Tuesday, October 14, 2025
HomeBeritaLAPORAN KHUSUS: Di mana kemerdekaan Palestina dalam KTT Sharm el-Sheikh?

LAPORAN KHUSUS: Di mana kemerdekaan Palestina dalam KTT Sharm el-Sheikh?

Setelah berbulan-bulan perang yang menelan ratusan ribu korban dan meluluhlantakkan Gaza, dunia berkumpul di pesisir Laut Merah.

“KTT Sharm el-Sheikh untuk Perdamaian”, demikian nama resmi pertemuan internasional itu — digelar dengan janji besar: menutup bab perang dan membuka jalan menuju perdamaian.

Namun, di balik senyum diplomatik dan pena yang menandatangani dokumen “Perjanjian Gaza”, banyak pengamat mempertanyakan: apakah perang benar-benar berakhir? Di mana posisi negara Palestina dalam semua ini? Dan apa arti perdamaian jika akar konflik justru diabaikan?

KTT yang dihadiri sekitar 20 pemimpin dunia itu menghasilkan dokumen kesepakatan Gaza yang ditandatangani Amerika Serikat (AS), Qatar, Mesir, dan Turki.

Presiden AS Donald Trump menyebut perjanjian itu sebagai “kesepakatan terbesar dan paling kompleks dalam sejarah Timur Tengah,” dan menegaskan bahwa perang “telah usai.”

Sebagai langkah awal implementasi kesepakatan, Israel membebaskan 1.968 tahanan Palestina — termasuk ratusan yang divonis penjara seumur hidup — sebagai imbalan atas pembebasan 20 tahanan Israel hidup-hidup oleh kelompok perlawanan di Gaza, serta penyerahan 4 jasad tentara Israel kepada Komite Internasional Palang Merah.

Namun, bagi banyak pihak, gencatan senjata bukanlah sinonim dari perdamaian.

Menurut Dr. Muhannad Mustafa, akademisi dan pakar urusan Israel, kesimpulan utama KTT Sharm el-Sheikh adalah deklarasi berakhirnya perang.

Baik melalui pengumuman di Knesset maupun pernyataan kolektif di forum internasional.

Mustafa mencatat bahwa Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, yang kini menjadi buronan Mahkamah Pidana Internasional, berdiri di Knesset dan menyatakan “akhir perang” secara terbuka.

Pesan langsung kepada kelompok sayap kanan ekstrem di pemerintahannya seperti Itamar Ben-Gvir dan Bezalel Smotrich, yang selama ini mendesak kelanjutan perang.

Namun, Mustafa menilai Gaza kini tidak lagi menjadi “masalah strategis” bagi Israel, melainkan semata isu keamanan.

Sebuah ruang loncatan menuju proyek yang disebut “perdamaian regional” dan “Timur Tengah baru.”

Akankah perang kembali?

Pandangan berbeda datang dari Dr. Ibrahim Fraihat, pakar konflik internasional di Institut Doha.

Ia menilai bahwa perang dalam bentuk genosida besar-besaran tidak akan terulang, tetapi damai dan stabilitas sejati juga belum datang.

Fraihat mengingatkan agar dunia tidak terjebak dalam “model Suriah”, di mana bantuan kemanusiaan mengalir tanpa disertai rekonstruksi nyata, sementara agenda politik justru dibekukan.

Sementara itu, Ibrahim al-Madhun, Direktur Lembaga Media Palestina, menyambut baik berakhirnya perang sebagai “tujuan mendesak untuk menyelamatkan eksistensi Palestina”.

Ia menilai KTT ini bisa menjadi jaminan bagi penghentian perang, namun meragukan kemampuan AS dan komunitas internasional untuk memaksa Israel menepati komitmen.

Menurut al-Madhun, ada dua langkah mendesak yang harus segera diambil:

  1. Mendorong pembubaran pemerintahan ekstrem Israel dan menggantinya dengan kepemimpinan baru.
  2. Membentuk pemerintahan nasional Palestina berdasarkan konsensus internal dan dukungan dunia Arab.

Ia menegaskan, perilaku agresif pemerintahan Netanyahu justru menjadi satu-satunya jaminan kelangsungan kekuasaan mereka.

Ketika perang berhenti, kata al-Madhun, maka skenario pembubaran kabinet dan pengadilan bagi para menterinya pun akan mengemuka.

Dr. Fraihat menyoroti bahaya yang lebih dalam: KTT ini, katanya, melakukan segalanya kecuali menyentuh akar konflik.

Menurutnya, inti persoalan — yaitu kebebasan dan hak menentukan nasib sendiri bagi rakyat Palestina — telah dilewati begitu saja.

Ia menyebut pendekatan semacam itu sebagai bentuk “perdamaian negatif”, perdamaian yang hanya menenangkan permukaan tanpa menyentuh sumber luka.

Ia menilai, wacana yang dikembangkan Washington lebih banyak berbicara tentang “perdamaian ekonomi,” “normalisasi,” dan “Perjanjian Abraham”, bukan tentang negara Palestina merdeka.

Sementara itu, Adolfo Franco, analis strategis Partai Republik di AS, menyatakan bahwa perang konvensional telah berakhir karena “Hamas telah kalah secara militer.”

Ia menganggap hasilnya sebagai kemenangan Israel, namun tetap mengakui bahwa ketidakadilan terhadap rakyat Palestina dapat memicu kembali konflik di masa depan.

Franco menambahkan, AS belum menolak solusi dua negara, tetapi menilai “waktunya belum tepat.”

Ada tahapan yang menurutnya perlu ditempuh terlebih dahulu.

Fraihat dengan tegas menolak pandangan ini.

“Trump bahkan tidak pernah menyebut kata negara Palestina — tidak dalam masa jabatan pertamanya, dan tidak juga sekarang,” katanya.

Ia mengusulkan terbentuknya koalisi Saudi–Prancis sebagai alternatif yang lebih serius terhadap pendekatan Washington, karena aliansi ini “benar-benar membicarakan negara Palestina, bukan hanya perdamaian semu.”

Isu paling sensitif pasca-KTT adalah nasib Hamas dan senjatanya.

Menurut Fraihat, tuntutan “pelucutan senjata demi perdamaian” adalah jebakan berbahaya.

“Yang disebut Dewan Perdamaian itu sejatinya bentuk baru dari penjajahan,” ujarnya.

Ia menegaskan, Hamas tidak menandatangani klausul apa pun terkait senjata.

“Pelucutan hanya mungkin dilakukan bila ada horizon politik yang jelas — yakni negara Palestina yang berdaulat. Tanpa itu, senjata akan tetap menjadi satu-satunya jaminan.”

Ketakutan Israel dan bayang-bayang 7 Oktober

Dr. Mustafa mengungkapkan kekhawatiran Israel bahwa fase pascaperang justru akan mengembalikan situasi seperti sebelum serangan 7 Oktober, di mana Hamas kembali membangun kekuatan militer dan administratifnya selama masa transisi.

Israel, katanya, memandang tahap kedua ini sebagai periode yang rumit dan berisiko tinggi, terutama karena pengaruh Hamas terhadap skema pelucutan senjata bisa sangat besar.

Al-Madhun menambahkan, dunia kini menyadari bahwa Hamas tidak bisa dihapus dari persamaan politik Palestina. Ia menyebut ada tiga dimensi penting dalam pembahasan senjata:

  1. Dimensi internal Palestina,
  2. Dimensi dukungan Arab,
  3. Dimensi internasional yang melibatkan AS.

Menurutnya, Hamas kini lebih terbuka dan ingin berperan dalam menjaga stabilitas politik di Gaza.

Sementara itu, di Tepi Barat, roda kolonisasi terus berputar tanpa hambatan. Dr. Mustafa menjelaskan, Israel kini bebas memperluas permukiman tanpa batas formal, berkat lampu hijau tidak langsung dari pemerintahan Trump yang “menolak aneksasi resmi tetapi memberi kebebasan faktual.”

“Ada dasar hukum yang kokoh di Israel yang menolak keberadaan negara Palestina — dari undang-undang yang melarang pengakuan hingga puluhan peraturan yang memperdalam kontrol kolonial atas tanah Palestina,” imbuhnya.

Menutup pandangannya, Dr. Fraihat menegaskan bahwa apa yang terjadi bukanlah akhir dari perjuangan, melainkan awal babak baru dari perjuangan nasional Palestina.

“Sekarang, pertarungan bukan lagi sekadar antara Palestina dan Israel, melainkan pertarungan global tentang nilai-nilai: kebebasan, keadilan, dan martabat manusia,” katanya.

KTT Sharm el-Sheikh mungkin telah menandatangani dokumen yang menyatakan perang berakhir.

Tetapi bagi rakyat Palestina — yang masih hidup di reruntuhan, tanpa negara dan tanpa kepastian — pertanyaan sesungguhnya baru saja dimulai.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Terpopuler