Friday, June 13, 2025
HomeBeritaLaporan: Prancis terus suplai senjata ke Israel

Laporan: Prancis terus suplai senjata ke Israel

Sebuah laporan terbaru menuding Prancis secara “teratur dan terus-menerus” mengirimkan perlengkapan militer ke Israel sejak pecahnya perang di Jalur Gaza pada Oktober 2023.

Laporan tersebut dirilis Selasa (10/6/2025) oleh jaringan aktivis Progressive International bersama sejumlah LSM, termasuk Palestinian Youth Movement, French Jewish Union for Peace, BDS France, dan Stop Arming Israel France.

Berdasarkan temuan mereka, pengiriman senjata berlangsung tanpa henti, baik melalui jalur laut maupun udara.

Data yang dikumpulkan menunjukkan bahwa Prancis telah memasok lebih dari 15 juta unit perlengkapan tempur.

Hal itu meliputi bom, granat, torpedo, ranjau, misil, dan berbagai amunisi perang — dengan nilai lebih dari 8 juta dollar Amerika Serikat (AS).

Selain itu, ada pula 1.868 unit suku cadang dan aksesori untuk peluncur roket, granat, penyembur api, artileri, senapan militer, dan senapan berburu senilai lebih dari 2 juta dollar AS.

Laporan ini disusun berdasarkan data dari Otoritas Pajak Israel, yang kemudian dibandingkan dengan data ekspor resmi dari Prancis.

Hasilnya menunjukkan sedikitnya 14 penerbangan kargo dan 16 pengiriman laut ke pelabuhan Haifa dan Ashdod di Israel, yang diduga kuat membawa peralatan militer buatan Prancis.

Dalam konferensi pers di Majelis Nasional Prancis, Koordinator Progressive International David Adler menyebut temuan ini sebagai bukti nyata kemunafikan dalam kebijakan luar negeri Presiden Emmanuel Macron.

Ia juga menyebut bahwa pelanggaran terus-menerus terhadap hukum humaniter internasional.

“Di balik retorika kosong soal pembebasan Palestina dan citra Prancis sebagai penjunjung hak asasi manusia, laporan ini mengungkap apa yang sejak lama dicurigai banyak kalangan: bahwa Prancis memainkan peran sentral dalam aliran senjata ke Israel. Bukan untuk pertahanan diri, melainkan untuk menyerang warga Gaza dan wilayah pendudukan di Tepi Barat,” kata Adler.

Laporan itu juga mengidentifikasi adanya pengiriman komponen pesawat tempur F-35, sistem artileri, dan amunisi senapan mesin.

Jenis senjata yang dilaporkan telah digunakan dalam serangan terhadap warga Palestina, termasuk mereka yang tengah berusaha mengakses bantuan kemanusiaan.

Meski begitu, penulis laporan mengakui bahwa cakupan studi ini masih terbatas. Sebagai contoh, komponen drone buatan perusahaan Prancis, Thales, belum termasuk dalam data.

“Data dalam laporan ini hanya menggambarkan sebagian kecil dari keterlibatan Prancis dalam pendudukan, penghancuran, dan genosida terhadap rakyat Palestina,” ujar Adler.

Sejak perang dimulai, lebih dari 55.000 warga Palestina dilaporkan tewas akibat serangan militer Israel di Gaza.

Sejumlah negara dan lembaga hak asasi internasional kini menyebut eskalasi kekerasan itu sebagai bentuk “genosida”.

Menurut Adler, sebagian besar kerja sama militer Prancis dengan Israel tetap berada di luar jangkauan publik dan parlemen, termasuk lisensi rahasia dan operasi terselubung.

“Kami menuntut akuntabilitas, transparansi, dan penyelidikan parlemen secara menyeluruh atas peran Prancis dalam membantu dan mempersenjatai Israel di tengah pemboman, pembunuhan, dan pengepungan terhadap rakyat Gaza serta pendudukan di Tepi Barat,” tegasnya.

Standar ganda

Tuduhan terhadap Prancis terkait suplai senjata ke Israel semakin menguat setelah laporan terbaru dari jaringan Progressive International.

Laporan itu datang sepekan setelah media investigasi Disclose mengungkap bahwa Prancis tengah bersiap mengirim perlengkapan senapan mesin ke Israel.

Temuan ini menimbulkan pertanyaan serius mengenai konsistensi kebijakan luar negeri Prancis terhadap konflik Gaza.

Menurut Disclose, sebuah kapal kargo Israel berhenti di Pelabuhan Fos-sur-Mer, dekat Marseille, Kamis lalu, untuk memuat 19 palet berisi beberapa ton suku cadang senapan mesin.

Komponen tersebut, yang dikenal sebagai links, merupakan potongan logam kecil yang menghubungkan peluru dan memungkinkan tembakan otomatis dalam jumlah besar.

Media dan kelompok hak asasi menilai suku cadang ini berpotensi digunakan dalam serangan terhadap warga sipil di Jalur Gaza.

Operasi ini, menurut laporan Disclose, disetujui oleh pemerintah Prancis dan dilakukan secara tertutup. Hal ini memicu kecaman dari berbagai kalangan.

Presiden Amnesty International Prancis, Anne Savinel-Barras, menyatakan bahwa pengiriman tersebut berlangsung secara tidak transparan dan bertentangan sepenuhnya dengan pernyataan Presiden Emmanuel Macron yang sebelumnya mengaku ngeri atas situasi kemanusiaan di Gaza.

“Senjata ini dapat digunakan untuk melakukan kejahatan berat di bawah hukum internasional, baik di Gaza maupun di Tepi Barat,” ujar Savinel-Barras.

Ia menyerukan agar Prancis segera menghentikan praktik “standar ganda” dan menerapkan embargo total atas seluruh pengiriman senjata ke Israel.

“Jika Prancis terus memberi izin atas pengiriman material perang ke Israel, maka Prancis turut memperkuat genosida ini,” katanya.

Menurut Disclose, pengiriman serupa dari Fos-sur-Mer ke pelabuhan Haifa juga terjadi pada 3 April dan 22 Mei lalu.

Menteri Pertahanan Prancis Sébastien Lecornu kala itu menyatakan bahwa komponen yang diekspor oleh perusahaan Eurolink asal Marseille tidak dimaksudkan untuk digunakan langsung oleh militer Israel, melainkan untuk “diekspor ulang” melalui Israel.

Namun, klaim tersebut dipertanyakan publik, apalagi setelah para buruh pelabuhan di Fos-sur-Mer memblokir pengiriman sebagai bentuk protes.

Menanggapi aksi tersebut, Lecornu kembali menegaskan bahwa Prancis “tidak menjual senjata ke Israel.”

Ia menyatakan bahwa yang dikirim hanyalah “komponen” untuk sistem pertahanan Iron Dome atau barang yang akan mengalami proses industri di Israel sebelum diekspor kembali, bahkan kadang ke Prancis sendiri.

“Semua proses ini berada di bawah pengawasan,” ujarnya.

Ia tidak menjelaskan lebih lanjut soal pengawasan seperti apa yang diterapkan dalam konteks perang yang telah menewaskan puluhan ribu warga sipil Palestina.

Ketidaksesuaian antara pernyataan resmi pemerintah dan data di lapangan memicu kekhawatiran bahwa Prancis sedang bermain dalam wilayah abu-abu kebijakan luar negeri.

Di satu sisi, tampil sebagai pembela hak asasi manusia dan menyerukan gencatan senjata; di sisi lain, diduga kuat tetap memasok senjata ke pihak yang dituding melakukan pelanggaran HAM berat.

Minim Akuntabilitas

Polemik ekspor senjata Prancis ke Israel kian menyoroti lemahnya akuntabilitas dan pengawasan publik terhadap kebijakan militer negara tersebut.

Para ahli, termasuk penyusun laporan terbaru yang dirilis Selasa (10/6/2025), menyatakan bahwa mustahil untuk memastikan apakah perlengkapan militer yang dijual Prancis benar-benar digunakan oleh militer Israel, termasuk dalam operasi di Gaza.

Di Prancis, urusan militer sepenuhnya berada di bawah kendali eksekutif. Proses pengiriman senjata dilindungi oleh kerahasiaan negara, yang membuat parlemen hampir tidak memiliki ruang untuk mengontrol atau mengevaluasi keputusan pemerintah.

Dalam konferensi pers peluncuran laporan di Majelis Nasional, Bastien Lachaud, anggota parlemen dari partai kiri La France Insoumise dan anggota Komisi Pertahanan, mengaku partainya telah berulang kali mempertanyakan pemerintah soal ekspor senjata ke Israel, tetapi tidak pernah mendapatkan jawaban memuaskan.

“Tidak ada jaminan dan tidak ada tindak lanjut terhadap klaim bahwa senjata yang dirakit di Israel akan diekspor ulang. Begitu pula, komponen yang disebutkan dalam laporan ini tidak digunakan dalam sistem Iron Dome,” ujar Lachaud.

Ia menekankan bahwa Prancis adalah negara penandatangan Arms Trade Treaty (ATT), perjanjian internasional yang menetapkan standar ketat untuk perdagangan senjata.

“Sebenarnya tidak perlu ada perdebatan soal jenis atau jumlah senjata. Perjanjiannya jelas: jika ada risiko terjadinya kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan, atau genosida, maka pengiriman senjata harus dihentikan segera. Hal itu tidak terjadi di sini,” katanya.

Lachaud juga menyoroti bahwa tidak ada satu pun perusahaan di Prancis yang dapat mengekspor senjata ke Israel tanpa “izin khusus dan rinci” dari Perdana Menteri dan pemerintah.

Namun, ia menyesalkan bahwa parlemen “sama sekali tidak diberi kewenangan” untuk mengawasi kebijakan tersebut.

Di tengah meningkatnya sorotan publik terhadap peran Prancis dalam konflik Gaza, pengadilan Prancis pada hari yang sama menolak gugatan sejumlah LSM.

Mereka meminta pelarangan partisipasi perusahaan-perusahaan Israel dalam ajang Paris Air Show yang akan digelar 16–22 Juni di Le Bourget, dekat Paris.

LSM penggugat berpendapat bahwa keikutsertaan Israel berpotensi memperkuat kejahatan internasional yang tengah berlangsung.

Namun, menurut pengadilan, permintaan itu menuntut “analisis hukum dan politik yang mendalam dan berkaitan erat dengan hubungan internasional Prancis,” sebuah kapasitas yang tidak dimiliki oleh penyelenggara pameran, SIAE.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular