Mohammed Jubaity (1993) adalah salah satu wajah generasi baru penulis Palestina.
Generasi yang memikul beban sejarah panjang bangsanya, namun menuliskannya melalui detail kehidupan sehari-hari yang penuh paradoks—bukan sebagai kemewahan, melainkan sebagai kebutuhan.
Ia menulis untuk membuka jendela harapan, menolak lupa, dan memberi suara bagi mereka yang telah dibungkam kematian.
Namanya dikenal lewat karya-karya yang memadukan kepekaan manusiawi dengan imajinasi liar, berpijak pada kesadaran politik dan budaya yang kokoh.
Di antara novelnya yang menonjol adalah Al-Mahzalah (Kebodohan), Tukang Cuci Piring yang Membaca Schopenhauer, Seorang Lelaki untuk Lebih dari Satu Kematian, Dunia 9, dan Koki yang Memakan Jantungnya.
Tentang novel terbarunya Tidak Ada Surat untuk Gaza serta perjalanannya dalam dunia kepenulisan, berikut petikan wawancara Kompas dengan Mohammed Jubaity:
Anda pernah menyebut tumbuh dalam keluarga yang tidak terbiasa membaca. Justru dari situ, Anda menemukan buku sebagai jalan keselamatan. Dari apa sebenarnya buku “menyelamatkan” Anda, dan apa yang kemudian diberikannya kepada Anda sebagai penulis?
Saya tumbuh di rumah yang tidak akrab dengan buku, tetapi dikelilingi alam dan cerita orang-orang.
Buku tidak menyelamatkan saya dari pendudukan atau blokade, tetapi ia memberi saya bahasa untuk mengungkap kesedihan, dan untuk berbicara dengan mereka yang sudah tiada seakan masih duduk di hadapan saya.
Kesadaran saya mulai terbangun pada masa Intifadah pertama. Dalam ketakutan sehari-hari, buku menjadi tempat berlindung dan memberi arti bagi hidup saya. Ia adalah suara saya menghadapi ketidakadilan.
Studi Anda di bidang biokimia di Italia pernah disebut melatih ketelitian. Bagaimana itu memengaruhi gaya menulis Anda?
Di laboratorium, saya belajar bahwa detail sekecil apa pun menentukan hasil. Satu kesalahan bisa merusak seluruh eksperimen.
Demikian pula dalam menulis: satu kata yang salah tempat dapat merusak ritme. Sejak itu saya melihat novel seperti formula kimia: rentan, butuh keseimbangan, dan mesti diberi waktu untuk matang.
Selain menulis, Anda juga mengajar dan bekerja sebagai jurnalis. Apakah kedua pengalaman ini menjadi bagian dari proyek kreatif Anda?
Mengajar membuat saya belajar mendengar, melihat cerita yang tersembunyi di balik tatapan dan wajah orang.
Manusia menyimpan kerumitan, diam, dan luka yang tidak selalu tampak dalam kata-kata.
Sementara jurnalisme melatih saya menangkap adegan dengan cepat, memadatkan peristiwa dalam kalimat yang jernih dan kuat.
Jadi, keduanya bukan sekadar profesi, melainkan cara memahami manusia dalam kedalaman yang kemudian menghidupi karya-karya saya.
Sebagai bagian dari generasi baru penulis Palestina, apa yang menurut Anda membedakan generasi ini dari sebelumnya?
Generasi sebelumnya memikul beban besar “narasi nasional.” Kami lebih menaruh perhatian pada detail kecil kehidupan sehari-hari.
Kami menulis tentang cinta yang tumbuh di balik pagar dan pos pemeriksaan. Tentang kematian yang bukan lagi peristiwa luar biasa, melainkan bagian dari rutinitas.
Namun di tengah itu semua, kami tetap mencari harapan. Menulis adalah jendela untuk bermimpi, cara untuk melawan lupa, dan memberi suara bagi yang dibungkam.
- Bagaimana Anda memanfaatkan memori kolektif Palestina tanpa menjadikan tulisan jatuh pada retorika politik langsung?
Menulis bagi saya bukan kemewahan, melainkan kebutuhan. Saya menulis agar tidak terkikis, agar cerita tetap hidup.
Saya ingin pembaca merasakan politiknya, tanpa harus membaca khutbah politik. Memori dalam tulisan itu seperti garam pada masakan. Ketiadaannya merusak rasa, tetapi berlebihan pun merusaknya.
Dalam karya Anda, humor dan ironi sering hadir. Apakah itu untuk meringankan beban tragedi atau justru menekankannya?
Bagi saya, ironi bukan sekadar pelepas rasa sakit. Ia adalah cara menguji rapuhnya tragedi di hadapan kemampuan kita tertawa.
Seperti kata Milan Kundera, dengan menertawakan nasib kita, kita membebaskan diri darinya. Di Palestina, kadang humor adalah garis pertahanan terakhir akal sehat.
Dalam Tidak Ada Surat untuk Gaza, tokoh utamanya seorang pemuda pencinta parkour, tetapi kemudian terpaksa menjadi penggali kubur seperti ayahnya. Apa yang ingin Anda tekankan lewat kontras itu?
Saya ingin mengatakan: orang Palestina terbang dengan mimpi hingga menyentuh langit, tetapi realitas pahit menariknya kembali ke tanah—kadang bahkan ke liang kubur.
Parkour adalah simbol kebebasan total, sementara menggali kubur adalah perjumpaan dengan takdir paling mutlak.
Di antara keduanya, tokoh itu hidup. Begitu juga orang Palestina, selalu berada di antara impian masa depan dan realitas hari ini yang penuh penguburan.
Apakah menghadapi kematian setiap hari, seperti tokoh dalam novel, melahirkan kebebasan tertentu atau rekonsiliasi dengan takdir?
Ada semacam rekonsiliasi, tetapi juga luka tak terlihat. Saat melihat kematian setiap hari, Anda tak lagi takut seperti orang lain.
Namun sekaligus menyadari betapa rapuh hidup ini, dan betapa setiap momen pantas dijalani sepenuh-penuhnya.
Apa yang Anda harapkan bisa ditinggalkan novel ini bagi pembaca, baik di dunia Arab maupun internasional?
Saya ingin memindahkan penderitaan dari angka-angka dan breaking news menjadi kisah hidup yang nyata.
Novel memberi wajah dan nama kepada mereka yang biasanya hanya disebut dalam laporan.
Untuk pembaca Arab, ini pengingat bahwa Palestina bukan hanya konflik jauh atau isu politik, melainkan soal kemanusiaan yang menyentuh martabat bangsa Arab.
Untuk pembaca dunia, saya ingin mengetuk hati nurani agar mempertanyakan narasi resmi yang mendominasi media internasional.
Dalam hal ini, peran penulis Palestina bukan hanya sebagai saksi atau pencatat, tetapi juga sebagai penggugah kesadaran dan penjaga memori kolektif.
Kata-kata, meski sederhana di hadapan tank dan pesawat tempur, tetap mampu mengguncang diam, membangunkan nurani, dan melawan pelupaan.