Kisah perjalanan Qafilah Shumud (Karavan Keteguhan) dari kawasan Maghrib yang bertujuan menembus blokade Gaza kini menemui jalan buntu.
Setelah gagal melintasi wilayah timur Libya dan tidak mendapat respons dari Mesir, rombongan kemanusiaan ini memutuskan berdiam di kawasan Buwairat al-Husun dekat kota Misrata, hingga 11 anggotanya yang ditahan oleh pasukan timur Libya dibebaskan.
Inisiatif Qafilah Shumud lahir dari gelombang kemarahan publik di kawasan Maghrib terhadap blokade panjang di Gaza yang telah berlangsung lebih dari 17 tahun dan memburuk sejak agresi Israel Oktober 2023.
Karavan darat ini berangkat dari Tunisia pada 9 Juni dengan dukungan relawan dari Aljazair, Libya, dan Mauritania, membawa misi simbolik untuk membela Gaza dan menuntut diakhirinya pengepungan.
Namun, upaya melintasi wilayah timur Libya gagal. Pasukan yang setia kepada Jenderal pensiunan Khalifa Haftar menolak memberi akses, dengan alasan keamanan dan tidak adanya koordinasi resmi.
Akibatnya, karavan terpaksa kembali ke barat dan mendirikan pos sementara dekat Misrata, sambil menuntut pembebasan para anggotanya yang ditahan.
Dalam wawancara khusus dengan Al Jazeera Net, juru bicara karavan Marwan bin Qattaya menyatakan bahwa seluruh opsi, termasuk negosiasi dengan pihak Mesir, telah menemui jalan buntu.
“Semua pintu tertutup. Bahkan rencana alternatif pun tak lagi memungkinkan,” ujarnya.
Meski demikian, ia menegaskan bahwa karavan telah berhasil menyatukan suara rakyat Maghrib dalam solidaritas terhadap Gaza.
Tegangan dalam negosiasi
Negosiasi dengan otoritas di timur Libya dilaporkan berlangsung tegang. Pertemuan yang digelar atas permintaan pemerintah timur pada 13 Juni sempat diwarnai perdebatan tajam yang membuat delegasi karavan menarik diri sementara waktu sebelum melanjutkan dialog.
Pihak karavan mengklaim telah menyerahkan seluruh dokumen resmi, termasuk daftar peserta dan paspor yang telah dicap di perbatasan Ras Jedir.
Ketua Dewan Tinggi Negara, Khalid al-Mishri, dalam konferensi pers di Tripoli pada 16 Juni, menyatakan bahwa karavan ini adalah inisiatif rakyat dan tidak mewakili pemerintah atau partai politik mana pun.
Ia mengkritik keras perlakuan otoritas timur terhadap rombongan tersebut, dengan menyebutnya sebagai cerminan dari perpecahan internal Libya.
“Kami mendapat jaminan resmi bahwa karavan akan diberi akses aman. Kami menolak segala bentuk eksploitasi politik terhadap gerakan ini,” tegas al-Mishri.
Menunggu kejelasan
Sementara itu, pimpinan karavan menyatakan akan bertahan secara damai di Misrata hingga semua tahanan dibebaskan.
Mereka juga memutuskan untuk menghentikan sementara penerimaan anggota baru sampai situasi lebih jelas.
“Kami tak punya tujuan politik. Kami hanya ingin mengirimkan pesan kemanusiaan untuk Gaza,” kata bin Qattaya.
Ia juga menambahkan bahwa langkah selanjutnya akan diputuskan secara kolektif.
Dukungan terhadap karavan datang dari berbagai pihak. Pemerintah kota Misrata, melalui Wali Kotanya Mahmoud al-Suqutri, menyatakan dukungan penuh terhadap para anggota karavan.
Ia siap memenuhi kebutuhan mereka selama masa penantian. Dukungan serupa mengalir dari masyarakat luas di Libya dan negara-negara Maghrib, yang menganggap keberadaan karavan ini sebagai wujud nyata solidaritas terhadap rakyat Palestina.
Meski tertahan, kehadiran Qafilah Ash-Shumud telah menciptakan gema solidaritas yang melampaui batas negara dan politik, menegaskan bahwa suara rakyat tak bisa dibungkam oleh blokade atau batas wilayah.