Friday, June 6, 2025
HomeBeritaLAPORAN KHUSUS - Ketegangan Trump–Netanyahu menguak di Gedung Putih

LAPORAN KHUSUS – Ketegangan Trump–Netanyahu menguak di Gedung Putih

Ketegangan antara Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump dan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu kembali mencuat ke permukaan, kali ini melalui jalur internal Gedung Putih.

Serangkaian pemecatan pejabat tinggi yang dikenal pro-Israel oleh pemerintahan Trump mengundang spekulasi tentang jarak yang kian melebar antara kedua sekutu lama tersebut.

Surat kabar Yedioth Ahronoth melaporkan bahwa Netanyahu dikabarkan cemas menyusul pemecatan sejumlah tokoh kunci yang selama ini menjadi penghubung utama antara Tel Aviv dan Washington di sektor keamanan nasional.

Pemecatan tersebut dipandang oleh sejumlah analis sebagai sinyal ketidaksenangan Washington terhadap langkah-langkah Netanyahu yang dianggap membahayakan posisi strategis AS di Timur Tengah.

Di antaranya, tekanan untuk memperluas serangan ke Jalur Gaza dan dorongan agar AS menyetujui aksi militer terhadap fasilitas nuklir Iran.

Abdullah al-Shayji, pakar hubungan internasional dari Universitas Kuwait, menyebut bahwa pemecatan ini adalah pesan eksplisit dari Trump kepada Netanyahu agar “mengatur ulang kalkulasinya.”

Dalam program Behind the News yang disiarkan Al Jazeera, Shayji mengatakan, “Trump ingin mengingatkan Netanyahu untuk tidak bertindak di luar kendali dan menghindari langkah yang memperparah ketegangan dengan sekutu AS di kawasan.”

Namun, Shayji juga menekankan bahwa konflik tersebut bersifat taktis dan tidak menyentuh inti relasi strategis antara kedua negara.

Menurutnya, karakter populis Trump dan dukungan dari basis Make America Great Again (MAGA) memberinya ruang untuk bermanuver, dengan menyatakan ketidakpuasan terhadap gaya kepemimpinan Netanyahu, tanpa meninggalkan dukungan terhadap hak Israel untuk membela diri.

“Agenda Amerika dulu”

Beberapa sumber di Gedung Putih mengatakan bahwa pemecatan tersebut tidak secara langsung berkaitan dengan posisi mereka terhadap Israel, melainkan terkait dengan prinsip “America First” yang menjadi fondasi utama kebijakan luar negeri Trump.

Dalam kerangka ini, pengaruh lobi asing – termasuk Israel – diupayakan untuk dikurangi secara signifikan.

Di antara nama-nama yang diberhentikan adalah Morgan Ortagus, wakil utusan khusus untuk Timur Tengah, Mirav Ceren, kepala divisi Iran dan Israel di Dewan Keamanan Nasional, serta Eric Trager, direktur senior untuk wilayah Timur Tengah dan Afrika Utara.

Sebelumnya, Michael Waltz, tokoh vokal pro-Israel, juga dicopot dari jabatan strategis di Dewan Keamanan Nasional.

Menurut Bilel Shobaki, ketua jurusan ilmu politik di Universitas Hebron, langkah-langkah ini menimbulkan kekhawatiran di Israel bahwa mereka tidak lagi menjadi bagian integral dalam proses pengambilan keputusan di Washington.

Ia menyebut bahwa kekhawatiran ini telah muncul bahkan sebelum kunjungan Trump ke kawasan Teluk beberapa waktu lalu.

“Pesannya jelas: Kepentingan Israel kini diukur dari sudut pandang Amerika, bukan dari agenda Netanyahu,” ujar Shobaki.

Namun demikian, baik Shayji maupun Shobaki sepakat bahwa ketegangan ini tidak akan berkembang menjadi krisis permanen.

Menurut Shayji, perbedaan pandangan mengenai cara menangani Gaza dan pendekatan terhadap Iran adalah “perselisihan teknis”, bukan ideologis.

Bahkan di tengah desakan Netanyahu agar AS menyerang Iran, Trump masih ingin memberi peluang negosiasi.

Netanyahu masih punya ruang gerak

Shobaki memandang pemecatan ini lebih sebagai “teguran simbolis” daripada upaya langsung untuk melemahkan Netanyahu di mata publik Israel.

Menurutnya, Netanyahu masih bisa memainkan “wilayah abu-abu”, dengan tetap berkoordinasi dengan AS sambil mempertahankan kebijakan kerasnya terhadap Gaza.

Namun, hal ini juga bisa memicu ketegangan internal dalam koalisi sayap kanan yang ia pimpin.

Dalam jangka panjang, lanjutnya, AS belum melihat adanya tokoh oposisi di Israel yang cukup kuat untuk menggantikan Netanyahu.

Maka, meski hubungan merenggang, belum ada sinyal bahwa Washington benar-benar ingin mengganti mitra strategisnya.

Adapun Shayji menyimpulkan bahwa selama tidak ada strategi yang konsisten dari pemerintahan Trump dalam menyikapi konflik Gaza dan Iran, Netanyahu masih punya ruang untuk bermanuver.

Dalam kondisi ini, negara-negara Arab berpotensi memainkan peran sebagai perantara diplomatik dengan pendekatan berbeda – termasuk membuka jalur komunikasi alternatif dengan Washington demi meredakan eskalasi di Gaza.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular