Sebuah laporan investigatif dari The Telegraph menyoroti kekacauan dan kekerasan yang menyelimuti sistem distribusi bantuan baru di Jalur Gaza.
Sistem ini dijalankan oleh sebuah lembaga asal Amerika Serikat bernama Humanitarian Foundation for Gaza, di tengah tudingan bahwa bantuan dijadikan alat politik dan mengabaikan prinsip dasar kemanusiaan.
Laporan yang ditulis oleh koresponden Henry Bodkin dari Yerusalem dan Roweida Amer dari Khan Younis ini menggambarkan penderitaan warga Gaza yang harus menempuh jarak jauh untuk mencapai pusat-pusat distribusi di selatan wilayah tersebut.
Di sana, mereka dikatakan harus melalui pemeriksaan biometrik—meski saksi mata menyebutkan bahwa prosedur tersebut sering kali tidak dijalankan.
Distribusi yang menyerupai siksaan
Empat pusat distribusi yang dibentuk digambarkan seperti “penjara terbuka”, di mana ribuan orang berdesakan di lorong-lorong sempit di bawah terik matahari.
Situasi kian mencekam ketika muncul rekaman video orang-orang berlarian menghindari tembakan.
Selama dua pekan pertama, setidaknya dua tragedi berdarah terjadi di sekitar pusat-pusat tersebut.
Salah satunya terjadi pada hari Minggu lalu, mengakibatkan lebih dari 20 orang tewas. Pada insiden lain di hari Selasa, korban jiwa mencapai sedikitnya 24 orang.
Militer Israel mengakui bahwa pasukannya menembakkan peluru “di dekat” warga sipil yang dianggap keluar dari jalur aman.
PBB menilai sistem ini mencederai martabat manusia dan membahayakan keselamatan sipil. Komisaris Tinggi HAM PBB, Volker Türk, mengecam keras kondisi tersebut.
“Ini menunjukkan pengabaian total terhadap kehidupan warga sipil yang dipaksa berlari mengejar makanan di tengah ancaman tembakan,” ujarnya.
Politik di balik bantuan
PBB dan sejumlah organisasi kemanusiaan internasional besar memilih tidak terlibat dengan Humanitarian Foundation for Gaza.
Lembaga ini dituding mempolitisasi bantuan dan menggunakannya sebagai alat tekanan terhadap warga sipil, yang telah lama kekurangan pangan dan obat-obatan.
Seorang warga Gaza menggambarkan suasana mencekam di pusat distribusi sebagai “tempat mengerikan, seperti penjara.”
Ia mengaku tetap nekat datang demi menyelamatkan anak-anaknya dari kelaparan, meski lokasi itu jauh dari tempat tinggal sementaranya.
Warga lain bahkan menyebut lokasi tersebut sebagai “tempat pembantaian.”
Omar Baraka (40), warga Khan Younis, menyatakan bahwa tentara memaksa warga menempuh kilometer jauhnya menuju wilayah-wilayah berbahaya.
“Tidak ada sistem. Ribuan orang berkumpul, awalnya ada distribusi, lalu tempat itu berubah menjadi medan pembunuhan,” tuturnya.
Sementara itu, Salim al-Ahmad (18), pelajar sekolah menengah, menceritakan bagaimana ia harus berlari sejauh 3 kilometer sambil membawa karung tepung.
“Tentara mulai menembaki area itu. Banyak bantuan terbuang karena orang tidak mampu membawa barang sambil berlari,” katanya.
Ia memilih membawa karung kecil seberat 1 kilogram agar bisa selamat.
Strategi militer terselubung
Di balik sistem ini, terdapat pula tudingan bahwa pemerintah Israel memanfaatkan distribusi bantuan sebagai cara memaksa warga Gaza pindah ke wilayah selatan.
Tujuannya diduga untuk membuka jalan bagi operasi militer besar-besaran bernama “Gerobak Gideon,” yang disebut-sebut akan mencakup penghancuran wilayah utara Gaza secara luas.
Lembaga Amerika yang menjalankan distribusi bantuan ini juga menimbulkan tanda tanya. Salah satu mitranya, Safe Reach Solutions, dipimpin oleh Philip Reilly—mantan perwira CIA yang pernah bertugas di Nikaragua dan Afghanistan.
Reilly diyakini memiliki koneksi dengan jaringan tidak resmi di militer Israel dan kantor Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, termasuk kelompok Forum Mikveh Israel yang sejak Desember 2023 mendorong sistem bantuan alternatif di luar kendali PBB dan LSM.
Lembaga ini dilaporkan didirikan oleh seorang pengacara yang juga bekerja untuk sejumlah entitas keamanan, dan menerima donasi sebesar 100 juta dolar AS.
Di Israel, muncul spekulasi bahwa dana tersebut berasal dari badan intelijen Mossad.
Di tengah penderitaan rakyat Gaza, sistem distribusi yang seharusnya menjadi jalur penyelamat justru berubah menjadi medan ketakutan.
“Bayangkan orang-orang yang sudah tiga bulan menunggu makanan dan obat-obatan, kini harus berlari sambil menghindari peluru,” dalam kata-kata Komisaris PBB Volker Türk.