Saturday, September 27, 2025
HomeBeritaIni detail proyek pemerintahan Gaza di bawah Tony Blair

Ini detail proyek pemerintahan Gaza di bawah Tony Blair

Ketika Israel masih melanjutkan perang yang telah menelan puluhan ribu korban jiwa di Gaza—sekitar 65.000 orang diperkirakan tewas, ribuan lainnya hilang atau mengalami luka berat, termasuk amputasi.

Sementara ratusan ribu warga terpaksa mengungsi—perdebatan lain mencuat di balik layar: siapa yang akan memegang kendali di Gaza setelah perang berakhir?

Majalah The Economist melaporkan bahwa sejumlah pemerintah dan pusat kajian internasional tengah merancang skenario bagi “hari setelahnya” di Gaza.

Usulan itu beragam, mulai dari inisiatif yang datang dari Eropa, negara-negara Arab, hingga konsep yang disusun sendiri oleh Hamas.

Namun, gagasan yang paling mengundang kontroversi datang dari mantan Perdana Menteri Inggris, Tony Blair.

Blair, yang sejak awal perang intens melakukan kunjungan ke Yerusalem, mendorong lembaganya di London untuk merancang sebuah proposal pembentukan “Otoritas Transisi Internasional Gaza” atau Gaza International Transitional Authority (GITA).

Detil proyek pemerintahan Gaza di bawah Tony Blair

Majalah The Economist mengutip sumber-sumber yang mengetahui rancangan ini. Menurut mereka, otoritas transisi tersebut akan bekerja dengan mandat dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai “otoritas politik dan hukum tertinggi” selama 5 tahun.

Struktur kepemimpinan direncanakan terdiri atas sebuah dewan beranggotakan tujuh orang dengan dukungan sekretariat eksekutif yang kecil. Adapun biaya operasionalnya akan ditanggung oleh negara-negara Teluk.

Rancangan ini, lanjut The Economist, mendapat dukungan sejumlah tokoh berpengaruh. Salah satunya adalah Jared Kushner, menantu Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump.

Disebutkan, Trump sendiri telah membahas gagasan ini pada Agustus lalu bersama Blair serta sejumlah utusan Amerika dan Israel, sebelum kemudian ia sampaikan kepada para pemimpin di dunia Arab maupun Asia.

Namun, sebagian besar kalangan Palestina menaruh kekhawatiran. Mereka memandang, rencana “GITA” berpotensi berubah menjadi bentuk baru dari pendudukan internasional, terlebih dengan mengingat sejarah kolonial Inggris di Palestina.

Sosok Blair sendiri masih membekas dalam ingatan publik Arab, terkait invasi Irak tahun 2003 serta kegagalannya dalam misi perdamaian sebagai utusan Kuartet Timur Tengah.

Dalam laporan yang sama, The Economist menambahkan bahwa Presiden Palestina Mahmoud Abbas berupaya membuka jalan kembali menuju Gaza melalui pembentukan pemerintahan teknokrat yang didukung oleh negara-negara Arab.

Di sisi lain, sejumlah pihak memberi peringatan: rencana Blair bisa berakhir menjadi “pendudukan terselubung”.

Sikap Israel

Menurut The Economist, Hamas menyatakan kesiapan untuk menyerahkan senjata serta memberi ruang bagi pemerintahan independen di Gaza, asalkan pengaturan itu disertai dengan prospek politik yang nyata.

Meski demikian, Hamas menolak jika anggotanya sepenuhnya disingkirkan dari sektor-sektor sipil, seperti pendidikan dan kesehatan.

Berbeda dengan itu, pemerintahan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu tetap bersikeras mempertahankan kendali atas Jalur Gaza.

Israel, menurut pandangan mereka, telah membayar harga tinggi, baik secara militer maupun manusia, dalam pertempuran di kawasan tersebut.

Menteri Keuangan Bezalel Smotrich bahkan secara terbuka menyebut adanya “kekayaan properti” di Gaza.

Di tengah situasi ini, Netanyahu terus menjalin komunikasi dengan Tony Blair, meski belum memberikan komitmen apa pun atas rencananya.

Sejumlah pengamat menilai, diskusi tentang “hari setelahnya” di Gaza sengaja digunakan Tel Aviv untuk mengulur waktu sekaligus menegakkan fakta-fakta baru di lapangan.

Sementara itu, harian Haaretz melaporkan, Kamis lalu, bahwa pemerintahan Donald Trump mendorong sebuah skema yang menempatkan Tony Blair sebagai pimpinan otoritas internasional sementara untuk mengelola Gaza pascaperang.

Dalam laporannya, jurnalis Lisa Rozovsky mengutip sumber-sumber Israel dan Arab yang menjelaskan bahwa rencana tersebut mencakup pembentukan “otoritas internasional” dengan mandat Dewan Keamanan PBB.

Badan ini akan bertugas memimpin rekonstruksi Gaza sekaligus mengelola urusan sipil selama beberapa tahun.

Skema ini juga dibarengi dengan pengerahan pasukan multinasional untuk mengamankan perbatasan dan mencegah Hamas kembali berkuasa.

Namun, rencana itu masih menyisakan banyak tanda tanya, terutama soal kapan dan bagaimana Gaza akan diserahkan kepada Otoritas Palestina.

Kekaburan ini, menurut sejumlah sumber Arab, bisa saja dimanfaatkan Netanyahu untuk menghalangi keterlibatan resmi Otoritas Palestina di Gaza.

Rozovsky menambahkan, seorang sumber Israel mengonfirmasi bahwa Gedung Putih telah menyampaikan detail rencana tersebut kepada Netanyahu dan para pejabat Israel.

Menurutnya, “Trump memberikan dukungan penuh” bagi inisiatif itu. Sumber yang sama menjelaskan, meski belum ada penolakan resmi dari pihak Israel, terdapat “sensitivitas” besar terkait pemberian peran langsung kepada Otoritas Palestina.

Karena itu, opsi yang tetap terbuka adalah menempatkan kekuatan internasional di bawah kepemimpinan Tony Blair.

Mosaik sikap yang berbeda

Harian Financial Times menulis bahwa Tony Blair, selama beberapa bulan terakhir, aktif melakukan lobi pribadi untuk mempromosikan ide pengelolaan Gaza melalui mekanisme perwalian internasional.

Namun, gagasan itu justru menuai penolakan dari sejumlah ibu kota Arab maupun Eropa.

Menurut mereka, skema tersebut akan menyingkirkan peran langsung rakyat Palestina, sehingga kehilangan legitimasi di mata warga Gaza sendiri.

Sebagai gantinya, negara-negara tersebut mendorong opsi pembentukan pemerintahan teknokrat Palestina di bawah pengawasan Otoritas Palestina—lembaga yang hingga kini diakui secara resmi oleh dunia internasional.

Masih menurut Financial Times, rencana yang diusung Presiden Donald Trump sejatinya merupakan gabungan dari elemen-elemen yang sebelumnya pernah muncul dalam berbagai inisiatif Eropa maupun Arab.

Elemen utama di antaranya adalah gencatan senjata permanen yang disertai pembebasan seluruh tahanan yang berada di tangan Hamas, reposisi militer Israel.

Pada akhirnya penarikan penuh pasukan dari Gaza bersamaan dengan kedatangan pasukan penjaga perdamaian internasional.

Rencana tersebut juga mencakup pembentukan pemerintahan transisi di Gaza yang dijalankan oleh sebuah komite Palestina di bawah pengawasan internasional, serta penegasan penolakan terhadap segala bentuk pemindahan paksa penduduk Gaza.

Namun, dalam kerangka yang digambarkan Trump, Hamas sama sekali tidak diberi ruang dalam pemerintahan baru.

Sebaliknya, Otoritas Palestina diproyeksikan perlahan-lahan mengambil peran lebih besar, dengan dukungan dan tekanan dari negara-negara Arab agar kewenangannya diperluas.

Meski demikian, Financial Times menegaskan bahwa hambatan terbesar tetap datang dari Israel. Netanyahu berulang kali menyatakan penolakannya terhadap keterlibatan Otoritas Palestina, sembari tetap berpegang pada janji untuk menghancurkan Hamas hingga tuntas.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular