Thursday, November 21, 2024
HomeHeadlineLAPORAN KHUSUS: Oktober berdarah, bulan mematikan bagi pasukan penjajah Israel

LAPORAN KHUSUS: Oktober berdarah, bulan mematikan bagi pasukan penjajah Israel

Israel telah mencatat bulan mematikan tahun ini di tengah pertempuran sengit yang terus berlanjut di Lebanon selatan dan Gaza utara.

Setidaknya 62 tentara telah tewas sejak awal Oktober, menurut data resmi penjajah, yang menjadikan ini bulan paling mematikan bagi militer Israel sejak Desember lalu ketika 110 tentara tewas pada puncak perang melawan Hamas di Gaza, lansir Middle East Eye.

Ini juga menandai peningkatan tajam dalam jumlah kematian yang tercatat dibandingkan dengan bulan-bulan terakhir.

Hanya sembilan kematian yang tercatat oleh militer Israel pada bulan September, dan total 63 kematian antara bulan Juni dan Agustus.

Setidaknya 35 tentara Israel telah tewas di Lebanon selatan atau di perbatasan Lebanon sejak Israel menginvasi tetangganya di utara pada awal bulan dalam eskalasi perang melawan Hizbullah.

Kelompok Lebanon itu mengatakan telah menewaskan lebih dari 90 tentara Israel, meskipun angka-angka ini belum diverifikasi.

Setidaknya 19 tentara juga tewas bulan ini dalam pertempuran berkelanjutan dengan Hamas di Gaza, tempat Israel dituduh melakukan kampanye pembersihan etnis dan pemusnahan terhadap warga Palestina yang terjebak di utara daerah kantong itu.

Angka-angka tersebut didasarkan pada informasi resmi yang dipublikasikan di situs web Kementerian Luar Negeri Israel yang mencantumkan total 780 personel militer termasuk ratusan yang tewas selama serangan pada 7 Oktober 2023 di Israel selatan.

Itu termasuk setidaknya 365 tentara yang terdaftar sebagai “tewas dalam pertempuran” di Gaza, Lebanon, dan Tepi Barat, serta mereka yang tewas dalam serangan roket atau serangan lain di Israel, dan lainnya yang tewas dalam kecelakaan lalu lintas.

Tentara Israel yang tewas di Jalur Gaza utara pada 29 Oktober 2024: Atas (kiri ke kanan): Kapten Yehonatan Joni Keren, Sersan Kepala Nisim Meytal; bawah (kiri ke kanan): Sersan Kepala Aviv Gilboa, Sersan Kepala Naor Haimov. (Sumber: IDF)

Namun, banyak tentara yang diidentifikasi hanya berdasarkan nama, pangkat, dan unit mereka tanpa perincian lebih lanjut tentang kronologi kematian mereka.

Angka-angka baru yang dirilis minggu ini oleh departemen rehabilitasi militer Israel juga tampaknya menunjukkan peningkatan baru-baru ini dalam jumlah tentara yang terluka yang memerlukan perawatan medis.

Pada Selasa, mereka melaporkan 910 tentara yang terluka bulan ini di Lebanon.

Menteri Keuangan Israel, Bezalel Smotrich, yang dikenal sebagai Zionis garis keras, menangis saat memberikan pidato di konferensi pers sebelum pertemuan partainya pada Senin (28/10).

Smotrich mengungkapkan kesedihannya atas banyaknya korban di kalangan tentara Israel dalam beberapa hari terakhir.

Dia menyatakan bahwa harga dari perang ini lebih banyak ditanggung oleh komunitas Zionis Religius.

“Dalam beberapa hari terakhir, kita melihat, membaca, dan mendengar kisah-kisah menyayat hati dari mereka yang gugur, termasuk banyak tentara cadangan,” ungkap Smotrich.

Angka bisa lebih banyak

Informasi tentang korban sangat dikontrol ketat di Israel, di mana media tunduk pada sensor militer yang ketat. Hal itu membuat beberapa orang mempertanyakan apakah angka resmi mungkin tidak melaporkan skala sebenarnya dari kerugian yang diderita oleh pasukan Israel di Gaza dan Lebanon.

Dalam sebuah wawancara di Channel 12 pada Senin (28/10), pemimpin oposisi Yair Lapid mengatakan bahwa 890 tentara telah tewas dan 11.000 lainnya terluka sejak 7 Oktober tahun lalu.

“Ada batasan seberapa banyak kita menerima fakta alternatif,” kata Lapid.

Meskipun tanpa mengutip sumber, Lapid merujuk ke rumah sakit Israel tempat tentara yang terluka dirawat: “Jika Anda ragu tentang angka ini, pergilah ke Tel Hashomer, pergilah ke Ichilov, pergilah ke Rambam, pergilah ke departemen rehabilitasi.”

Dalam angka terbarunya yang dirilis pada Selasa (29/10), departemen rehabilitasi militer Israel memperbarui jumlah total tentara yang dikatakan telah menerima perawatan sejak 7 Oktober tahun lalu menjadi sekitar 12.000.

Sekitar 14 persen dari jumlah tersebut – sekitar 1.680 tentara – tergolong mengalami cedera sedang atau serius. Sekitar 43 persen – 5.200 tentara – memerlukan perawatan untuk gangguan stres pascatrauma atau masalah psikologis lainnya, kata departemen tersebut.

Grafik kematian tentara Israel. (Foto: Middle East Eye)

Sementara itu, laporan berita tentang pemakaman tentara yang tewas di Lebanon telah memusatkan perhatian publik pada kesedihan para istri dan anak membuat sebagian orang bertanya-tanya apakah dukungan untuk perang Israel mungkin berubah.

Menulis di Haaretz pada Senin, jurnalis Israel Amos Harel bertanya apakah jumlah korban tewas yang meningkat dapat “secara bertahap mengubah pandangan publik tentang perlunya melanjutkan perang”, seperti yang terjadi setelah operasi Israel sebelumnya di Lebanon dan Gaza.

“Pemerintah menggambarkan serangkaian keberhasilan militer baru-baru ini di Jalur Gaza, Iran, dan Lebanon sebagai bukti bahwa strateginya benar dan bahwa perang harus terus berlanjut di setiap lini,” tulis Harel.

“Namun pada kenyataannya, tidak mungkin untuk mengabaikan harga yang harus dibayar untuk melanjutkan perang lebih lama lagi.”

“Israel gagal kalahkan Hamas”

Jenderal purnawirawan Israel, Yitzhak Brik, menyatakan Israel masih jauh dari kemenangan, dan Hamas tetap bertahan di dalam terowongan dengan persediaan logistik untuk dua tahun ke depan.

Ia mengatakan, sebagian besar terowongan di Gaza masih dikuasai oleh Hamas. Dia juga menuding militer Israel berbohong atas klaim telah menghancurkan Hamas di Gaza.

Brik juga menyebut militer Israel kesulitan menguasai Gaza untuk waktu yang lama karena kekuatan personelnya telah banyak berkurang.

Menurut Brik, Kepala Staf Militer saat ini dinilai gagal. Pasukan Israel telah kehilangan kepercayaan dari para pemimpin militer senior, dan seharusnya mengundurkan diri.

Brik, yang dijuluki “Nabi Amarah” di Israel, pernah meramalkan serangan yang dilakukan ribuan pejuang Palestina terhadap pemukiman di sekitar Jalur Gaza, mirip dengan serangan dalam pertempuran Badai Al-Aqsa.

Pada Selasa (29/10), Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dilaporkan telah mengadakan pertemuan dengan pejabat militer dan menteri pemerintah untuk membahas kemungkinan gencatan senjata di Lebanon.

Seorang pejabat keamanan senior mengatakan kepada situs web Ynet bahwa para panglima militer sudah yakin bahwa operasi mereka di Lebanon sudah hampir berakhir.

“Ini adalah kesepakatan atau perang yang menguras tenaga dan zona keamanan,” kata pejabat itu seperti dikutip.

Jurnalis Israel Meron Rapoport mengatakan kepada Middle East Eye bahwa ia yakin bahwa perubahan posisi militer yang nyata didasarkan pada kekhawatirannya bahwa jumlah kematian akan terus meningkat selama operasi tempur terus berlanjut.

“Jika militer sekarang mengatakan perang harus berakhir, itu karena banyaknya korban,” kata Rapoport.

“Mereka mengatakan itu untuk mempertahankan ‘prestasi’ di Lebanon, tetapi menurut saya itu karena ketakutan akan peningkatan jumlah korban dan berkurangnya dukungan publik.”

Israel tidak menunjukkan tanda-tanda akan menghentikan operasi pengeboman terhadap Lebanon, yang telah merenggut setidaknya 2.792 nyawa dalam setahun terakhir dan memaksa lebih dari satu juta orang mengungsi.

Abed Abu Shihada, seorang penulis Palestina yang tinggal di Israel, menyatakan, “Tidak ada suara serius untuk mengakhiri perang. Masyarakat Israel mengalami depresi, tetapi tetap ingin melanjutkan pertempuran.”

Pada Rabu, Israel kembali membombardir Baalbek setelah sebelumnya memerintahkan seluruh penduduk untuk meninggalkan kota tersebut. Setidaknya 60 orang tewas akibat serangan udara yang menargetkan kota bersejarah di bagian timur tersebut dan sekitarnya pada hari Senin.

Banyak pihak masih merasa pesimis mengenai kemungkinan akhir perang yang lebih luas, terutama di Gaza, di mana lebih dari 43.000 warga Palestina dilaporkan tewas, menurut Kementerian Kesehatan Palestina.

Abed Abu Shihada mengungkapkan pengaruh dan keberadaan partai-partai sayap kanan serta pendukung gerakan pemukim dalam koalisi pemerintah Netanyahu dan militer Israel, yang telah menyatakan niat untuk membangun pemukiman di Gaza.

“Bagi mereka, ini adalah perang agama dan mereka berbicara dalam bahasa menjalankan misi Tuhan,” ungkap Abu Shihada.

Namun pada Kamis (31/10), puluhan anggota komunitas ultra-Ortodoks, atau Haredim, menggelar protes di Tel Aviv menentang wajib militer.

Para pengunjuk rasa berkumpul di depan kantor rekrutmen di Kiryat Ono, sebuah kota di distrik Tel Aviv, untuk menyuarakan penolakan mereka terhadap undang-undang draft militer Israel.

Dalam demonstrasi tersebut, mereka meneriakkan kata “Nazi” kepada polisi dan memblokir jalan utama, yang menyebabkan bentrokan di mana satu demonstran ditangkap, lapor penyiar publik Israel.

Protes ini muncul setelah Panglima Angkatan Darat Herzi Halevi baru-baru ini meminta peningkatan pendaftaran baik dari cadangan maupun angkatan reguler, menurut saluran berita Israel, Channel 12.

Haredim, yang membentuk sekitar 13% dari populasi Israel yang mencapai 10 juta, secara tradisional mengabdikan hidup mereka untuk studi Taurat di institusi keagamaan dan menghindari dinas militer, yang mereka anggap sebagai ancaman terhadap identitas religius mereka.

Selama beberapa dekade, mereka dikecualikan dari kewajiban militer, tetapi pada bulan Juli lalu, militer mulai mengeluarkan perintah draft untuk pria Haredi.

 

Pizaro Idrus
Pizaro Idrus
Pengajar HI Universitas Al Azhar Indonesia, Mahasiswa PhD Hubungan Antarbangsa Universitas Sains Malaysia.
ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular