Krisis yang melibatkan para petempur Hamas yang terjebak di jaringan terowongan bawah tanah Rafah—wilayah yang kini sepenuhnya berada di bawah kendali militer Israel—telah mencuat ke permukaan dan menimbulkan ancaman serius bagi kesepakatan gencatan senjata di Jalur Gaza.
Situasi yang berlangsung lebih dari 3 pekan terakhir ini mendorong para mediator internasional berupaya mencari jalan keluar untuk menyelamatkan perjanjian rapuh tersebut.
Menurut laporan media Israel, saat ini tengah berlangsung pembicaraan antara Amerika Serikat (AS) dan Turki untuk menemukan solusi atas nasib para petempur yang masih terperangkap di sana.
Kanal 13 Israel melaporkan bahwa Tel Aviv mengetahui proses negosiasi tersebut dan sedang mempertimbangkan kemungkinan membebaskan para pejuang Hamas dengan syarat mereka dipindahkan ke Turki, sebelum nantinya disebar ke sejumlah negara lain.
Seorang pejabat tinggi Israel yang dikutip kanal itu mengatakan, langkah tersebut bisa saja disetujui jika ada tekanan kuat dari pihak Washington.
Berdasarkan kesepakatan gencatan senjata tahap pertama yang dicapai bulan lalu melalui mediasi internasional, seluruh wilayah Rafah ditempatkan di balik “garis kuning”—zona yang kini dikendalikan penuh oleh tentara Israel.
Namun, beberapa area di bawahnya masih menyimpan jaringan terowongan aktif milik kelompok perlawanan Palestina.
Menurut perkiraan militer Israel, antara 150 hingga 200 petempur Hamas masih berada di kawasan itu.
Isu mengenai para petempur yang terjebak ini mencuat ke publik setelah 2 “insiden keamanan” yang terjadi pada 19 dan 29 bulan lalu.
Dalam peristiwa tersebut, tiga tentara Israel tewas, dan sebagai balasan, militer Israel melancarkan serangan udara besar-besaran ke berbagai wilayah Gaza.
Serangan itu menewaskan dan melukai hampir 300 warga Palestina.
Menyusul peristiwa itu, sejumlah pejabat Israel menyatakan bahwa para petempur Hamas hanya memiliki dua pilihan: menyerah atau mati.
Sikap keras ini kemudian berdampak pada tertundanya proses penyerahan jenazah beberapa tawanan Israel yang tewas dalam pertempuran.
Hamas, di sisi lain, melalui para mediator yang menjamin perjanjian Gaza, menyampaikan kesediaannya untuk mengevakuasi para petempurnya dari Rafah.
Namun, gerakan tersebut menegaskan bahwa “penyerahan diri tidak termasuk dalam kamus perjuangan mereka,” serta memperingatkan bahwa setiap upaya pasukan Israel untuk menyerbu lokasi para petempur akan memicu eskalasi baru.
Di tengah kebuntuan itu, laporan media juga menyebut adanya upaya AS untuk meredam krisis.
Utusan AS, Jared Kushner, dikabarkan meminta Israel agar mengizinkan para petempur di Rafah berpindah ke wilayah Gaza yang masih berada di bawah kendali Hamas.
Menurut lembaga penyiaran publik Israel, para petempur tersebut nantinya akan menyerahkan senjata mereka sebagai bagian dari rencana menjadikan Gaza sebagai zona bebas senjata.
Media Israel menilai, Washington tidak akan membiarkan krisis ini berlarut-larut, karena setiap kegagalan dalam penanganannya berpotensi menggagalkan seluruh kesepakatan gencatan senjata yang tengah berjalan.
Dalam beberapa jam terakhir, bahkan muncul laporan tentang usulan baru untuk mengevakuasi para petempur itu ke luar wilayah Gaza secara penuh.
Sementara itu, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu—yang kini berstatus buronan Mahkamah Pidana Internasional—menegaskan di hadapan parlemen bahwa nasib para petempur Hamas “akan ditentukan sesuai kepentingan Israel”.
Ia juga menegaskan, pemerintahannya “tidak akan tunduk pada tekanan dari Hamas, maupun dari pihak dalam dan luar negeri.”
Krisis Rafah ini kini menjadi ujian serius bagi keberlangsungan gencatan senjata yang rapuh di Gaza, serta menjadi cerminan betapa rumitnya upaya mencapai perdamaian di wilayah yang porak-poranda akibat perang panjang dan penderitaan yang belum berakhir.

