Saturday, December 21, 2024
HomeBeritaIsrael alami krisis mental terburuk sepanjang sejarah

Israel alami krisis mental terburuk sepanjang sejarah

bantuan kementerian untuk menangani masalah kesehatan mental akan meningkat dua kali lipat menjadi sekitar NIS 600 juta (setara $162 juta atau 2,5 triliun rupiah)

Israel mengalami krisis kesehatan mental terburuk yang pernah ada, kata Menteri Kesehatan Israel Uriel Buso, dalam satu konferensi kesehatan mental di Tel Aviv, kemarin (4/9).

Buso mengatakan, agresi di Gaza yang sudah berjalan 11 bulan telah mengubah realitas Israel. Kata Buso bantuan kementerian untuk menangani masalah kesehatan mental akan meningkat dua kali lipat menjadi sekitar NIS 600 juta (setara $162 juta atau 2,5 triliun rupiah) pada tahun 2025.

“Kita sedang mengalami peristiwa kesehatan mental terbesar yang pernah dialami negara ini sejak berdirinya,” ujar Buso.

Dia menambahkan bahwa kementerian “harus fokus pada tindakan yang membangun ketahanan.”

Dr. Hilla Hadas, CEO Enosh, yang mengorganisir konferensi itu menyatakan, konferensi diadakan karena situasi darurat nasional.

“Kita harus memastikan bahwa negara ini siap menghadapi hari setelah perang,” kata Hadas. “Kami tidak akan bisa menyelesaikan semua masalah, dan kami tahu akan selalu ada kejutan, tetapi kita perlu siap.”

Beragam ahli, termasuk akademisi, pemerintah, otoritas lokal, IDF, filantropi, dan organisasi kesehatan mental, membahas kondisi kesehatan mental serta kebutuhan mendesak untuk memperkuat sistem kesehatan mental di Israel.

Baca juga: Jumlah tentara Israel yang cari dukungan psikologis naik enam kali lipat

Baca juga: Lebih dari 10.000 tentara Israel dirawat sejak 7 Oktober

Lebih dari 400 orang menghadiri konferensi tersebut. Suasana konferensi begitu muram saat Ibu Negara Michal Herzog berbicara tentang kesedihan yang dirasakan negara setelah enam sandera yang diculik hidup-hidup oleh Hamas pada 7 Oktober, ditemukan tewas di sebuah terowongan di Gaza selatan pada Sabtu lalu.

Dalam satu sesi, seorang wanita yang suaminya tewas dalam serangan 7 Oktober berbagi pengalaman dia merawat dua anak tanpa kehadiran suami. Ofri Levy Zemach, mengatakan kedua anaknya (3 dan 5 tahun) sering mengajukan pertanyaan yang sangat sulit.

Mengapa Abba (Ayah) tidak mengucapkan selamat tinggal?’ atau, ‘Mengapa dia meninggalkan kami?’” Zemach mengenang.

Menghadiri konferensi ini adalah Yeshitu Shmuel, CEO Wustet Zega, organisasi yang menawarkan bantuan psikologis kepada masyarakat dari berbagai budaya.

“Orang Ethiopia tidak mengenal psikologi Barat,” katanya. “Alih-alih mengatakan mereka sedang stres, mereka mungkin mengatakan ada cacing di kepala mereka atau semut di lengan mereka.”

Organisasi membantu menjelaskan kepada pekerja sosial dan psikolog bagaimana berkomunikasi dengan orang-orang dari berbagai budaya yang membutuhkan bantuan psikologi. Mereka mendorong orang-orang agar tidak takut untuk meminta bantuan.

Rekannya, Roman Feriede, menegaskan bahwa “badan pemerintah membutuhkan kita untuk menjangkau masyarakat.”

Dia mengatakan, mendengar para pembicara menekankan betapa besarnya kebutuhan yang ada. “Kesadaran ini membantu kami melanjutkan pekerjaan kami,” katanya.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular