Monday, November 25, 2024
HomeBeritaKesaksikan warga Jabalia: Bom jatuh 10 meter di depan kami

Kesaksikan warga Jabalia: Bom jatuh 10 meter di depan kami

Selama tiga pekan, Muhammad Krayem dan keluarganya hampir tidak memiliki makanan di tengah pengepungan di Gaza Utara, di mana tentara Israel terus melancarkan serangan yang digambarkan warga sebagai “pembersihan etnis.”

Saat salah satu tetangga Krayem mencoba menuju sekolah untuk mencari makanan kaleng, ia ditembak di kaki oleh tentara Israel dan dibiarkan berdarah selama lebih dari dua jam, sementara tentara mencegah siapapun mendekatinya.

Krayem, 38, menceritakan kepada Middle East Eye perjalanan yang dipenuhi serangkaian pengungsian paksa dan serangan berkelanjutan, yang membuat ia dan keluarganya terluka sebelum akhirnya diusir dari Jabalia, Gaza Utara.

Pada hari Senin, Krayem berada di sekitar Rumah Sakit Yaman al-Saeed ketika sebuah drone muncul dan meminta semua orang bergerak menuju Gaza Selatan.

“Kami berangkat sekitar pukul 14.00 dan bersama saya ada sekitar 18 anak,” kenangnya. “Dalam perjalanan, kami mencoba melintasi Rumah Sakit Yaman, tetapi sebuah drone menyerang kami dengan bom langsung.”

Seorang pemuda yang melihat bom tersebut berteriak, “Mereka menjatuhkan bom!” sehingga kami lari, dan bom lain dijatuhkan sekitar 10 meter dari kami.

Empat orang terluka, salah satunya pria berusia 50 tahun yang tertembak di punggung, serta seorang anak berusia 12 tahun yang terkena serpihan di dadanya.

Sepanjang perjalanan, drone terus menembaki kami, dan pecahan bom bertebaran di mana-mana.

Krayem dan para tetangganya menemukan titik medis di daerah Sekolah Abu Hussein di Jabalia, namun ketika melihat banyaknya korban yang tergeletak di sekitar lokasi, mereka memutuskan mundur.

“Kami berlindung di rumah saudara di tengah proyek Beit Lahiya dan tinggal di sana. Kami tidak tidur selama tiga hari akibat pengeboman, ledakan, dan bau kematian yang menyengat. Pagi hari 22 Oktober, sekitar pukul 04.30, mereka membombardir rumah di sekitar; dalam sepuluh menit mereka menjatuhkan enam bom. Setengah jam kemudian, rumah kami ikut dibom.”

Di antara korban, tiga tetangganya — seorang wanita, anak perempuannya, dan seorang pria lanjut usia — tewas. Dua apartemen di atas mereka hancur total dan runtuh menimpa penghuni.

Pemukulan dan interogasi

Luka-luka akibat bom membuat Krayem dan keluarganya harus mencari perlindungan di Rumah Sakit Kamal Adwan. Namun, drone kembali datang dan memainkan rekaman yang meminta mereka bergerak menuju Rumah Sakit Indonesia.

Saat mereka tiba di sana, tentara Israel meminta semua yang terluka datang untuk pemeriksaan keamanan. Menurut Krayem, sekitar 80 persen pria yang terluka ditahan dan mengalami pemukulan dan penghinaan.

“Di antara mereka ada seorang pria dengan disabilitas mental, dia dipukul dan dihina. Seorang pemuda lainnya yang terluka di kakinya dipaksa berdiri di atasnya sambil ditembakkan dua peluru ke arahnya agar dia tetap berdiri.”

Krayem kemudian dibawa ke masjid terdekat untuk diinterogasi bersama puluhan pria lainnya. “Seorang tentara memukul punggung saya dengan gagang senjatanya dan menendang saya padahal saya sudah terluka. Setelah itu, mereka menyuruh saya membawa bendera putih dan membawa sekitar 200 orang ke ‘zona aman’. Tapi tidak ada zona aman di Gaza.”

Perjalanan yang menyiksa

Sejak 5 Oktober, militer Israel melancarkan serangan yang menghancurkan Gaza Utara, mengebom rumah-rumah dan bangunan, serta menerapkan pengepungan ketat. Tentara Israel menyebarkan selebaran yang menginstruksikan warga untuk mengungsi ke Gaza Selatan.

Abdullah al-Muqayid, yang berada di Gaza Utara selama 18 hari sebelum dipaksa keluar oleh tentara Israel, menggambarkan perjalanan tersebut sebagai “siksaan” yang penuh ketakutan.

“Saya meninggalkan kamp Jabalia menuju proyek Beit Lahiya sekitar seminggu setelah serangan terbaru dimulai. Di sana, saya dekat dengan Rumah Sakit Kamal Adwan. Pada hari ke-17, tentara mengepung rumah sakit dan menyuruh kami bergerak menuju Rumah Sakit Indonesia melalui pos pemeriksaan,” ujar Muqayid.

Para pria dewasa, termasuk Muqayid, dipaksa menjalani interogasi di pusat pemeriksaan yang didirikan tentara Israel di area pemukiman.

“Mereka terus menghina kami dan menyuruh kami menunduk. Kami dilarang membantu siapa pun, bahkan wanita dan anak-anak,” katanya.

Pizaro Idrus
Pizaro Idrus
Pengajar HI Universitas Al Azhar Indonesia, Mahasiswa PhD Hubungan Antarbangsa Universitas Sains Malaysia.
ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular