Gerakan Perlawanan Islam (Hamas) pada Kamis menyerukan kepada para mediator internasional dan pemerintah Amerika Serikat untuk segera mengambil tanggung jawab terhadap kejahatan brutal yang terus dilakukan oleh militer Israel di Jalur Gaza.
Hamas juga mendesak agar dunia internasional menekan Israel untuk segera menghentikan serangan terhadap anak-anak dan warga sipil yang tak bersenjata.
Pernyataan tersebut disampaikan menyusul serangan udara Israel pada Kamis malam yang menghantam kawasan pemukiman di lingkungan Sabra, pusat Kota Gaza. Serangan itu menyebabkan puluhan warga sipil tewas, terluka, dan masih hilang di bawah reruntuhan, menurut Hamas.
Hamas menyatakan bahwa serangan ini adalah upaya nyata Israel untuk menggagalkan implementasi kesepakatan gencatan senjata yang tengah dirundingkan.
“Pembantaian brutal yang dilakukan oleh pesawat tempur rezim pendudukan di rumah keluarga Ghabboun, sebelah barat Kota Gaza, telah menyebabkan lebih dari 70 warga sipil tak bersenjata gugur atau terluka,” demikian bunyi pernyataan resmi Hamas.
Hamas menilai bahwa serangan tersebut merupakan “upaya Pemerintah kriminal Netanyahu untuk mengacaukan situasi, mengalihkan perhatian dari upaya mediasi internasional, dan menggagalkan implementasi kesepakatan penghentian agresi terhadap Gaza.”
Pernyataan tersebut juga menambahkan bahwa “pembantaian sistematis terhadap warga sipil, termasuk perempuan, anak-anak, dan lansia, mencerminkan wajah asli rezim penjajah yang haus darah, dan menunjukkan tekad pemerintah fasis Israel untuk melanjutkan genosida hingga detik terakhir.”
Sebelumnya pada hari yang sama, Tim Pertahanan Sipil Palestina dan sejumlah sumber medis melaporkan bahwa empat warga Palestina tewas dan sekitar 40 lainnya hilang dalam serangan udara Israel yang menghantam rumah keluarga Ghabboun di Jalan Ats-Tsalatsini, lingkungan Sabra, Gaza Selatan.
Tim penyelamat masih terus bekerja di lokasi di tengah kondisi yang sangat berbahaya dan sulit, menurut laporan pertahanan sipil.
Serangan ini terjadi hanya beberapa jam setelah Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, mengumumkan tercapainya kesepakatan tahap pertama antara Israel dan Hamas mengenai penghentian perang dan pertukaran tahanan.
Serangan juga berlangsung saat pemerintah Israel tengah menggelar rapat kabinet untuk melakukan pemungutan suara terkait perjanjian gencatan senjata yang diumumkan oleh Presiden Trump.
Menurut laporan dari Otoritas Penyiaran Israel, serangan di kawasan Sabra dilakukan atas persetujuan langsung Kepala Staf Angkatan Bersenjata Israel, Jenderal Herzi Halevi. Sumber militer Israel mengklaim bahwa bangunan yang menjadi target digunakan untuk “aktivitas berbahaya” yang mengancam pasukan Israel.
Juru bicara militer Israel, Avichay Adraee, melalui unggahan di platform X (dulu Twitter), juga menyatakan bahwa pasukannya menyerang sebuah sel Hamas di Gaza Utara yang disebut “menjadi ancaman langsung dan segera” bagi militer Israel.
Hingga Kamis malam, rapat Dewan Keamanan Kabinet Israel (kabinett) belum menghasilkan pemungutan suara terhadap kesepakatan gencatan senjata. Sementara itu, rapat kabinet penuh dijadwalkan ulang, menurut laporan harian Yedioth Ahronoth.
Apabila disetujui, kesepakatan tersebut akan mulai diberlakukan dalam waktu 24 jam sejak pengesahan.
Israel memperkirakan terdapat 48 warganya yang masih ditahan di Gaza, dengan 20 di antaranya masih hidup. Di sisi lain, lebih dari 11.100 warga Palestina saat ini ditahan di penjara-penjara Israel, banyak di antaranya dilaporkan mengalami penyiksaan, kelaparan, dan pengabaian medis. Sejumlah tahanan bahkan dilaporkan meninggal dunia, menurut laporan berbagai organisasi hak asasi manusia.
Sejak 8 Oktober 2023, dengan dukungan penuh dari Amerika Serikat, Israel dituduh melakukan genosida terhadap warga Gaza. Serangan militer telah menyebabkan setidaknya 67.194 warga Palestina tewas dan 169.890 lainnya terluka—mayoritas korban adalah perempuan dan anak-anak. Selain itu, krisis kelaparan telah merenggut nyawa 460 orang, termasuk 154 anak-anak.