India melancarkan serangan pada dini hari 7 Mei terhadap apa yang disebutnya sebagai “kamp militan” di wilayah Pakistan, termasuk di wilayah sengketa Kashmir.
Serangan ini dilakukan menyusul pembunuhan terhadap 26 orang—sebagian besar wisatawan—di Kashmir India pada bulan lalu oleh kelompok bersenjata Islamis yang menurut India didukung Pakistan.
Wilayah Kashmir, yang mayoritas penduduknya beragama Islam dan terletak di pegunungan Himalaya, telah lama menjadi sumber konflik antara India dan Pakistan.
Wilayah ini menjadi titik temu perang, pemberontakan bersenjata, dan ketegangan diplomatik selama lebih dari tujuh dekade.
Berikut kilasan sejarah dan kondisi Kashmir yang menjadikannya pusat konflik berkepanjangan kedua negara bersenjata nuklir ini:
Akar sengketa: Dari pembagian India hingga aksesi
Saat India dan Pakistan merdeka dari penjajahan Inggris pada tahun 1947, Kashmir—yang mayoritas penduduknya Muslim—diperkirakan akan bergabung dengan Pakistan, sebagaimana wilayah Muslim lainnya.
Namun, penguasa wilayah tersebut, seorang raja Hindu bernama Maharaja Hari Singh, memilih tetap merdeka.
Keputusan itu berubah ketika sekelompok pasukan bersenjata dari Pakistan menyerbu wilayahnya.
Dalam kondisi terdesak, sang Maharaja meminta bantuan India dan bersedia menandatangani akta aksesi ke India pada Oktober 1947. Langkah itu memicu pecahnya perang pertama antara India dan Pakistan.
Letak strategis dan pembagian wilayah
Kini, Kashmir terbagi dalam tiga bagian: India menguasai Lembah Kashmir, Jammu, dan Ladakh, wilayah dengan populasi campuran antara Hindu dan Muslim.
Pakistan mengontrol Azad Kashmir (Kashmir Merdeka) dan Wilayah Utara; sementara Tiongkok menguasai wilayah Aksai Chin.
Pasal 370: Otonomi yang dicabut
Kashmir pernah memiliki status otonomi khusus berdasarkan Pasal 370 dalam Konstitusi India. Ketentuan ini disusun pada 1947 oleh Perdana Menteri negara bagian saat itu, Sheikh Abdullah, dan didukung oleh Perdana Menteri India pertama, Jawaharlal Nehru.
Meski semula bersifat sementara, Pasal 370 dimasukkan ke dalam konstitusi secara resmi pada 1949.
Perang dan ketegangan militer
India dan Pakistan telah tiga kali berperang sejak merdeka, dua di antaranya berkaitan langsung dengan Kashmir—pada 1947 dan 1965. Perang ketiga pada 1971 berujung pada lahirnya Bangladesh.
Pada 1999, keduanya kembali bentrok di kawasan Kargil, dalam konflik yang oleh banyak pihak disebut sebagai perang tanpa deklarasi resmi.
Saat ini, wilayah Kashmir dipisahkan oleh Line of Control (LoC), garis gencatan senjata yang dimediasi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Pemberontakan bersenjata
Sejak 1989, ketidakpuasan masyarakat Muslim di Kashmir terhadap pemerintahan India meletup menjadi pemberontakan bersenjata yang didominasi kelompok separatis Muslim.
Pemerintah India mengerahkan puluhan ribu tentara ke wilayah tersebut. Konflik ini menewaskan puluhan ribu orang.
India menuduh Pakistan sebagai pemasok senjata dan pelatih bagi kelompok militan, tuduhan yang dibantah Islamabad.
Pemerintah Pakistan menyatakan hanya memberikan dukungan moral dan diplomatik kepada warga Kashmir.
Pencabutan status khusus
Pada Agustus 2019, pemerintahan Perdana Menteri Narendra Modi mencabut status otonomi parsial Kashmir dengan alasan untuk mengintegrasikan wilayah itu secara lebih utuh ke dalam negara India.
Status negara bagian Jammu dan Kashmir dihapus dan wilayah tersebut direorganisasi menjadi dua wilayah persatuan (union territory): Jammu dan Kashmir, serta Ladakh.
Keputusan ini memicu protes keras dari Pakistan, yang merespons dengan menurunkan tingkat hubungan diplomatik dengan India.
Situasi terkini
Pemerintah India menyatakan bahwa pencabutan status khusus tersebut membawa “kebiasaan baru” di Kashmir setelah puluhan tahun kekerasan.
Dalam beberapa tahun terakhir, kekerasan berskala besar diklaim menurun, sementara jumlah wisatawan ke wilayah tersebut meningkat.
Namun demikian, serangan-serangan terarah terhadap warga sipil dan aparat keamanan masih terus terjadi.
Pemilu 2024: Isyarat politik baru
Pada tahun 2024, Jammu dan Kashmir menggelar pemilu lokal pertamanya sejak pencabutan otonomi pada 2019. Sejumlah legislator yang terpilih menyerukan pemulihan sebagian Pasal 370.
Meski demikian, beberapa partai besar di kawasan itu memboikot atau mengkritik proses pemilu, dengan menyatakan bahwa para pemenang tidak akan memiliki kekuasaan politik yang berarti.