Friday, November 7, 2025
HomeBeritaJurnalis kian dibatasi: Upaya Israel bungkam liputan kompleks Al-Aqsha

Jurnalis kian dibatasi: Upaya Israel bungkam liputan kompleks Al-Aqsha

Komite Perlindungan Jurnalis (CPJ) melaporkan peningkatan signifikan dalam pelanggaran yang dilakukan otoritas Israel terhadap jurnalis Palestina.

Para jurbalis tersebut berupaya meliput situasi di kompleks Masjid Al-Aqsha dan sekitarnya—terutama sejak dimulainya perang pemusnahan di Jalur Gaza.

Dalam laporannya, CPJ menegaskan bahwa selama dua tahun terakhir Israel semakin gencar menggunakan taktik-taktik intimidatif terhadap jurnalis.

Polisi Israel, misalnya, melarang sedikitnya sepuluh jurnalis Palestina masuk ke kawasan Masjid Al-Aqsha selama bulan Ramadan lalu.

Beberapa di antara mereka dipanggil untuk diinterogasi, sementara peralatan kerja jurnalis lainnya disita dengan alasan mereka dianggap “mengancam keamanan.”

Langkah-langkah ini, menurut CPJ, merupakan bagian dari upaya sistematis untuk mengontrol liputan di situs suci itu dan mengendalikan narasi yang keluar dari Yerusalem.

Seorang staf lembaga wakaf Islam di Yerusalem, yang dikutip CPJ, menuturkan bahwa pembatasan terhadap jurnalis sebenarnya bukan hal baru, namun kini telah mencapai tingkat yang lebih agresif di bawah pemerintahan sayap kanan ekstrem Israel.

“Dulu memang ada larangan, tetapi sekarang menjadi jauh lebih kejam. Setelah 7 Oktober 2023, situasinya berubah menjadi mimpi buruk,” ujarnya.

Ia menambahkan, ancaman tidak hanya menimpa jurnalis profesional, melainkan juga siapa pun yang mencoba merekam gambar menggunakan telepon genggam di dalam kompleks masjid.

“Otoritas Israel ingin mengendalikan sepenuhnya citra yang keluar dari Al-Aqsa,” katanya.

Interogasi dan larangan masuk

CPJ juga mencatat bahwa sebagian besar jurnalis yang pernah dilarang masuk ke Al-Aqsha dipanggil ke kantor polisi dan dipaksa menandatangani dokumen yang menyatakan bahwa mereka dilarang meliput di kawasan itu.

Beberapa di antaranya mengaku menjalani interogasi panjang tanpa penjelasan jelas mengenai alasan pemanggilan mereka.

Muhammad Sadiq (47), jurnalis independen, mengatakan ia pertama kali mendapat larangan liputan pada bulan Ramadan tahun ini.

Larangan itu diperpanjang beberapa kali, terakhir pada 25 September, hingga berlaku selama empat bulan ke depan—sampai Januari 2026.

“Mereka mengatakan keberadaan saya bisa memicu kerusuhan. Padahal saya hanya membawa kamera untuk mendokumentasikan, tidak punya catatan kriminal apa pun,” ujarnya.

Larangan tersebut, kata Sadiq, bukan hanya menghalanginya memasuki kompleks Al-Aqsha, tetapi juga melarangnya mendekati kawasan Kota Tua Yerusalem.

“Artinya, mereka secara efektif mengosongkan area itu dari jurnalis,” tambahnya.

Nir Gontage, anggota serikat jurnalis Israel yang memantau pelanggaran semacam ini, mengatakan bahwa polisi kerap menolak menunjukkan bukti atas tuduhan mereka.

“Biasanya para jurnalis menandatangani surat larangan itu karena takut atau kelelahan, hanya agar penderitaan itu segera berakhir,” ujarnya.

Ia memperkirakan puluhan kasus serupa terjadi setiap tahun—mayoritas menimpa jurnalis Arab.

“Ini merupakan pelanggaran serius terhadap kebebasan pers,” tegasnya.

Daftar jurnalis yang dilarang meliput di Al-Aqsha

  • Muhammad Qarout Idkaidek, fotografer — dilarang masuk sejak 1 Maret selama seminggu, kemudian diperpanjang menjadi sebulan. Peralatannya berkali-kali disita.
  • Bassem Zaidani (38), jurnalis lepas yang bekerja sama dengan saluran TV Al-Mayadeen dan TRT — dilarang masuk sejak 2 Maret selama seminggu, kemudian diperpanjang tiga bulan.
  • Muhammad Abu Sunaina (20), fotografer independen — ditahan saat mencoba masuk ke kompleks Al-Aqsa pada 2 Maret, lalu dilarang masuk selama seminggu. Larangan itu diperpanjang empat bulan.
  • Nadine Jaafar (22), jurnalis independen — dilarang masuk selama seminggu pada 4 Maret, kemudian ditangkap di dalam kompleks pada 11 April dan kembali mendapat larangan selama seminggu.
  • Muhammad Dweik (32), fotografer independen — dilarang masuk selama dua bulan sejak 17 Maret dengan alasan keamanan.
  • Latifa Abdul Latif, jurnalis independen — ditangkap pada 16 Maret dan dilarang meliput sejak 19 Maret selama seminggu.
  • Wahbi Maki (40), fotografer independen — dilarang bekerja selama enam bulan sejak 19 Maret dengan tuduhan “mengancam keamanan” dan mendukung Hamas.
  • Saif Qawasmi (24), fotografer independen yang bekerja sama dengan Al Jazeera Mubasher — dilarang bekerja selama empat bulan sejak 28 Maret, dan telah enam kali mengalami pelarangan serupa dalam lima tahun terakhir.

Menurut para pengamat, pembatasan ini biasanya meningkat menjelang hari-hari raya Yahudi, saat kepolisian Israel berupaya mencegah dokumentasi publik mengenai kehadiran kelompok ekstremis sayap kanan di kompleks suci itu.

CPJ menambahkan, larangan terhadap jurnalis tidak hanya terjadi pada bulan Ramadan.

Pada 2 November lalu, jurnalis independen Majdi Al-Abbasi juga dilarang memasuki kompleks Al-Aqsha selama seminggu, dengan kemungkinan perpanjangan hingga 6 bulan.

Ia sebelumnya ditangkap saat mendokumentasikan salat Jumat di sana.

Laporan ini, tulis CPJ, menunjukkan pola sistematis pembungkaman terhadap jurnalis Palestina yang berusaha menyiarkan kebenaran dari salah satu situs paling sensitif dan simbolik di dunia.

Dalam situasi seperti itu, kebenaran yang keluar dari Al-Aqsa tampaknya hanya boleh ditentukan oleh mereka yang memegang kunci gerbangnya.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Terpopuler