Situasi kemanusiaan di Jalur Gaza kian memburuk dan disebut sebagai yang terburuk sejak pecahnya perang antara Israel dan kelompok perlawanan Palestina 19 bulan lalu.
Meski pengiriman bantuan mulai dilakukan kembali secara terbatas, kelaparan tetap mengancam jutaan warga.
Sementara itu, lebih dari 250.000 warga terpaksa mengungsi dari Kamp Jabalia akibat operasi militer Israel yang terus meluas.
Menurut laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), sejak hampir dua pekan terakhir, Israel telah mengizinkan masuknya bantuan dalam jumlah terbatas ke wilayah Gaza.
Namun, distribusinya masih sangat jauh dari cukup untuk memenuhi kebutuhan warga yang kian mendesak.
PBB menyebut kehadiran bantuan itu “lebih baik daripada tidak sama sekali”, tetapi dampaknya dinilai “nyaris tak terasa” di tengah krisis yang makin parah.
“Situasi di Gaza saat ini adalah yang terburuk sejak dimulainya perang,” ujar juru bicara PBB Stéphane Dujarric dalam keterangan pers di New York, Jumat (31/5).
Seiring terbatasnya distribusi, muncul pula inisiatif baru yang menuai kontroversi, yakni “Gaza Humanitarian Foundation” (GHF)—sebuah lembaga yang didukung Amerika Serikat (AS) dan Israel.
Lembaga ini dirancang sebagai mekanisme distribusi bantuan alternatif melalui perusahaan keamanan dan logistik swasta asal AS, yang kemudian menyalurkan bantuan melalui jaringan sipil di titik-titik distribusi yang disebut “zona aman”.
Namun, sejumlah organisasi kemanusiaan internasional, termasuk PBB, menolak bekerja sama dengan GHF.
Mereka menilai lembaga itu tidak netral dan proses distribusinya justru memaksa warga Palestina mengungsi lebih jauh dari tempat tinggal mereka demi mendapatkan bantuan.
Pembatasan dan penolakan akses
Selama 12 hari terakhir, PBB mencatat hanya sekitar 200 truk bantuan yang berhasil masuk ke Gaza. Jumlah itu tergolong kecil jika dibandingkan dengan skala kebutuhan.
Akses yang sangat terbatas, risiko keamanan tinggi, serta kontrol ketat dari pihak Israel menjadi hambatan utama.
Bahkan, pada hari Selasa lalu, militer Israel menolak semua permintaan PBB untuk mengakses bantuan di perbatasan.
Ketika pada Kamis (30/5) sebanyak 65 truk akhirnya diizinkan keluar dari pos pemeriksaan Karem Abu Salem, hanya 5 di antaranya yang berhasil sampai ke tujuan.
Selebihnya terpaksa kembali akibat pertempuran sengit yang terus berlangsung di Gaza bagian tengah.
Dalam situasi yang sangat genting ini, bantuan yang tersedia pun terbatas dari sisi jenis dan kualitas.
“Otoritas Israel bahkan tidak mengizinkan satu pun makanan siap saji masuk. Satu-satunya bahan makanan yang diperbolehkan adalah tepung untuk keperluan roti,” ungkap Erri Kaneko, juru bicara urusan kemanusiaan PBB.
Ia menambahkan bahwa jika tepung itu diizinkan masuk tanpa batas, itu pun tidak cukup untuk menyediakan makanan lengkap dan bergizi.
Bantuan yang disalurkan melalui GHF dikabarkan hanya mencakup beberapa komoditas dasar seperti beras, tepung, kacang-kacangan kaleng, pasta, minyak zaitun, biskuit, dan gula.
Sementara itu, ratusan truk bantuan lain masih tertahan di perbatasan, menanti proses serah terima dari pihak Israel ke lembaga kemanusiaan.
Situasi ini membuat jutaan warga Gaza terus hidup dalam kelaparan dan ketakutan, di tengah suara dentuman bom dan operasi militer yang belum menunjukkan tanda-tanda mereda.
Israel usir 250.000 warga Jabalia
Krisis kemanusiaan di Jalur Gaza semakin parah setelah militer Israel memaksa lebih dari 250.000 warga Palestina mengungsi dari Kamp Pengungsi Jabalia di Gaza Utara.
Langkah ini disebut sebagai bagian dari operasi militer besar yang bertujuan mendorong seluruh warga sipil keluar dari wilayah-wilayah pertempuran, yang kini meluas hingga ke jantung Gaza.
Situs berita Israel Walla pada Jumat (31/5) melaporkan bahwa pengungsian massal ini dilakukan berdasarkan rencana operasi militer yang disusun Kepala Staf Militer Israel, Letjen Herzi Halevi, dan digerakkan oleh penggantinya, Eyal Zamir.
Dalam laporan tersebut, sumber militer menyatakan bahwa langkah itu dilakukan untuk mencegah para pejuang Palestina kembali membangun infrastruktur perlawanan—baik di atas maupun di bawah tanah.
Lebih jauh, militer Israel menyebut telah memindahkan ratusan ribu warga dari Jabalia ke lokasi yang mereka sebut sebagai “zona perlindungan kemanusiaan”.
Namun, tidak dijelaskan secara rinci di mana lokasi-lokasi tersebut berada. Sebelumnya, wilayah Al-Mawasi—sepanjang garis pantai antara Khan Younis di selatan hingga Deir al-Balah di tengah Gaza—dideklarasikan sebagai zona aman.
Namun dalam beberapa bulan terakhir, wilayah itu justru menjadi lokasi pembantaian yang menewaskan dan melukai ratusan warga sipil yang telah lebih dulu mengungsi ke sana.
Pengosongan wilayah dan operasi militer berkelanjutan
Upaya pengosongan kawasan pemukiman di utara Gaza terus berlanjut. Militer Israel secara rutin mengeluarkan peringatan evakuasi kepada warga sipil, terutama di wilayah utara, sebagai bagian dari operasi militer yang dinamai “Arbaat Gideon” atau “Kereta Perang Gideon”.
Menurut sumber-sumber media Israel, operasi ini diperkirakan akan berlangsung selama beberapa bulan ke depan, dengan tujuan mengosongkan seluruh Jalur Gaza dari penduduk sipil, terutama dari kawasan utara, dan memaksa mereka bermigrasi ke wilayah selatan.
Pasukan Israel juga diperkirakan akan menetap secara permanen di wilayah-wilayah yang berhasil mereka kuasai.
Harian Haaretz pada 22 Mei lalu melaporkan bahwa Israel merencanakan penguasaan hingga 75 persen wilayah Jalur Gaza dalam dua bulan ke depan.
Rencana ini semakin memperkuat kekhawatiran bahwa Israel hendak mengubah secara permanen demografi Gaza melalui pengusiran besar-besaran.
Dalam beberapa hari terakhir, ribuan warga Gaza mengungsi dari wilayah utara ke pusat dan barat Kota Gaza, di tengah serangan udara yang terus dilancarkan dan tanpa jaminan akses terhadap bantuan kemanusiaan.
Blokade terhadap arus bantuan ke Gaza Utara dan Kota Gaza masih diberlakukan ketat, memperparah krisis kelaparan yang kian meluas.
Sejak 7 Oktober 2023, Israel melancarkan serangan besar-besaran yang oleh berbagai pihak—termasuk lembaga hak asasi manusia dan pengamat internasional—disebut sebagai upaya genosida.
Serangan ini mencakup pembunuhan massal, penghancuran infrastruktur sipil, pemblokiran bantuan kemanusiaan, serta pengusiran paksa terhadap penduduk.
Semua ini berlangsung meski berbagai lembaga internasional, termasuk Mahkamah Internasional, telah menyerukan penghentian agresi.