Pemerintahan Presiden Donald Trump tengah mempertimbangkan pendekatan keras terhadap pemerintahan baru Suriah, dengan mengajukan sejumlah tuntutan sebagai syarat bagi pelonggaran terbatas sanksi ekonomi.
Menurut laporan The Wall Street Journal, Gedung Putih baru-baru ini menerbitkan pedoman kebijakan yang meminta pemerintahan baru Suriah untuk mengambil langkah-langkah tegas, termasuk memberantas kelompok ekstremis dan mengusir faksi-faksi bersenjata Palestina dari wilayahnya.
Imbalannya, Amerika Serikat akan mempertimbangkan memperpanjang pembebasan sanksi sementara yang sebelumnya dikeluarkan oleh pemerintahan Biden untuk mendukung aliran bantuan kemanusiaan ke Suriah.
Namun, salah satu tuntutan terbaru yang dilaporkan adalah agar pemerintahan Suriah melarang seluruh kelompok Palestina beroperasi di wilayahnya dan mencegah penggalangan dana oleh kelompok-kelompok tersebut.
Kebijakan ini dipandang akan memicu ketegangan internal, mengingat Suriah telah menjadi rumah bagi populasi besar pengungsi Palestina sejak peristiwa Nakba 1948, dan masyarakat Suriah secara luas bersimpati terhadap perjuangan Palestina.
Pemerintah baru Suriah, yang kini dipimpin oleh mantan komandan pemberontak setelah digulingkannya Bashar al-Assad pada Desember lalu, menghadapi dilema sulit. Menuruti tuntutan AS dapat memicu konflik dengan kelompok-kelompok bersenjata Palestina dan menimbulkan ketidakpuasan publik.
Pedoman kebijakan ini juga mencerminkan perubahan arah geopolitik AS. Tidak ada lagi desakan agar pasukan Rusia dikeluarkan dari Suriah, sebuah sikap berbeda dibanding pendekatan sebelumnya di era Biden. Hal ini terjadi di tengah negosiasi antara Washington dan Moskwa terkait penyelesaian konflik di Ukraina.
Meski begitu, Departemen Luar Negeri AS menyatakan bahwa “Amerika Serikat saat ini tidak mengakui entitas manapun sebagai pemerintahan resmi Suriah.” Namun, mereka tetap mendorong “otoritas interim” di Suriah untuk secara tegas menolak dan memberantas terorisme.
Presiden baru Suriah, Sharaa, masih masuk dalam daftar teroris oleh AS karena keterlibatannya dalam pemberontakan terhadap pasukan Amerika di Irak dan hubungan masa lalunya dengan al-Qaeda.
Meski demikian, dalam beberapa tahun terakhir, ia dikabarkan menindak tegas al-Qaeda dan berhasil mengalahkan kelompok Islamic State (ISIS) di wilayah Idlib, serta menunjukkan sikap lebih terbuka terhadap dialog dengan Washington.
Sementara itu, Departemen Pertahanan AS mengumumkan akan memangkas separuh dari 2.000 personel militernya di Suriah dalam beberapa pekan mendatang, sebagai bagian dari rencana konsolidasi pangkalan militer. Peninjauan ulang terkait kehadiran militer juga akan dilakukan pada musim panas ini.
Utusan khusus AS untuk Timur Tengah, Steve Witkoff, menyatakan bahwa Sharaa “bukan lagi orang yang sama seperti dulu. Orang bisa berubah,” katanya. Namun, sejumlah tokoh Partai Republik tetap menyuarakan kekhawatiran bahwa pengurangan pengaruh AS di Suriah akan membuka celah bagi pengaruh Rusia dan China.
Pemerintahan baru Suriah saat ini menghadapi tantangan besar. Bertahun-tahun perang telah menghancurkan perekonomian, merusak infrastruktur, dan memicu eksodus warga. Meskipun Uni Eropa dan Inggris telah melonggarkan sebagian sanksi, upaya rekonstruksi Suriah masih terganjal ketatnya kebijakan AS. Tanpa akses pada sistem keuangan internasional, pemulihan ekonomi akan sulit tercapai.