Sunday, February 23, 2025
HomeBeritaKesaksian aktivis kemanusiaan tentang kehancuran, penderitaan, dan harapan di Suriah

Kesaksian aktivis kemanusiaan tentang kehancuran, penderitaan, dan harapan di Suriah

Seorang pejabat organisasi kemanusiaan menceritakan pengalamannya mengunjungi Suriah setelah jatuhnya rezim Bashar al-Assad. Ia mengungkapkan bahwa perjalanannya memperlihatkan skala kehancuran akibat perang, kedalaman krisis kemanusiaan, serta kekhawatiran tentang jalur politik dan perlindungan hak-hak minoritas.

Namun, ia juga menyaksikan ketahanan luar biasa rakyat Suriah, solidaritas mereka, dan harapan mereka untuk masa depan yang lebih baik.

Bruno Neri, Direktur Regional organisasi Terre des Hommes di Italia, dalam laporan yang diterbitkan oleh surat kabar Il Manifesto, menyatakan kekhawatirannya bahwa keputusan Presiden Amerika Serikat Donald Trump untuk mengurangi bantuan kemanusiaan dapat memperburuk situasi di kamp-kamp pengungsi dan meningkatkan risiko pecahnya gelombang kekerasan baru.

Bruno Neri kembali ke Suriah pada awal Januari lalu bersama rekan-rekannya untuk menilai situasi kemanusiaan di sana. Ia menjelaskan bahwa negara tersebut masih menderita akibat perang yang telah mengubah kehidupan penduduknya secara drastis.

Selama perjalanannya ke Damaskus, Aleppo, dan Idlib, ia menyaksikan situasi yang kompleks, di mana harapan bercampur dengan tantangan besar yang dihadapi masyarakat.

Meskipun, pemerintah transisi menjanjikan inklusivitas dan pemilu yang bebas, banyak warga Suriah—termasuk organisasi masyarakat sipil—tetap skeptis dan menunggu tindakan konkret yang membuktikan bahwa perubahan bukan sekadar janji kosong.

Dampak perang di mana-mana

Di ibu kota Damaskus, kehidupan mulai kembali normal, tetapi bekas luka perang masih terlihat jelas. Sepanjang perjalanan menuju Aleppo, melalui Hama dan Homs, jejak kehancuran tetap mendominasi pemandangan.

Namun, menurut Neri, perang tidak sepenuhnya mematikan denyut kehidupan di kota-kota dan pedesaan. Lansekapnya bervariasi antara perbukitan tandus dan ladang-ladang yang masih ditanami pistachio, zaitun, dan almond—komoditas yang dulu menjadi tulang punggung ekonomi negara.

Sebelum perang, Suriah adalah salah satu eksportir utama minyak zaitun, buah-buahan, sayuran, dan kapas di Timur Tengah. Namun, perang dan blokade ekonomi telah menghancurkan sektor-sektor ini.

Kondisi sulit di Aleppo

Aleppo, salah satu kota tertua dan paling megah di dunia, masih menunjukkan bekas kehancuran perang. Gambaran ini paling jelas terlihat di benteng bersejarahnya—warisan dunia UNESCO—yang berada di antara bangunan-bangunan yang telah dipugar dan reruntuhan yang masih menjadi saksi pertempuran sengit.

Gempa bumi yang melanda wilayah tersebut pada 6 Februari 2023 semakin memperburuk kondisi, menyebabkan kerusakan besar dan menambah jumlah korban jiwa.

Namun, Aleppo tetap kota yang tidak menyerah. Pasar-pasarnya kembali hidup, mengingatkan Neri pada suasana kota Napoli yang penuh hiruk-pikuk dan dinamika.

Di pinggiran kota, Terre des Hommes telah menjalankan pusat medis dan dukungan psikososial selama bertahun-tahun untuk membantu penduduk yang masih bergelut dengan kemiskinan dan bergantung pada bantuan internasional untuk bertahan hidup.

Pendidikan juga menjadi tantangan besar, dengan banyak sekolah yang hancur dan kurangnya fasilitas pendidikan yang memadai. Ketegangan sosial semakin meningkat antara para pengungsi yang kembali dari Lebanon dan penduduk asli Aleppo, karena banyak rumah yang ditinggalkan pemiliknya telah ditempati oleh pengungsi internal.

Situasi ini dapat memperdalam perpecahan sosial di kota yang sudah mengalami kerentanan sosial yang tinggi.

Krisis kemanusiaan di Idlib

Saat melanjutkan perjalanan ke Idlib—sebuah provinsi yang dulu terkenal dengan perkebunan zaitunnya—Neri melihat betapa parahnya dampak konflik di wilayah ini. Sebelum perang, produksi minyak zaitun di Idlib mencapai lebih dari 176.000 ton per tahun.

Saat ini, Idlib adalah salah satu daerah yang paling terdampak perang dan menghadapi krisis kemanusiaan yang serius. Meskipun jalan-jalan kota penuh dengan kendaraan dan pasar masih ramai, hal yang paling mencolok bagi Neri adalah banyaknya showroom mobil baru dan bekas—kemungkinan besar diimpor dari Turki atau negara-negara Teluk—serta perdagangan senjata yang terbuka, di mana senapan AK-47 bisa dibeli dengan mudah.

Provinsi Idlib telah menjadi rumah bagi sekitar 1.200 kamp pengungsi selama 14 tahun terakhir, menampung hampir dua juta orang yang melarikan diri dari berbagai kota di Suriah. Kamp-kamp ini sebagian besar terdiri dari tenda-tenda yang sudah rapuh setelah bertahun-tahun digunakan, tidak memberikan perlindungan dari dinginnya musim dingin.

Banyak keluarga yang terpaksa membakar kayu atau bahan lain yang tersedia untuk memasak dan menghangatkan diri, meningkatkan risiko kebakaran dan luka bakar serius.

Ketika Neri dan rekan-rekannya mengunjungi kamp-kamp pengungsi, anak-anak dengan pakaian tipis segera mengerumuni mereka, matanya menyimpan kisah-kisah kesedihan dan ketahanan yang tak terucapkan—sebuah bukti nyata dari krisis yang dialami para pengungsi di Idlib.

Kekurangan sekolah adalah tantangan besar lainnya, dengan anak-anak yang paling terdampak adalah perempuan. Banyak anak perempuan ditugaskan untuk mengurus pekerjaan rumah tangga, memperlebar kesenjangan pendidikan antara mereka dan anak laki-laki.

Peran organisasi kemanusiaan

Menurut Neri, Terre des Hommes dan berbagai LSM lainnya memainkan peran penting di kamp-kamp pengungsi dengan menyediakan bantuan pangan dan menciptakan ruang aman bagi anak-anak untuk belajar.

Fokus utama mereka adalah memastikan bahwa anak perempuan dan anak-anak penyandang disabilitas mendapatkan akses ke pendidikan dasar, guna mendorong integrasi sosial dan memberikan harapan bagi masa depan yang lebih baik.

Meskipun tantangan yang dihadapi sangat besar, masih ada harapan untuk meningkatkan kondisi kehidupan para pengungsi, yang menjadi motivasi bagi pekerja kemanusiaan untuk terus berjuang.

Dampak keputusan Donald Trump

Neri menekankan bahwa perjalanannya ke Suriah pada Januari lalu adalah pengalaman yang mendalam. Ia menyaksikan kehancuran yang meluas, tetapi juga melihat ketahanan luar biasa rakyat Suriah dan harapan yang tumbuh dari solidaritas mereka.

Ia juga menekankan pentingnya mendukung masyarakat sipil Suriah yang terus melakukan aksi damai untuk menuntut hak-hak minoritas etnis dan agama, hak-hak perempuan, serta memperkuat kohesi sosial.

Namun, ia mengingatkan bahwa pemotongan bantuan kemanusiaan dari Amerika Serikat—seperti pengurangan anggaran bagi Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) dan LSM—dapat menghambat kemampuan organisasi-organisasi ini dalam membantu masyarakat yang paling rentan.

Setelah Donald Trump memerintahkan pemangkasan 30% dari anggaran banyak badan kemanusiaan, berbagai proyek bantuan global menjadi terancam, termasuk pengelolaan kamp-kamp pengungsi di Suriah, seperti Kamp Al-Hol di provinsi Hasakah yang menampung 40.000 orang, termasuk perempuan dan anak-anak yang memiliki hubungan dengan ISIS.

Neri mengakhiri laporannya dengan peringatan bahwa kekurangan dana dapat menyebabkan penutupan kamp, memaksa 18.000 warga Irak dan 4.000 pejuang asing kembali ke Irak—sebuah situasi yang bisa memicu perang saudara baru di Irak dan Suriah, memperburuk penderitaan kelompok paling rentan, dan menciptakan dampak yang mengancam stabilitas global.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular