Wednesday, August 13, 2025
HomeBeritaLAPORAN KHUSUS - Konflik terbuka Netanyahu dan militer Israel

LAPORAN KHUSUS – Konflik terbuka Netanyahu dan militer Israel

Media Israel pekan ini melaporkan bahwa Perdana Menteri Benjamin Netanyahu memutuskan memerintahkan militer untuk menduduki sepenuhnya Jalur Gaza. Namun, Kepala Staf Militer Eyal Zamir dikabarkan sangat menentang langkah tersebut dan bahkan mengancam akan mengundurkan diri jika perintah itu dipaksakan.

Jika laporan tersebut benar, maka momen ini memiliki arti penting yang sulit dilebih-lebihkan. Benturan terbuka antara pemerintah dengan militer bukan hanya menantang institusi bersenjata, tetapi juga bertolak belakang dengan kehendak sebagian besar publik Israel.

Survei selama ini menunjukkan mayoritas warga Israel mendukung penghentian perang dengan imbalan Hamas membebaskan sandera yang tersisa. Survei Channel 12 News pada bulan lalu menyatakan bahwa 74 persen warga Israel mendukung kesepakatan semacam itu.

Militer Israel memperingatkan bahwa pendudukan penuh Gaza akan membahayakan nyawa sandera. Pemerintah menyadari risiko ini—Menteri Kebudayaan Miki Zohar bahkan mengakui bahwa eskalasi perang akan menempatkan sandera dalam bahaya besar. Jika keputusan itu benar-benar diambil, pemerintah dipandang mengabaikan aspirasi publik yang kian mengerucut ingin diakhirinya perang.

Desakan untuk segera menghentikan perang juga datang dari ratusan mantan pejabat keamanan senior—dari militer, Mossad, hingga Shin Bet—yang menandatangani surat terbuka mendesak Netanyahu mengakhiri perang. Mereka menilai perang sudah kehilangan tujuan, dan hanya akan memperpanjang penderitaan dan memperdalam isolasi Israel.

Visi bahwa kelanjutan perang sia-sia turut mencerminkan kegagalan mencapai target resmi perang. Hamas masih bertahan meski mengalami pukulan berat; tentara Israel terus berjatuhan; dan upaya militer gagal menghasilkan pembebasan sandera seperti yang dijanjikan setelah penghentian sepihak pada Maret lalu. (The Washington Post, TIME)

Penolakan terhadap perang tidak hanya datang dari lingkungan militer. Sorotan soal potensi kejahatan perang dan genosida mulai digaungkan tokoh publik seperti mantan Menhan Moshe Yaalon, mantan PM Ehud Olmert, dan sastrawan sayap kiri David Grossman.

Sementara itu, banyak tentara mengaku trauma setelah menyaksikan atau mengambil bagian dalam peristiwa di Gaza. Ditambah lagi, gambaran kelaparan yang mencekam di wilayah tersebut semakin memperkuat gelombang penolakan, meski media Israel melakukan kampanye yang tampaknya menyangkal adanya kelaparan atau keterlibatan Israel dalam menciptakannya.

Isu citra internasional Israel juga sangat menentukan. Mantan PM Naftali Bennett menyatakan bahwa Israel kini dituding sebagai “negara kusta” (leper state) di dunia internasional.

Perjanjian dagang penting dengan Uni Eropa terancam batal; dukungan dari negara-negara seperti Polandia dan Jerman makin renggang.

Dampak ini juga terasa di dunia olahraga: klub sepak bola Jerman membatalkan perekrutan pemain Israel, dan tim-tim Israel kesulitan menggelar pertandingan di Eropa.

Ketakutan menjadi negara terisolasi semakin meningkat: survei Channel 12 menyebut 56 persen warga Israel saat ini khawatir atas citra buruk yang bisa menghalangi mereka bepergian ke luar negeri—menciptakan sensasi keterasingan bahkan dalam persaudaraan Barat yang selama ini mereka anggap bagian dari identitas mereka.

Kekhawatiran terhadap isolasi tidak hanya soal citra, tetapi juga peralatan dan kemampuan militer. Israel bergantung pada suplai persenjataan dari AS dan negara-negara Eropa seperti Inggris, Prancis, Jerman, dan Italia—semua sedang menghadapi tekanan untuk menghentikan hubungan militer dengan Israel.

Ditambah lagi, ancaman hukum internasional, seperti proses di Mahkamah Pidana Internasional, semakin nyata. Militer khawatir bahwa pendudukan penuh Gaza dapat memicu retaknya hubungan antara tentara dan masyarakat, terutama karena mereka adalah “tentara rakyat”.

Risiko seperti ketidakhadiran pada wajib militer cadangan dan potensi terjadinya pergeseran militer menjadi kekuatan yang loyal hanya pada kelompok pemukim menjadi kekhawatiran besar.

Kini militer Israel berada di persimpangan keputusan: memilih mengikuti kehendak publik untuk menghentikan perang, atau menuruti permintaan Netanyahu yang mengarah pada pendudukan penuh—langkah yang bisa memicu perpecahan internal dan mengubah citra serta struktur pertahanan negara secara fundamental.

 

Pizaro Idrus
Pizaro Idrus
Kandidat PhD bidang Hubungan Internasional Universitas Sains Malaysia. Peneliti Asia Middle East Center for Research and Dialogue
ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular