Sebuah pernyataan yang dikaitkan dengan kantor Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, kembali memicu kontroversi terkait upaya perundingan pertukaran tawanan antara Israel dan Hamas.
Media Israel pada Selasa (20/8/2025) mengutip seorang pejabat politik senior yang menegaskan bahwa Israel tetap menuntut pembebasan seluruh 50 tawanan yang masih ditahan di Gaza.
Pernyataan itu muncul hanya sehari setelah Hamas menyatakan menerima usulan terbaru mediator Qatar dan Mesir, yang mencakup pembebasan 28 tawanan Israel, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal, selama jeda tembak selama 60 hari.
“Israel tidak akan mengubah kebijakan. Prinsipnya jelas: semua tawanan harus dibebaskan. Kami sudah di fase akhir untuk menundukkan Hamas, dan tidak akan meninggalkan siapa pun di belakang,” demikian pernyataan pejabat tersebut, sebagaimana dikutip lembaga penyiaran publik Israel.
Pernyataan yang tidak jelas
Pernyataan samar itu segera memicu kemarahan keluarga tawanan Israel. Dalam pernyataan tertulis, mereka menuding Netanyahu sengaja memunculkan syarat-syarat yang mustahil dipenuhi, demi menggagalkan kesepakatan.
“Netanyahu berbohong. Ia mencoba menutup peluang yang ada. Kami tidak akan membiarkannya mengulanginya kali ini. Ia harus segera mengakhiri perang agar anak-anak kami tidak mati di jebakan kematian,” demikian pernyataan keluarga tawanan.
Mereka juga mengancam akan kembali turun ke jalan untuk menekan pemerintah agar menerima kesepakatan pertukaran.
Dua hari sebelumnya, ribuan orang telah menggelar unjuk rasa besar dan aksi mogok nasional menuntut hal serupa.
Media Israel menilai pernyataan dari kantor Netanyahu itu masih kabur. Surat kabar Yedioth Ahronoth menilai, meski tidak sepenuhnya menutup pintu kesepakatan parsial, pernyataan itu memperlihatkan penolakan Israel terhadap usulan terbaru.
Menurut laporan itu, sejak menerima jawaban Hamas, Netanyahu memang sudah berkonsultasi dengan tim perunding.
Namun, ia belum membawa persoalan itu ke kabinet keamanan yang baru dijadwalkan bersidang pada Kamis.
Tak tertutup kemungkinan, lanjut media tersebut, pernyataan yang menuntut pembebasan seluruh tawanan hanyalah manuver untuk menekan Hamas agar melunak.
Di sisi lain, beberapa orang dekat Netanyahu mengindikasikan bahwa perdana menteri memang lebih menginginkan kesepakatan menyeluruh.
Koresponden Kanal 13 televisi Israel bahkan menyebut bahwa usulan yang diterima Hamas hampir identik dengan apa yang selama tiga pekan terakhir selalu ditekankan Israel.
Karena itu, spekulasi berkembang bahwa sikap Netanyahu sekadar taktik perundingan.
Di dalam negeri, tekanan politik terhadap Netanyahu kian keras. Yair Golan, Ketua Partai Demokrat Israel, menuding pemerintah “menggadaikan masa depan Israel demi membiayai perang tanpa akhir”.
“Anggaran negara terkuras, defisit membengkak miliaran shekel hanya untuk mendanai pendudukan Gaza, bukan untuk mengembalikan para tawanan atau menghentikan perang,” tulis Golan dalam akun resminya di X.
Bola di tangan Israel
Sementara itu, mediator utama, Qatar dan Mesir, menegaskan bahwa bola kini berada di tangan Israel.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri Qatar, Majed al-Ansari, menyebut bahwa usulan yang disepakati Hamas membuka jalan menuju penghentian permanen kekerasan.
“Ini adalah yang terbaik saat ini demi menyelamatkan nyawa warga sipil di Gaza,” ujarnya.
Menteri Luar Negeri Mesir, Badr Abdel Aaty, dalam pernyataan terpisah menegaskan adanya kemajuan signifikan dan upaya intensif untuk menghentikan perang.
Hamas sendiri berulang kali menyatakan kesediaan membebaskan semua tawanan Israel sekaligus, dengan syarat perang diakhiri, tentara Israel angkat kaki dari Gaza, dan ratusan tahanan Palestina dibebaskan.
Akan tetapi, Netanyahu, yang kini juga menghadapi tekanan hukum internasional, tetap memasukkan syarat tambahan seperti pelucutan senjata perlawanan dan pendudukan Kota Gaza.
Sejak 7 Oktober 2023, Israel melancarkan serangan besar-besaran ke Gaza dengan dukungan Amerika Serikat (AS).
Menurut data otoritas setempat, lebih dari 62.000 warga Palestina telah tewas dan lebih dari 156.000 lainnya terluka. Seluruh penduduk Gaza hampir seluruhnya kehilangan tempat tinggal.
Tingkat kehancuran yang terjadi disebut para pengamat sebagai yang terburuk sejak Perang Dunia II.
Selain itu, sebanyak 266 warga Palestina dilaporkan meninggal akibat kelaparan, termasuk 112 anak-anak.