Wednesday, April 16, 2025
HomeBeritaKeluarga relawan medis yang dibunuh Israel: Ia selalu terdepan menolong, gemar sedekah

Keluarga relawan medis yang dibunuh Israel: Ia selalu terdepan menolong, gemar sedekah

Di detik-detik terakhir hidupnya, relawan medis dari Palang Merah Palestina, Rifaat Radwan, merekam dengan ponsel genggamnya momen-momen tertentu.

Momen itu yang menjadi bukti nyata dari salah satu pembantaian paling brutal yang dilakukan oleh tentara Israel terhadap tim kemanusiaan di Gaza selama genosida yang sedang berlangsung.

Rekaman tersebut menjadi perpisahan Rifaat dengan pekerjaan kemanusiaannya yang dilakukan secara sukarela dan hanya diberi imbalan simbolis.

Imbalan itu yang sering ia gunakan untuk membantu keluarganya dan orang-orang miskin, demikian kata ibunya, Umm Muhammad, kepada Anadolu.

Selama berbulan-bulan masa genosida, Rifaat tak pernah ragu untuk merespons panggilan darurat demi menyelamatkan dan mengevakuasi korban kejahatan Israel di Gaza, meskipun jalan tersebut penuh bahaya.

Pada 23 Maret lalu, pasukan Israel membunuh satu tim penyelamat yang terdiri dari 9 anggota, termasuk Rifaat.

5 personel pertahanan sipil, dan satu pegawai dari lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Mereka dibunuh saat menanggapi panggilan darurat dari warga sipil yang terjebak di lingkungan Tel al-Sultan, Rafah.

Kemudian pada 27 dan 30 Maret, pihak berwenang di Gaza mengumumkan bahwa mereka menemukan jenazah 15 anggota tim medis dan pemadam kebakaran yang dikubur.

Mereka dikubur dalam kuburan massal di area sekitar 200 meter dari tempat kendaraan mereka dihancurkan oleh Israel.

Dokumentasi pembantaian

Pada 23 Maret, Rifaat memulai shift pagi yang berlanjut hingga malam hari, ketika eskalasi serangan Israel meningkat di bagian barat Rafah. Saat itu tentara Israel memulai operasi darat.

Dengan meningkatnya kekerasan, Umm Muhammad merasa bahwa hari itu akan menjadi hari yang sangat melelahkan bagi putranya, karena meningkatnya jumlah korban luka dan tewas.

Dengan banyaknya laporan kejahatan, Rifaat segera bergegas menuju lokasi untuk menyelamatkan rekan-rekannya yang menjadi target serangan tentara Israel. Meski nasib mereka belum diketahui saat itu, menurut ibunya.

Setibanya di lokasi serangan, Rifaat merekam dengan kamera ponselnya pembantaian yang dilakukan Israel.

Rekaman itu menjadi bukti kuat bahwa pembunuhan terhadap para petugas dilakukan secara sengaja.

Video berdurasi 6 menit 42 detik itu dipublikasikan oleh lembaga pada hari Sabtu, setelah ditemukan dari ponsel Rifaat yang diambil dari kuburan massal.

Dalam rekaman tersebut, terdengar suara tembakan senapan bertubi-tubi ke arah tim medis dan pertahanan sipil selama lebih dari 5 menit.

Tembakan disertai teriakan dan permintaan tolong dari mereka, ementara beberapa hanya sempat mengucapkan kalimat syahadat.

Video tersebut juga menunjukkan bahwa sebagian dari tim penyelamat masih hidup ketika tentara Israel tiba.

Artinya, mereka dieksekusi secara langsung dengan niat penuh melakukan kejahatan tersebut.

Rekaman itu membantah klaim Israel tentang target serangan mereka. Rekaman memperlihatkan bahwa ambulans yang dihancurkan dilengkapi dengan lampu darurat lengkap.

Serta terlihat para petugas memakai seragam resmi yang bercahaya sesuai dengan standar tugas darurat.

Misi kemanusiaan terakhir

Umm Muhammad tidak pernah menyangka bahwa hari itu—23 Maret—putranya Rifaat akan berangkat menjalankan tugas kemanusiaan tanpa salam perpisahan seperti biasanya, dan tanpa pernah kembali pulang.

Seperti biasanya, ia menunggu Rifaat kembali dengan pakaian penuh darah korban, dan berusaha menenangkannya seperti setiap hari.

Namun malam itu, setelah shiftnya berakhir, Umm Muhammad menunggu dengan cemas karena Rifaat tak kunjung pulang.

Ia mulai merasa gelisah dan hatinya bergetar seakan firasat buruk menyelimutinya.

Ia segera memberi tahu ayah Rifaat tentang keterlambatannya, dan setelah setengah jam, sang ayah mulai menghubungi lembaga tempat Rifaat bekerja.

Kemudian ia memberi tahu bahwa tim mereka diserang oleh Israel di wilayah barat Rafah, dan komunikasi dengan mereka terputus.

Nasib yang tak pasti

Setelah menunggu kabar tentang anak mereka selama lebih dari seminggu, pihak asosiasi memberi tahu keluarga bahwa telah dilakukan koordinasi oleh Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA) untuk masuk ke wilayah tersebut guna mencari para relawan medis dan tim pertahanan sipil.

Keluarga menyambut kabar itu dengan harapan besar. Ayah Rifaat, Anwar, sempat berpikir kemungkinan terburuk yang menimpa tim hanyalah penangkapan oleh tentara Israel, tidak pernah terbayang skenario mengerikan yang akhirnya mereka alami.

“Pada hari pertama Idulfitri, pagi-pagi kami diberi tahu bahwa ada koordinasi untuk masuk ke area dan mengevakuasi para korban (yang gugur),” kata ibu Muhammad tentang awal proses pencarian di wilayah barat Rafah.

Ia menyebutkan bahwa mereka mengalami kesulitan berkomunikasi untuk mengetahui perkembangan pencarian dan memastikan kondisi putranya, karena tidak adanya jaringan telepon atau internet.

Suaminya pun hanya bisa mendapatkan informasi dari waktu ke waktu dengan berkomunikasi bersama tim yang berada di dekat rumah dan ikut dalam pencarian.

“Awalnya para relawan mengatakan mereka menemukan dua jenazah, lalu empat, kemudian enam, dan di situlah aku benar-benar roboh ketika mereka memberitahuku bahwa Rifaat ada di antara mereka,” imbuhnya.

“Kembali dalam keadaan tak utuh”

Dengan rasa syok yang luar biasa, keluarga segera menuju rumah sakit untuk melihat Rifaat untuk terakhir kalinya.

Ibunya sangat merindukannya dan menanti momen terakhir di mana ia bisa memandang wajah Rifaat.

Namun, harapan itu pun pupus. Tim medis memberi tahu bahwa para syuhada yang dievakuasi hanya berupa “potongan tubuh” tanpa tanda-tanda yang bisa dikenali, bahkan beberapa di antaranya sudah membusuk.

“Andai saja aku bisa melihatnya sebelum ia pergi menjalankan tugas terakhirnya untuk menyelamatkan rekan-rekannya yang dibombardir tentara,” tutur sang ibu dengan air mata berlinang.

Ia menjelaskan bahwa Rifaat adalah lulusan diploma “Teknisi Gawat Darurat dan Ambulans”, bekerja secara sukarela dengan imbalan yang sangat kecil.

Meski begitu, ia membantu menopang keluarganya dan juga bersedekah dari penghasilan kecil itu.

Sehari sebelum wafat, Rifaat duduk di samping ibunya dan berkata:

“Aku sudah melakukan semua yang menjadi tugasku dan sudah mengunjungi keluarga besar.”

Seolah-olah ia merasakan bahwa ajal sudah dekat, kenang ibunya.

Eksekusi yang “tak terduga”

Ayahnya, Anwar, menambahkan bahwa dirinya tak pernah menyangka militer Israel akan sampai hati mengeksekusi tim kemanusiaan di Rafah. Ia yakin skenario terburuk hanyalah penangkapan.

“Tim itu terlihat jelas oleh dunia. Anakku adalah seorang paramedis, mengenakan seragam medis, dan ambulans mereka ada di Lokasi,” katanya.

Anwar merasa bangga atas dedikasi putranya di bidang kemanusiaan meskipun pada akhirnya dibunuh secara kejam.

Ia menambahkan bahwa video yang direkam Rifaat di ponselnya telah membuka mata dunia atas kejadian ini dan menjadi bukti kuat terhadap kejahatan Israel.

Ia juga mengingat kembali beberapa momen terakhir bersama putranya, termasuk saat Rifaat pulang kerja dan langsung tertidur dengan pakaian yang masih berlumuran darah saking lelahnya.

Malam sebelum wafat, Rifaat bahkan meminta ibunya menyiapkan “kemeja putihnya” karena pakaian kerjanya yang dikenakan siang itu penuh darah.

“Ia bermimpi melanjutkan pendidikannya, bukan mati karena pengkhianatan,” ungkap sang ayah tentang Impian anaknya itu.

Pengakuan dari Israel

Pada hari Sabtu, tentara Israel akhirnya mengakui kejahatan mereka dalam mengeksekusi paramedis dan anggota pertahanan sipil Palestina di kota Rafah, Gaza selatan.

Kejadian ini memicu kecaman internasional yang luas dan menggugurkan narasi awal Israel setelah video mengejutkan yang direkam oleh Rifaat dipublikasikan.

Pada 31 Maret, militer Israel merilis pernyataan yang mengklaim bahwa mereka tidak menyerang ambulans dan kendaraan pemadam secara sembarangan.

Melainkan, menembaki kendaraan yang mendekat secara mencurigakan tanpa menyalakan lampu darurat.

Mereka juga mengklaim bahwa operasi tersebut menewaskan satu anggota sayap militer Hamas serta delapan lainnya dari Hamas dan Jihad Islam.

Namun, sejak 7 Oktober 2023, dengan dukungan penuh dari Amerika Serikat (AS), Israel telah melakukan genosida di Gaza yang menewaskan dan melukai lebih dari 166.000 warga Palestina. Sebagian besar adalah anak-anak dan wanita, serta lebih dari 11.000 orang hilang.

Gaza terus mengalami agresi militer intens dari Israel di tengah keruntuhan total kondisi kemanusiaan dan Kesehatan.

Sementara Tel Aviv terus memberlakukan blokade ketat dan mengabaikan semua seruan internasional untuk menghentikan kekejaman ini.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular