Wednesday, November 26, 2025
HomeBeritaLAPORAN KHUSUS - UEA biayai diamnya negara-negara Barat atas pembantaian Sudan

LAPORAN KHUSUS – UEA biayai diamnya negara-negara Barat atas pembantaian Sudan

Politisi Barat gagal bersuara menanggapi pembantaian warga sipil di Sudan karena Abu Dhabi disebut membeli diam mereka, menurut seorang jenderal tinggi Sudan dalam wawancara dengan Middle East Eye.

Letnan Jenderal Yasser al-Atta, anggota Dewan Kedaulatan Sudan sekaligus wakil panglima militer, mengatakan bahwa Presiden Uni Emirat Arab (UEA), Mohammed bin Zayed, telah melancarkan perang rasial terhadap rakyat Sudan.

Ia menuding penguasa Abu Dhabi itu mendukung kelompok paramiliter Rapid Support Forces (RSF), yang selama dua setengah tahun terakhir melakukan pembantaian dan kekejaman di berbagai wilayah Sudan, termasuk yang terbaru di kota Darfur, El-Fasher.

Menurut Atta, RSF yang didukung UEA, yang berperang melawan Angkatan Bersenjata Sudan (SAF) sejak April 2023, telah “melancarkan perang besar-besaran terhadap rakyat Sudan.”

“Mereka masuk ke rumah-rumah di Khartoum dan kota-kota lain. Mereka menjarah dan menghancurkan semuanya: rumah sakit, listrik, pasokan air, semua yang menopang kehidupan warga,” ujar Atta.

Dunia “terdiam” karena uang

Atta menyebut bahwa dunia tetap diam terhadap semua aksi RSF di Sudan, meski media sosial dan teknologi memungkinkan kejahatan paramiliter itu terlihat dan dipahami.

“Diamnya dunia ini dibeli dengan kekuatan uang UEA,” tegas Atta.

Dalam pertemuan makan malam dengan wartawan Sudan dan asing di restoran dekat markas militer Omdurman, Atta menyoroti Inggris sebagai bekas kekuatan kolonial yang seharusnya lebih peka terhadap situasi Sudan.

“Kami berharap rakyat Inggris lebih peduli. Mereka dekat dengan komunitas Sudan berdasarkan hubungan sejarah. Mereka memahami warisan, budaya, dan cara hidup kami,” katanya.

Namun ia menambahkan, “Setiap negara mencerminkan kepentingannya sendiri, dan itu bisa dimengerti.”

Atta juga menyoroti peran media Inggris yang dinilainya gagal meliput perang yang telah menewaskan sekitar 150.000 warga Sudan.

“Karena dunia tidak memperhatikan, tentara bayaran diimpor ke negara kami dan UEA dibiarkan melakukannya,” ujar Atta.

Sebelumnya, MEE melaporkan bagaimana UEA mengangkut tentara bayaran Kolombia untuk bergabung dengan RSF melalui pangkalan udara di Somalia. Atta juga menyebut RSF merekrut pejuang dari Ukraina serta negara-negara Afrika seperti Niger, Mali, Chad, dan Sudan Selatan, dan sebelumnya memiliki hubungan dekat dengan kelompok Wagner Rusia.

Riwayat kekerasan RSF

RSF adalah kelanjutan dari milisi Janjaweed, yang digunakan pemerintah Sudan di bawah mantan presiden Omar al-Bashir untuk memerangi pemberontak Darfur 20 tahun lalu. Milisi ini menargetkan komunitas kulit hitam Sudan, yang kemudian disebut sebagai genosida abad ke-21.

Atta menegaskan, jika seseorang berasal dari suku non-Arab atau mendukung SAF, mereka akan dibunuh secara langsung oleh RSF. “Jika ada yang mencoba melarikan diri, RSF akan mengejar dan membunuh mereka di jalan.”

Ia menambahkan bahwa jumlah warga sipil yang dibantai di El-Fasher kini mencapai 32.000, dan korban terus bertambah “berdasarkan etnis dan ras”. Sebelumnya, Gubernur Darfur, Minni Minnawi, menyebut angka 27.000.

“Proyek” Emirati

Atta menuding Presiden UEA, Mohammed bin Zayed, memiliki rencana untuk menyingkirkan suku-suku Afrika dari Sudan. Menurut jenderal tersebut, proyek itu mencakup relokasi besar-besaran dan pembersihan etnis, termasuk pemindahan suku Nubia ke Mesir dan suku Nuba selatan ke Sudan Selatan.

Ia menambahkan bahwa UEA telah membangun rantai komando di Abu Dhabi untuk mengatur logistik, media, dan pasokan senjata bagi RSF di Sudan.

Atta menegaskan bahwa RSF hanyalah alat di tangan UEA. Ia menyebut UEA sebagai “musuh” yang telah merusak atau menghancurkan kawasan Arab dan wilayah lainnya, termasuk Suriah, Irak, Lebanon, dan Yaman.

Sejak gelombang Arab Spring 2011, UEA disebut aktif memperluas pengaruhnya dengan mendukung pemerintah otoriter, melawan penganut demokrasi dan Islam politik, serta mendukung separatis dan milisi di Libya, Somalia, dan Yaman, sehingga memicu instabilitas.

Konflik dan RSF

Konflik di Sudan pecah karena rencana penggabungan RSF ke dalam militer reguler, yang dianggap akan melemahkan Hemedti dan pengaruh UEA. RSF didukung narasi bahwa mereka melawan pemerintahan “Islamis” dari era Bashir, yang ditolak Atta.

Ia menegaskan, sebelum perang dimulai, SAF telah membentuk satu tentara independen tanpa ideologi, dan melakukan pembersihan terhadap 132 perwira Islamis warisan era Bashir, serta pensiun perwira komunis dan Baathist.

Situasi militer dan negosiasi

Atta menyebut jumlah pasukan RSF berkurang dari 100.000 menjadi 23.000 sejak perang dimulai, namun tetap mendapat dukungan langsung UEA. Ia memprediksi kota El-Fasher akan direbut kembali SAF dalam tiga bulan.

Ia menekankan keinginan Sudan untuk solusi damai berbasis keadilan, tetapi menolak setiap perdamaian yang memberi ruang bagi UEA.

Atta juga menuntut agar senjata RSF dikumpulkan di luar kota, jalur aman untuk bantuan kemanusiaan dibuka, dan UEA segera mengambil kembali tentara bayaran mereka. Semua pelaku kejahatan terhadap rakyat Sudan harus diadili, termasuk anggota SAF yang terbukti melakukan kejahatan perang.

Pizaro Idrus
Pizaro Idrus
Kandidat PhD bidang Hubungan Internasional Universitas Sains Malaysia. Peneliti Asia Middle East Center for Research and Dialogue
ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Terpopuler