Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menyatakan tidak menutup kemungkinan untuk melancarkan kembali serangan terhadap para pemimpin Hamas di mana pun mereka berada.
Pernyataan itu disampaikan di tengah penyelenggaraan KTT Darurat para pemimpin Arab dan Islam di Doha, Qatar, yang bertujuan menunjukkan dukungan terhadap Qatar pasca serangan udara Israel di ibu kota negara itu, 9 September lalu.
Serangan yang menargetkan tokoh Hamas di Doha tersebut dipandang sebagai eskalasi signifikan dalam konflik yang telah berlangsung sejak serangan Hamas ke Israel pada 7 Oktober 2023, yang kemudian memicu perang di Gaza.
Sementara para pemimpin Arab dan Islam menyerukan solidaritas terhadap Qatar, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Marco Rubio justru menyampaikan dukungan kuat kepada Israel saat bertemu Netanyahu di Yerusalem.
“Satu-satunya jalan untuk mengakhiri perang di Gaza adalah pembebasan semua sandera dan penyerahan diri Hamas,” ujar Rubio.
Meskipun AS tidak diberi peringatan sebelumnya soal serangan di Doha—yang juga menjadi lokasi pangkalan militer terbesar AS di Timur Tengah—Presiden Donald Trump memperingatkan Israel agar “sangat hati-hati”.
“Mereka harus menindak Hamas, tetapi Qatar adalah sekutu penting Amerika Serikat,” kata Trump.
Pihak Hamas melaporkan bahwa lima anggotanya tewas, termasuk putra salah satu pemimpin tertingginya, namun jajaran utama organisasi tersebut selamat. Pemerintah Qatar menyatakan bahwa satu agen keamanannya juga gugur dalam serangan tersebut.
Emir Qatar, Sheikh Tamim bin Hamad Al-Thani, dalam pidatonya di KTT mendesak negara-negara Arab dan Islam untuk mengambil “langkah nyata dan tegas”.
Ia menyebut serangan Israel sebagai “pengecut dan pengkhianatan”, yang terjadi saat para pemimpin Hamas sedang membahas proposal gencatan senjata dari Amerika Serikat.
Kecaman Tanpa Sanksi
Dalam komunike akhir KTT, negara-negara peserta memang menyatakan kecaman dan seruan untuk meninjau kembali hubungan diplomatik dan ekonomi dengan Israel.
Namun, beberapa frasa penting dari draf awal, seperti penyebutan bahwa tindakan Israel mengancam upaya normalisasi hubungan kawasan, hilang dalam versi akhir.
Sementara itu, pernyataan terpisah dari Dewan Kerja Sama Teluk (GCC) menyebut bahwa kebijakan agresif Israel mengancam masa depan kesepakatan yang telah ada.
“Serangan ini menjadi hambatan terhadap perdamaian yang sudah dan sedang diupayakan,” ujar Presiden Mesir Abdel Fattah al-Sisi dalam forum tersebut.
Mesir adalah negara Arab pertama yang menandatangani perjanjian damai dengan Israel pada 1979.
Rubio Akan Bertolak ke Qatar
Setelah kunjungannya ke Israel, Rubio dijadwalkan terbang ke Qatar. Ia menyerukan agar Qatar terus memainkan peran konstruktif dalam penyelesaian konflik Gaza, termasuk membantu pembebasan 48 sandera yang masih ditahan Hamas.
Namun, pernyataannya menunjukkan bahwa Washington kini menilai solusi diplomatik makin sulit tercapai. Rubio menyiratkan dukungan terhadap rencana Israel untuk melancarkan operasi militer besar berikutnya demi menghancurkan Hamas secara total.
“Sebagai kekuatan bersenjata, Hamas harus dihapuskan. Mereka adalah ancaman bagi perdamaian dan keamanan kawasan,” tegas Rubio.
Dalam pernyataannya, Netanyahu juga tidak menutup kemungkinan aneksasi wilayah pendudukan Tepi Barat, menyusul rencana beberapa negara, termasuk Prancis dan Inggris, untuk mengakui negara Palestina pada Sidang Umum PBB mendatang.
“Tindakan sepihak terhadap Israel akan kami balas dengan langkah sepihak pula,” katanya.
Serangan di Gaza Terus Berlanjut
Di tengah perkembangan diplomatik di Yerusalem dan Doha, pasukan Israel terus menggempur Gaza City. Sedikitnya 16 warga Palestina tewas dalam serangan udara di dua rumah dan sebuah tenda pengungsi, menurut otoritas kesehatan setempat.
Militer Israel juga menghancurkan sebuah gedung 16 lantai, yang disebut sebagai bangunan tertinggi di Gaza. Peringatan evakuasi telah diberikan satu jam sebelum serangan dilakukan. Tentara menyebut bangunan tersebut digunakan untuk menyembunyikan infrastruktur militer Hamas.
Perang di Gaza dipicu oleh serangan Hamas ke Israel pada 7 Oktober 2023 yang menewaskan sekitar 1.200 orang dan menyandera 251 lainnya. Israel merespons dengan serangan masif yang, menurut otoritas Palestina, telah menewaskan lebih dari 64.000 orang hingga kini.