musuh eksternal.

Selain kegagalan menangani krisis Gaza, Haaretz menyoroti tindakan Netanyahu yang secara sistematis melemahkan institusi negara.

Dalam beberapa bulan terakhir, sang perdana menteri disebut telah melancarkan serangan politik terhadap lembaga yudikatif dan keamanan.

Memprovokasi opini publik terhadap Jaksa Agung Gali Baharav-Miara, menolak mengakui Ishak Amit sebagai Ketua Mahkamah Agung, mendorong pengunduran diri Kepala Staf Militer Herzi Halevi, dan mencoba mencopot Kepala Dinas Keamanan Dalam Negeri (Shin Bet), Ronen Bar.

Dalam kondisi demikian, Israel dinilai mengalami kekosongan visi politik. Haaretz menilai para pemimpin negara gagal menawarkan arah dan harapan yang jelas bagi masa depan.

Memperbesar isolasi Israel di mata dunia, sekaligus memperkuat sentimen anti-Yahudi di berbagai belahan dunia.

Lebih jauh lagi, Haaretz menyoroti memburuknya kohesi sosial di Israel. Komunitas Yahudi ultra-Ortodoks (Haredi), misalnya, terus menolak mengikuti wajib militer, sementara ruang kebebasan berpendapat semakin menyempit.

Media, tokoh publik, hingga para anggota parlemen memilih bungkam terhadap ujaran kebencian dan rasisme yang diungkapkan oleh sesama warga Yahudi.

Situasi ini diperparah oleh restrukturisasi kepolisian yang mengikuti agenda ekstrem Menteri Keamanan Nasional Itamar Ben-Gvir, serta tindakan represif terhadap gerakan protes yang menentang kebijakan pemerintah.

Tajuk Haaretz menutup ulasannya dengan peringatan tajam: Israel tengah berada di titik paling rapuh dalam sejarah modernnya, bukan semata karena musuh dari luar.

Tetapi karena perpecahan internal yang dibiarkan membesar dan merusak fondasi demokrasi serta solidaritas nasional.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular