Penyelenggara pameran persenjataan NEDS (Netherlands Defense and Security Exhibition) di Rotterdam memutuskan untuk tidak mengizinkan partisipasi perusahaan pertahanan asal Israel dalam acara tahun ini. Keputusan tersebut diambil karena kekhawatiran terhadap keamanan dan potensi kerusuhan sosial yang terkait dengan situasi konflik di Gaza.
Hans Huigen, Direktur Yayasan Industri Pertahanan dan Keamanan Belanda selaku penyelenggara, menyatakan kepada penyiar publik NOS bahwa terdapat empat perusahaan Israel yang mengajukan permohonan untuk membuka stan pameran, namun seluruhnya ditolak.
“Kondisi di Gaza saat ini memburuk hingga memicu keresahan sosial secara global, termasuk di Eropa dan Belanda,” ujar Huigen. “Kami telah menyampaikan kepada mereka bahwa kami khawatir penyelenggaraan pameran tidak akan berlangsung aman jika mereka berpartisipasi.”
Ia menegaskan bahwa keputusan tersebut tidak didasari pada penolakan terhadap negara Israel, melainkan semata-mata pertimbangan keamanan.
“Kami tidak dalam posisi untuk mengambil sikap politik, namun kami mendengarkan dan memperhatikan dinamika sosial dan politik yang berkembang terkait isu ini,” kata Huigen.
Langkah ini diambil seiring dengan upaya pemerintah Belanda yang mendorong Uni Eropa untuk menangguhkan sebagian kerja sama perjanjian asosiasi dengan Israel.
Huigen menambahkan, mengizinkan perusahaan Israel berpameran di saat pemerintah mendorong sanksi terhadap negara tersebut akan menimbulkan kontradiksi.
Dalam beberapa tahun terakhir, perusahaan Israel secara rutin ikut serta dalam pameran pertahanan di Ahoy Rotterdam. Namun, kehadiran mereka kerap memicu protes. Tahun lalu, demonstrasi bahkan berujung bentrokan dengan polisi, kerusakan fasilitas, dan penangkapan sejumlah peserta aksi.
Huigen mengungkapkan bahwa pada tahun lalu pihaknya harus meningkatkan sistem keamanan secara besar-besaran, dan memperkirakan risiko gangguan lebih besar akan terjadi tahun ini.
Yayasan Industri Pertahanan dan Keamanan Belanda juga menegaskan bahwa keputusan ini diambil secara mandiri dan tidak atas permintaan pemerintah, meskipun pihak berwenang telah diberi informasi sebelumnya.
Sejak Oktober 2023, lebih dari 62.100 warga Palestina dilaporkan tewas dalam serangan militer Israel di Jalur Gaza. Wilayah tersebut kini menghadapi kehancuran luas dan ancaman kelaparan.