Friday, July 18, 2025
HomeBeritaLAPORAN KHUSUS - Enam pertanyaan soal bentrokan berdarah di Sweida, Suriah

LAPORAN KHUSUS – Enam pertanyaan soal bentrokan berdarah di Sweida, Suriah

Gelombang baru bentrokan bersenjata di Provinsi Sweida, Suriah, antara kelompok bersenjata dari komunitas Druze dan suku Badui kembali menewaskan puluhan orang dan melukai banyak lainnya.

Peristiwa ini menyoroti kembali rapuhnya situasi keamanan di wilayah selatan Suriah sejak tergulingnya rezim Bashar al-Assad.

Sejumlah pihak dari pemerintah baru mendesak penegakan hukum dan mendorong dialog damai demi mencegah eskalasi lebih lanjut.

Kawasan ini sebelumnya juga telah mengalami insiden serupa hanya beberapa pekan lalu.

Berikut 6 hal penting yang perlu diketahui terkait bentrokan terbaru di Sweida:

Apa penyebab bentrokan?

Kementerian Dalam Negeri Suriah menyebut bentrokan kali ini dipicu oleh ketegangan yang telah menumpuk sejak beberapa waktu terakhir.

Kepala Keamanan Dalam Negeri, Nizar Al-Hariri, mengatakan bahwa ketegangan bermula dari peristiwa perampokan di jalan utama antara Damaskus dan Sweida.

Peristiwa ini diikuti oleh aksi penculikan timbal balik antara dua kelompok yang terlibat.

Menurut laporan koresponden Al Jazeera di Suweida, Ayman Al-Shoufi, bentrokan pecah pada Sabtu malam lalu setelah seorang pengemudi bernama Fadlallah Dawara menjadi korban penyerangan di perjalanan pulang ke Suweida.

Mobil yang ia gunakan untuk mengangkut sayuran dirampas sepenuhnya, termasuk uang sebesar 7 juta lira Suriah (sekitar 695 dolar AS).

Sebagai respons, kelompok bersenjata Druze menyerbu kawasan Al-Maqous di timur Sweida, yang dihuni oleh komunitas Badui, untuk membebaskan sekitar 10 warga Druze yang disandera sejak Minggu pagi.

Aksi itu merupakan balasan atas penahanan sejumlah pemuda Badui oleh kelompok Druze pada waktu yang hampir bersamaan.

Fenomena kepemilikan senjata di Suweida bukan hal baru. Sejak masa pemerintahan sebelumnya, wilayah ini dikenal dengan penyebaran luas senjata di tangan kelompok-kelompok lokal, yang kini semakin enggan menyerahkannya kepada otoritas negara.

Berapa jumlah korban?

Pemerintah Suriah menyatakan bahwa bentrokan yang melibatkan senjata sedang dan berat ini telah menewaskan lebih dari 30 orang dan melukai sekitar 100 lainnya.

Kantor berita Anadolu melaporkan, sebagian besar korban berasal dari kelompok bersenjata yang bertikai.

Namun, sejumlah warga sipil juga turut menjadi korban akibat tembakan yang menyasar permukiman.

Sementara itu, televisi Al-Ikhbariya yang dikelola negara mengutip keterangan dari Kementerian Pertahanan bahwa sedikitnya enam tentara Suriah juga tewas saat mencoba memutus jalur bentrokan di lapangan.

Bagaimana tanggapan pemerintah?

Dalam pernyataannya, Kementerian Pertahanan mengumumkan telah mengerahkan pasukan khusus ke wilayah-wilayah terdampak, bekerja sama dengan Kementerian Dalam Negeri.

Mereka juga membentuk koridor-koridor aman bagi warga sipil dan bergerak cepat untuk menghentikan pertempuran.

Kementerian menyebut bahwa kekosongan institusional di lokasi bentrokan memperburuk situasi.

Karena lembaga-lembaga keamanan dan militer tak mampu turun tangan tepat waktu, sehingga upaya deeskalasi terhambat.

Pasukan keamanan dalam negeri juga telah dikerahkan secara langsung untuk meredam konflik, mengejar para pelaku kekerasan, dan membawa mereka ke jalur hukum.

Kementerian menegaskan pentingnya memulai dialog menyeluruh yang dapat mengatasi akar ketegangan.

Menteri Dalam Negeri Anas Khattab menulis di platform X (sebelumnya Twitter), bahwa absennya institusi negara—khususnya militer dan keamanan—menjadi penyebab utama dari instabilitas yang terus berulang di Sweida dan sekitarnya.

Ia menekankan bahwa tidak ada solusi lain selain memulihkan fungsi institusi negara dan menjamin ketertiban umum agar kehidupan warga bisa kembali normal.

Gubernur Sweida, Mustafa Al-Bakkour, juga menyerukan semua pihak untuk menahan diri dan mengedepankan nalar serta dialog.

“Kami mengapresiasi upaya dari tokoh-tokoh lokal dan para pemuka suku dalam meredam ketegangan. Namun, negara tidak akan ragu bertindak tegas untuk melindungi warganya,” ujarnya.

Bagaimana kondisi Suweida sejak pemerintahan baru?

Sejak pergantian kekuasaan di Suriah, wilayah Suweida dan sekitarnya belum menunjukkan tanda-tanda stabilitas.

Sebelumnya, pada Maret lalu, kawasan pesisir Suriah diguncang insiden berdarah.

Sebulan kemudian, terjadi bentrokan di dekat Damaskus antara kelompok bersenjata Druze dan pasukan keamanan Suriah.

Rangkaian kekerasan itu menewaskan sedikitnya 119 orang, termasuk anggota milisi Druze dan pasukan pemerintah.

Menyusul insiden tersebut, pemerintah Suriah bersama tokoh-tokoh masyarakat Druze menyepakati beberapa perjanjian damai untuk meredam eskalasi.

Namun sejak Mei, kendali keamanan di wilayah Suweida secara de facto dijalankan oleh kelompok bersenjata lokal dari komunitas Druze.

Hal ini merupakan bagian dari kesepakatan yang dicapai antara faksi-faksi lokal dan pemerintah.

Sementara itu, wilayah pedesaan di sekitar Suweida juga menjadi basis kelompok bersenjata dari suku Badui Sunni.

Apa sikap komunitas Druze?

Kepemimpinan spiritual komunitas Druze, yang dikenal sebagai Ar-Ri’asah Ar-Ruhiyah, mengecam keras terjadinya bentrokan terbaru dan memperingatkan risiko terjadinya fitnah antar-komunitas.

Mereka menyerukan agar pemerintah Suriah segera memperkuat pengamanan di jalur utama Damaskus–Suweida yang menjadi lokasi rawan kejahatan dan penculikan.

Druze merupakan komunitas agama minoritas yang jumlahnya diperkirakan lebih dari satu juta jiwa.

Mereka tersebar di wilayah pegunungan Lebanon, Suriah, Palestina, dan Yordania. Di Suriah sendiri, populasi Druze berjumlah sekitar 700 ribu orang, dengan konsentrasi utama di wilayah selatan, terutama di Provinsi Sweida.

Komunitas ini juga memiliki keberadaan signifikan di kota-kota sekitar Damaskus seperti Jaramana dan Sahnaya, serta dalam jumlah kecil di Provinsi Idlib di barat laut.

Menariknya, pasca-bentrokan April lalu, Israel melancarkan serangan udara ke wilayah Suriah dan memperingatkan pemerintah Damaskus agar tidak mencederai komunitas Druze.

Langkah ini mempertegas sensitivitas geopolitik yang mengitari kelompok minoritas tersebut.

Apa dampak situasi terkini?

Secara geografis, Sweida hanya berjarak sekitar 100 kilometer dari ibu kota Damaskus.

Letaknya yang strategis dan berdekatan dengan perbatasan Yordania membuat wilayah ini rawan dimanfaatkan oleh kelompok bersenjata atau jaringan penyelundup, apalagi dengan semakin meluasnya kepemilikan senjata di luar kendali negara.

Situasi makin kompleks dengan absennya Gubernur Suweida dari kantornya selama berminggu-minggu karena alasan keamanan, serta dikuasainya gedung pemerintahan oleh kelompok lokal.

Hal ini menjadi tantangan nyata bagi otoritas pusat di Damaskus, yang tengah berusaha mengonsolidasikan kembali kendali atas institusi-institusinya.

Ketidakhadiran negara di satu wilayah berisiko memicu efek domino di kawasan lain.

Selama fragmentasi sosial dan ketegangan terus berlanjut di Suweida, upaya pemerintah Suriah untuk mewujudkan rekonsiliasi nasional secara menyeluruh akan menghadapi hambatan besar.

Pada akhirnya, hal ini bisa memperpanjang krisis nasional dan menghambat proses pemulihan serta stabilisasi Suriah secara keseluruhan.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular