Saturday, September 13, 2025
HomeBeritaLAPORAN KHUSUS - Kutukan Gaza: Ketika Netanyahu mulai kehilangan sahabat Baratnya

LAPORAN KHUSUS – Kutukan Gaza: Ketika Netanyahu mulai kehilangan sahabat Baratnya

Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu—yang kini berstatus buronan Mahkamah Pidana Internasional (ICC)—tampaknya memasuki fase baru dari “delusi kebesaran” yang kerap ia tunjukkan.

Politikus sayap kanan itu tidak lagi hanya membanggakan diri sebagai pengubah wajah Timur Tengah, melainkan juga berperilaku seakan dunia adalah panggung pribadinya, tempat ia terus-menerus mengukir “kepahlawanan” yang banyak kalangan sebut semu.

Yang mengejutkan, medan pertarungan Netanyahu kali ini bukan hanya dengan musuh tradisional Israel, melainkan juga dengan sekutu-sekutu historis di Barat.

Para negara yang dahulu melahirkan dan menopang berdirinya Israel kini justru menjadi sasaran cercaan sang perdana menteri.

Dalam beberapa pekan terakhir, hubungan Israel dengan Eropa dan Australia menunjukkan keretakan nyata, dipicu oleh meningkatnya seruan pengakuan terhadap negara Palestina serta penolakan Netanyahu menghentikan serangan di Gaza.

Di Paris, Presiden Emmanuel Macron dituduh Netanyahu “menyuburkan antisemitisme” lantaran rencana Prancis mengakui negara Palestina pada September mendatang.

Macron juga dituding melemahkan posisi Israel menghadapi “terorisme Hamas”. Elysée merespons keras, menyebut tuduhan Netanyahu “keji” dan “dibangun di atas manipulasi”.

Bagi Paris, perlindungan komunitas Yahudi di Prancis tidak ada kaitannya dengan posisi politik terhadap pendudukan Israel di Palestina.

Selain itu, Prancis menegaskan penolakannya terhadap perang di Gaza, kebijakan permukiman ilegal, dan pengiriman senjata ke Israel.

Kerenggangan juga terjadi di kawasan Pasifik. Perdana Menteri Selandia Baru, Christopher Luxon, menilai kebijakan Netanyahu sebagai tanda “hilangnya kewarasan”, mengingat penderitaan kemanusiaan yang ditimbulkan di Gaza.

Sementara Australia ikut bergabung dalam gelombang pengakuan terhadap Palestina. Tanggapan Netanyahu tak kalah keras, dengan menuding Perdana Menteri Anthony Albanese sebagai “lemah” dan “pengkhianat”.

Canberra membalas, lewat Menteri Dalam Negeri, bahwa “kekuatan bukan diukur dari berapa banyak orang yang Anda bunuh atau biarkan kelaparan”.

Australia, tegasnya, kini mengambil sikap moral terhadap tragedi Gaza, meski harus mengorbankan “persahabatan bersejarah” dengan Israel.

Jejak panjang aliansi Barat-Israel

Retaknya hubungan Israel dengan Barat saat ini hanya dapat dipahami bila menengok akar sejarah aliansi tersebut.

Sejak masa awal berdirinya (1948–1967), simpati moral akibat tragedi Holocaust mendorong Eropa dan Amerika Serikat (AS) untuk menjadikan pengakuan terhadap Israel sebagai pilihan etis sebelum politis.

AS bahkan menjadi negara pertama yang mengakui Israel, hanya beberapa menit setelah proklamasi berdirinya. Saat itu, prinsip bahwa “keamanan Israel adalah bagian vital dari kepentingan Barat” mengakar kuat.

Perang 1967 menjadi titik balik. Kemenangan kilat Israel tidak hanya meneguhkan posisinya sebagai kekuatan militer regional, tetapi juga membuka jalan bagi aliansi strategis mendalam dengan Washington.

Israel berubah dari sekadar penerima simpati moral menjadi aktor militer- keamanan penting dalam strategi Amerika menahan pengaruh Soviet di Timur Tengah.

Selama era Carter, Reagan, hingga Clinton, aliansi itu terus berkembang. Bantuan finansial dan militer besar-besaran tetap mengalir, meski dikaitkan dengan proses perdamaian.

Eropa sendiri mengusung gagasan solusi dua negara, tetapi enggan melangkah ke pengakuan resmi, lantaran khawatir merusak hubungan khusus dengan Israel dan menghadapi tekanan kuat dari lobi pro-Israel di ibu kota mereka.

Strategi mempertahankan jaringan

Israel mampu mempertahankan jalinan aliansi Barat dengan strategi berlapis. Pertama, melalui keterikatan keamanan yang dalam: latihan militer bersama, pertukaran intelijen, hingga penawaran teknologi militer mutakhir.

Israel menempatkan diri sebagai mitra yang tak tergantikan dalam agenda keamanan global.

Kedua, sejak tragedi 11 September 2001, Israel mengemas konflik Palestina dalam bingkai “perang melawan teror”.

Perlawanan Palestina digambarkan sebagai bagian dari “ekstremisme Islam global”, sehingga menambah simpati negara-negara Barat yang kala itu fokus pada perang melawan terorisme.

Ketiga, Israel tidak ragu menggunakan tuduhan “antisemitisme” sebagai tameng politik. Kritik terhadap kebijakan Israel kerap digiring sebagai bentuk kebencian terhadap Yahudi, sebuah stigma yang membuat banyak suara kritis akhirnya bungkam.

Keempat, jaringan lobi politik dan media di Barat—seperti AIPAC di Amerika Serikat—menjadi instrumen vital.

Melalui kelompok-kelompok ini, Israel berhasil memengaruhi kebijakan, membentuk opini publik, dan memastikan arus bantuan militer serta finansial tetap berlanjut.

Kini, dengan perang Gaza yang kian brutal dan meningkatnya seruan moral untuk mengakui Palestina, tanda-tanda keretakan aliansi itu mulai tampak jelas.

Pertanyaan besar pun muncul: apakah Netanyahu, dalam ambisinya mempertahankan “Israel yang tak terkalahkan”, justru sedang kehilangan sahabat-sahabat paling bersejarahnya di Barat?

Apa yang berubah hari ini?

Hubungan Israel dengan sekutu-sekutunya di Barat tengah memasuki fase yang berbeda. Sejumlah faktor utama, terutama perang Gaza sejak 2023, menjadi titik balik yang sulit dihindari.

Skala korban sipil yang amat besar, kehancuran masif, hingga munculnya istilah-istilah seperti genocide (genosida) dan starvation (penggunaan kelaparan sebagai senjata perang) dalam wacana resmi PBB, menempatkan banyak pemerintah Barat pada posisi serba salah.

Untuk pertama kalinya dalam beberapa dekade terakhir, jutaan orang turun ke jalan di kota-kota besar Barat mendesak diakhirinya perang dan menuntut pengakuan bagi Palestina.

Gelombang mobilisasi publik ini menciptakan tekanan domestik yang besar bagi para pemimpin mereka.

Selain itu, muncul generasi baru pemimpin Barat yang tidak lagi terbebani oleh “warisan moral” Perang Dunia II dan Holocaust.

Tokoh-tokoh seperti Emmanuel Macron di Prancis, Anthony Albanese di Australia, dan Christopher Luxon di Selandia Baru, lebih menimbang kepentingan global negara mereka daripada ikatan emosional dengan Israel.

Bagi mereka, keterikatan terus-menerus pada kebijakan yang disebut masyarakat sebagai “kejahatan Israel di Gaza” justru merusak citra internasional.

Di sisi lain, gaya pribadi Netanyahu yang konfrontatif semakin memperburuk keadaan.

Strateginya memanfaatkan tuduhan “antisemitisme” untuk menekan sekutu—dulu efektif—kini dipandang di Paris, Canberra, maupun London sebagai bentuk pemerasan politik yang vulgar.

Alhasil, muncul keberanian baru dari para pemimpin Barat untuk bersikap lebih lantang terhadap Israel.

Lima alasan retaknya hubungan

Fenomena saling serang secara terbuka antara Netanyahu dan para pemimpin Barat seperti Macron, Albanese, maupun Luxon, mencerminkan perubahan besar dalam pola hubungan tradisional Israel–Barat. Setidaknya ada lima faktor utama:

Pertama, perubahan opini publik internasional pasca perang Gaza. Lonjakan korban sipil dan gambar-gambar kematian akibat kelaparan telah menciptakan tekanan moral pada pemerintah Barat.

Demi menjaga legitimasi politik di mata rakyat, para pemimpin seperti Macron, Albanese, dan Luxon terpaksa mengambil posisi lebih kritis terhadap Israel.

Kedua, penolakan Netanyahu terhadap kritik. Bagi Netanyahu, setiap kritik sama dengan “pengkhianatan” atau bentuk antisemitisme.

Formula ini memang efektif pada masa lalu, tetapi kini menimbulkan efek sebaliknya. Para pemimpin Barat justru merasa dipermalukan dan karenanya lebih berani menyuarakan kritik.

Ketiga, solusi dua negara membutuhkan langkah simbolis. Kegagalan negosiasi selama puluhan tahun membuat Barat sampai pada kesimpulan bahwa pengakuan resmi atas negara Palestina bisa menjadi “kejutan diplomatik” untuk memulihkan keseimbangan.

Netanyahu melihatnya sebagai ancaman serius, sebab langkah simbolis itu bisa berubah menjadi bola salju menuju isolasi politik dan sanksi internasional.

Keempat, gaya personal Netanyahu yang penuh konflik. Dihadapkan pada tekanan domestik berupa kasus korupsi dan kritik atas kegagalannya menghadapi peristiwa 7 Oktober 2023, Netanyahu membutuhkan “panggung luar negeri” untuk menunjukkan ketegasan.

Menyerang sekutu yang dianggap lembek justru memperkuat narasi internal bahwa Israel “dikhianati bahkan oleh sahabatnya sendiri”, sebuah narasi yang digemari pendukung sayap kanan.

Kelima, perpecahan dalam “blok Barat”. Sementara AS dan Inggris masih teguh di sisi Israel, negara-negara seperti Prancis, Australia, dan Selandia Baru mulai melihat hubungan tanpa syarat dengan Israel sebagai beban moral dan politik.

Pergeseran ini tidak hanya soal Gaza, melainkan juga mencerminkan perubahan geopolitik lebih luas, di mana Barat berusaha merebut kembali otoritas moral global di tengah bangkitnya kekuatan lain seperti Cina dan Rusia.

Apakah kita menyaksikan retaknya aliansi Barat–Israel?

Belum bisa dikatakan bahwa aliansi Barat–Israel benar-benar runtuh. Namun, tanda-tanda perubahan mendasar sudah jelas terlihat.

Relasi yang selama puluhan tahun dianggap nyaris tak tergoyahkan kini berada dalam proses pergeseran, dengan dinamika yang bisa dilihat dari beberapa dimensi.

Pertama, dimensi militer-keamanan. Pada level ini, hubungan Israel dengan AS, Inggris, dan Jerman tetap kokoh.

Bantuan persenjataan, kerja sama intelijen, dan koordinasi militer masih berlangsung intensif.

Landasan hubungan ini bersifat struktural—lahir dari kepentingan strategis jangka panjang—dan belum tampak tanda-tanda akan berakhir. Israel masih dipandang sebagai mitra keamanan yang vital di kawasan.

Kedua, dimensi politik-diplomatik. Berbeda halnya dengan ranah politik. Di Eropa Barat, terutama, dukungan tanpa syarat mulai terkikis.

Pengakuan atas negara Palestina, kritik terbuka terhadap manuver politik Benjamin Netanyahu, hingga tudingan bahwa ia melakukan “pemerasan diplomatik” menandai pergeseran signifikan.

Jika dulu Israel memperoleh dukungan politik mutlak, kini dukungan itu disertai catatan keras.

Ketiga, dimensi moral dan wacana publik. Untuk pertama kalinya dalam beberapa dekade, Israel kehilangan keunggulan narasi sebagai pihak yang selalu menjadi korban.

Gambar dan laporan dari Gaza—terutama menyangkut tuduhan genosida dan kelaparan massal—mengubah opini publik di Barat.

Retorika lama tentang “antisemitisme” tidak lagi bekerja seefektif dulu. Israel kini berada di posisi defensif dalam pertempuran opini, bahkan di mata publik negara-negara sekutunya.

Keempat, dimensi ekonomi. Gerakan boikot, desakan penghentian ekspor senjata, hingga tekanan konsumen terhadap produk terkait Israel mulai tumbuh di negara-negara Barat.

Walaupun dampaknya belum besar secara struktural, tren ini berpotensi menjadi instrumen tekanan ekonomi di masa depan.

Arah ke depan: Beberapa skenario

Ada beberapa kemungkinan ke mana hubungan ini akan berkembang.

  • Skenario pertama: meningkatnya ketegangan terbuka. Negara-negara Barat mungkin akan melanjutkan pengakuan simbolik terhadap Palestina. Walau tidak langsung mengubah realitas di lapangan, langkah ini memperdalam isolasi politik Israel dan menambah tekanan agar ada solusi politik.
  • Skenario kedua: relasi menjadi lebih “fungsional”. Israel akan tetap dipertahankan sebagai sekutu keamanan, tetapi tidak lagi memperoleh perlindungan politik mutlak. Hubungan menjadi lebih dingin, praktis, dan berbasis kepentingan strategis semata, bukan sentimen ideologis atau emosional.
  • Skenario ketiga: intervensi Amerika Serikat. Untuk meredam perpecahan, Washington bisa saja mendorong pembentukan pemerintahan Israel yang “lebih moderat” pasca-Netanyahu. Pemerintahan baru ini diharapkan lebih dapat diterima mitra Barat, sekaligus menjaga agar aliansi tetap solid.
  • Skenario keempat: terbentuknya blok internasional baru yang lebih kritis terhadap Israel. Sejumlah negara—seperti Prancis, Spanyol, Irlandia, Australia, dan Selandia Baru—berpotensi membangun koalisi untuk memberi tekanan politik. Jika itu terjadi, Palestina akan memperoleh modal diplomatik baru yang selama ini nyaris tidak dimilikinya.

Titik balik

Perselisihan terbuka antara Netanyahu dan para pemimpin Barat bukan sekadar riak diplomatik.

Ia menandai retakan pertama dalam fondasi aliansi yang sejak 1948 berjalan hampir tanpa gangguan.

Beberapa ibu kota Barat kini bergeser dari posisi sebagai “pendukung setia” menjadi “sekutu kritis”.

Bagi Israel, perang di Gaza menjadi ujian moral dan politik. Netanyahu memilih konfrontasi daripada kompromi, dan itu bisa berimplikasi jangka panjang.

Barat tidak lagi sanggup menanggung biaya reputasi Israel sebesar dulu. Hubungan akan tetap ada, tetapi dalam format baru: lebih setara, lebih penuh tuntutan, dan tidak lagi didominasi oleh status Israel sebagai “anak emas” dunia Barat.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular