Seorang perempuan Palestina mengisahkan pengalaman pahit ketika ia digunakan sebagai tameng manusia oleh tentara Israel dalam perang terbaru di Gaza.
Peristiwa itu terjadi setelah ia ditangkap dalam kondisi terluka di lingkungan tempat tinggalnya di Abasan al-Kabira, sebelah timur Khan Younis, Jalur Gaza bagian selatan.
Shurayfa Qudeih, 50 tahun, dalam wawancara dengan Al Jazeera English, mengatakan bahwa hingga kini ia masih berada dalam kondisi terpukul, terlebih setelah foto dirinya—yang diambil dan disebarkan oleh militer Israel—menjadi konsumsi publik.
Dalam foto itu, Shurayfa tampak duduk dengan tangan terikat di dasar sebuah lereng tanah, sementara beberapa tentara Israel berada di atasnya dalam posisi siaga dan terlibat baku tembak.
Ia dipaksa untuk tetap berada di belakang mereka, dijadikan perisai hidup dari kemungkinan tembakan para pejuang Palestina.
Qudeih menuturkan, tentara Israel menarik dirinya dari bawah reruntuhan setelah kawasan tempat tinggalnya digempur.
Dalam keadaan terluka, ia kemudian diborgol, ditahan, dan didudukkan di sebuah kursi yang ditempatkan untuk melindungi punggung para tentara saat mereka bergerak.
Bukan hanya Shurayfa. Dalam operasi darat yang berlangsung selama berbulan-bulan, militer Israel menggunakan banyak warga Palestina sebagai tameng manusia.
Rekaman yang disiarkan sejumlah media, baik Arab maupun internasional, memperlihatkan bagaimana anak muda hingga orang lanjut usia dipaksa berjalan di depan pasukan.
Atau, mereka didorong masuk ke bangunan yang diduga menjadi tempat persembunyian pejuang Gaza—tanpa memedulikan keselamatan mereka.
Laporan kantor berita Associated Press mengungkapkan kesaksian serupa dari sejumlah tentara Israel dan mantan tahanan Palestina.
Mereka menyebut, para komandan dalam militer Israel memberikan perintah langsung agar para tahanan Palestina dijadikan tameng hidup selama operasi berlangsung di Jalur Gaza.
Temuan ini memperkuat dugaan bahwa praktik tersebut dilakukan secara luas.
Dalam kerangka hukum internasional, penggunaan warga sipil sebagai tameng manusia dikategorikan sebagai kejahatan perang.
Pasal 23 Konvensi Jenewa III secara tegas melarang pengiriman tawanan perang ke zona tempur yang dapat membuat mereka terpapar bahaya.
Apalagi, memanfaatkan keberadaan mereka untuk melindungi posisi militer atau instalasi yang menjadi target operasi perang.


