Friday, June 13, 2025
HomeBeritaLAPORAN KHUSUS - Gas alam dan geopolitik: Kekhawatiran Israel atas pengaruh Turki...

LAPORAN KHUSUS – Gas alam dan geopolitik: Kekhawatiran Israel atas pengaruh Turki di Suriah

Konflik pengaruh antara Turki dan Israel di Suriah tidak lagi terbatas pada aspek keamanan semata.

Di balik ketegangan yang tampak di permukaan, tersimpan pertarungan kepentingan ekonomi yang dalam, terutama menyangkut cadangan dan jalur distribusi gas alam.

Isu ini menjadi bagian integral dari strategi keamanan nasional yang lebih luas, baik bagi Ankara maupun Tel Aviv, lansir Al Jazeera.

Gas alam, terutama di kawasan Mediterania Timur, telah menjadi pemicu dinamika baru dalam hubungan regional.

Sejak serangan 7 Oktober 2023, peta politik dan energi di kawasan ini mengalami pergeseran signifikan.

Peluang baru terbuka, namun hambatan pun bermunculan—berpotensi mengubah peta penguasaan terhadap sumber daya gas dan jalur distribusinya.

Dalam konteks ini, gas alam di Mediterania Timur memberikan dimensi geopolitik yang kian menonjol terhadap konflik Suriah.

Suriah, yang diyakini memiliki cadangan gas cukup besar—baik yang sudah terbukti maupun yang masih diperkirakan—berpotensi menjadi simpul strategis dalam jaringan pasokan energi regional, terutama bila terhubung dengan infrastruktur Turki.

Ambisi energi Israel

Setelah penemuan ladang gas Tamar, Leviathan, dan Karish, Israel memantapkan visinya untuk menjadi pusat distribusi energi bagi Eropa.

Keuntungan finansial bukan satu-satunya tujuan. Status sebagai penyalur energi utama diyakini akan memperkuat posisi geopolitik Israel, menjadikannya aktor penting dalam percaturan global.

Meski kapasitas ladang gas Israel belum dapat menyamai produksi raksasa energi Teluk, potensi produksinya—sekitar 40 miliar meter kubik per tahun hanya dari ladang Tamar dan Leviathan—dianggap cukup untuk mengubah lanskap energi kawasan.

Mantan Menteri Energi Israel, Yuval Steinitz, bahkan menegaskan bahwa pengembangan ladang gas ini bukan hanya bersifat ekonomis, melainkan juga strategis.

Dalam laporan Institute for National Security Studies (INSS) Universitas Tel Aviv, dijelaskan bahwa kekuatan gas Israel bukan hanya terletak pada volume produksinya, melainkan juga pada kemampuannya membuka jalur diplomasi baru dan membangun aliansi strategis.

Namun, para peneliti Israel seperti Ilan Zalayet dan Yoel Guzansky mengingatkan bahwa meningkatnya pengaruh Turki di Suriah dapat menjadi ancaman serius.

Jika Turki berhasil membangun jaringan pipa untuk mengalirkan gas dari Teluk melalui Suriah, maka dominasi Israel sebagai pemasok energi alternatif Eropa akan terancam.

Uni Eropa, dalam kebijakannya, memang cenderung menghindari ketergantungan pada satu sumber tunggal.

Para analis tersebut juga memperingatkan bahwa proyek infrastruktur energi Turki—jika diperluas hingga Suriah—berpotensi menyaingi proyek Israel bersama Yunani dan Siprus.

Jika hal ini terjadi, posisi strategis Israel di Mediterania Timur akan melemah secara signifikan.

Strategi gas Turki dan peran Suriah

Di sisi lain, ambisi energi Turki juga terus tumbuh. Ankara memiliki visi besar untuk menjadikan dirinya sebagai jalur utama pasokan energi ke pasar Eropa. Letak geografisnya yang strategis menjadi modal utama bagi cita-cita tersebut.

Stabilitas politik di Suriah, menurut pandangan Turki, merupakan elemen krusial agar proyek-proyek energi alternatif dapat dibangun di luar skema yang digagas Israel.

Dengan adanya jalur pipa yang melintasi Suriah, Turki bisa menawarkan rute pasokan gas dari Teluk ke Eropa tanpa melalui wilayah Israel.

Kini, Israel tidak hanya khawatir pada ancaman keamanan tradisional dari Iran di Suriah. Perhatian juga tertuju pada kemungkinan kehadiran infrastruktur energi Turki yang melewati Suriah, yang bisa menggeser peta pengaruh di kawasan.

Bila skenario ini terwujud, posisi tawar Turki akan meningkat drastis dalam persaingan geopolitik dan energi di Mediterania Timur.

Lebih dari itu, Israel juga mencemaskan kemungkinan keterlibatan Turki dalam perundingan batas maritim antara Israel dan Lebanon—meskipun hingga kini belum tampak secara formal.

Jika Turki berhasil masuk melalui jalur Suriah dan memengaruhi negosiasi batas maritim, hal itu bisa mempersempit ruang gerak Israel dalam memaksimalkan potensi ladang gas di wilayah yang masih disengketakan.

Pengaruh Turki di Suriah, pada akhirnya, juga dapat berdampak pada peta kekuasaan politik di Lebanon, mengingat hubungan historis antara dinamika internal Lebanon dan posisi Suriah.

Dengan kata lain, kehadiran Turki di Suriah tak hanya beresonansi di bidang energi, tetapi juga dalam perimbangan kekuatan politik kawasan.

Reposisi Turki dan ketegangan gas di Timur Tengah

Sejak pembentukan Forum Gas Mediterania Timur, pemerintah Turki mengambil langkah strategis untuk mereposisi diri dalam lanskap energi dan geopolitik regional.

Pembentukan forum tersebut dianggap Turki sebagai upaya untuk menyingkirkannya dari peta energi kawasan, bahkan sebagai blok yang dibangun atas dasar permusuhan terhadap Ankara.

Seperti diungkapkan mantan Menteri Luar Negeri Mevlüt Çavuşoğlu, forum tersebut memunculkan kekhawatiran tentang upaya sistematis untuk meminggirkan peran Turki.

Sebagai respons, Ankara mengerahkan kapal-kapal pencari gas ke kawasan Mediterania Timur dengan pengawalan militer, serta menandatangani kesepakatan penetapan batas wilayah ekonomi laut, seperti perjanjiannya dengan Pemerintah Kesepakatan Nasional (GNA) Libya.

Langkah-langkah ini mencerminkan tekad Turki untuk tampil sebagai pemain tangguh yang tak bisa dikesampingkan dalam skema energi regional.

Ke depan, Turki juga tampaknya akan berupaya menandatangani kesepakatan eksplorasi dan investasi untuk gas laut Suriah.

Wilayah yang menurut perkiraan US Geological Survey, memiliki cadangan sekitar 400 miliar meter kubik, bagian dari total cadangan cekungan sebesar 122 triliun meter kubik.

Jika terealisasi, proyek ini akan mengubah peta energi regional secara menyeluruh, menantang logika dominasi dan eksklusi yang selama ini diupayakan Israel.

Proyek lama, visi baru

Salah satu elemen krusial yang menunjukkan pentingnya posisi Suriah dalam skema energi kawasan adalah proyek pipa gas Qatar yang diajukan pada 2009.

Jalur ini rencananya akan membentang dari Qatar, melalui Arab Saudi, Yordania, Suriah, hingga ke Turki, lalu mengalirkan gas ke Eropa.

Proyek ini, menurut laporan The Guardian, sempat menemui titik terang, namun akhirnya gagal akibat pilihan Damaskus yang lebih mendukung proyek saingan dari Iran, yang dinilai lebih menguntungkan Rusia.

Kini, dengan perubahan dinamika di Suriah, muncul kemungkinan proyek ini dihidupkan kembali.

Menteri Energi dan Sumber Daya Alam Turki, Alparslan Bayraktar, menyatakan bahwa usulan Qatar bisa direalisasikan kembali jika Suriah mencapai tingkat stabilitas dan keamanan yang memadai pasca berakhirnya rezim Assad.

Proyek ini—yang diperkirakan akan menelan biaya sekitar 10 miliar dolar AS dan membentang sejauh 1.500 kilometer—berpotensi menjadi alternatif nyata terhadap ketergantungan Eropa pada gas Rusia.

Tak heran jika keberhasilan proyek ini sangat mengkhawatirkan Israel, yang selama ini berupaya memosisikan diri sebagai penyuplai utama gas ke Eropa.

Ketakutan Israel bukan semata pada persaingan ekonomi, melainkan juga pada implikasi geopolitik yang lebih dalam.

Jika Qatar dan Turki berhasil mewujudkan proyek ini, pengaruh strategis mereka di kawasan akan meningkat secara signifikan, mereduksi peran Israel dalam percaturan energi regional.

Stabilitas yang rapuh atau ketegangan yang tak terhindarkan?

Pertarungan pengaruh antara Israel dan Turki di Suriah tidak bisa lagi dibaca dalam bingkai ancaman keamanan tradisional.

Kini, kalkulasi ekonomi dan energi menyatu dalam satu spektrum yang memperlihatkan betapa kompleksnya konfrontasi di antara kedua negara tersebut.

Pertanyaan utamanya: apakah kedua negara mampu menahan diri dan menjaga stabilitas sebagai prasyarat kesuksesan proyek energi masing-masing? Ataukah mereka akan terjebak dalam pertarungan jalur dan sumber daya yang menjadikan gas sebagai alat tawar menawar geopolitik?

Tanda-tanda saat ini menunjukkan bahwa kemungkinan terjadinya kesepahaman Israel-Turki dalam sektor energi sangat kecil.

Kedua pihak memiliki kepentingan dan orientasi strategis yang bertolak belakang. Maka, gas alam pun dapat berubah menjadi alat tekan, bahkan senjata diplomasi yang saling digunakan untuk melemahkan lawan.

Israel tidak ingin masa depan pasokan gasnya ke Eropa bergantung pada rute yang dikendalikan Turki.

Sementara itu, Turki melihat perubahan rezim di Suriah sebagai kesempatan emas untuk membentuk jalur energi baru yang menjadikannya sebagai poros logistik utama yang tak bisa diabaikan.

Jika tensi terus meningkat, Israel bisa saja mengambil langkah-langkah untuk menggagalkan stabilisasi Suriah—baik secara langsung maupun lewat aliansi regional seperti Yunani, Siprus, dan Mesir dalam Forum Gas Mediterania Timur.

Bersamaan, Tel Aviv akan terus mendorong Eropa agar melihat Israel sebagai mitra energi utama, sembari memperingatkan tentang risiko bergantung pada Turki.

Sebaliknya, Turki akan memperkuat kehadirannya di lapangan Suriah untuk memastikan dirinya menjadi bagian tak terpisahkan dari proyek energi masa depan kawasan.

Ankara kemungkinan besar akan kembali mendorong proyek pipa gas Qatar, seiring upayanya membangun stabilitas politik dan kesatuan teritorial di Suriah.

Turki akan menempatkan proyek ini dalam kerangka kepentingan nasionalnya: menolak segala bentuk fragmentasi Suriah dan mengukuhkan dirinya sebagai pusat energi yang tak tergantikan di wilayah Timur Tengah.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular