Lebih dari 2,2 juta warga Suriah—termasuk pengungsi internal dan pengungsi yang kembali dari luar negeri—telah kembali ke tanah air dalam beberapa bulan terakhir. Hal ini disampaikan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada Senin (29/7), seraya menyerukan agar komunitas internasional meningkatkan dukungan untuk upaya pemulihan dan rekonstruksi di negara yang dilanda perang tersebut.
“Per pertengahan Juli, lebih dari 1,5 juta orang yang sebelumnya mengungsi di dalam negeri telah kembali ke daerah asal mereka, disusul sekitar 700.000 pengungsi dari luar negeri,” kata Edem Wosornu, Direktur Operasi dan Advokasi di Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan PBB (OCHA), dalam pengarahan kepada Dewan Keamanan atas nama Tom Fletcher, Kepala Kemanusiaan PBB.
Wosornu menyambut baik pelonggaran sejumlah sanksi sepihak, bantuan hibah dari Bank Dunia untuk sektor kelistrikan Suriah, serta meningkatnya investasi regional. Namun, ia mengingatkan bahwa arus kepulangan ini menambah tekanan terhadap layanan publik yang sudah rapuh, seperti layanan kesehatan, pendidikan, dan air bersih.
Ia menyerukan kepada masyarakat internasional untuk “menggerakkan sumber daya bagi pembangunan dan rekonstruksi Suriah,” dan mendorong pergeseran dari bantuan kemanusiaan menuju tahap pemulihan.
“Investasi ini akan sangat krusial untuk mendukung jumlah warga yang kembali ke kampung halaman mereka yang terus bertambah,” ujarnya.
Utusan Khusus PBB untuk Suriah, Geir O. Pedersen, juga menyampaikan laporan mengenai perkembangan situasi di Suriah kepada Dewan Keamanan. Ia menyatakan bahwa gencatan senjata yang diumumkan pada 19 Juli di Sweida “sejauh ini relatif bertahan” setelah pasukan Badui mundur dan unit keamanan kembali dikerahkan di pinggiran wilayah tersebut. Meski begitu, situasi dinilai masih “tegang dan rawan.”
“Saya mengecam keras pelanggaran terhadap warga sipil dan kombatan di Sweida. Saya juga mengecam intervensi dan serangan udara Israel yang berbahaya di Sweida dan Damaskus,” tutur Pedersen, sambil mendesak semua pihak mematuhi hukum humaniter internasional.
Sementara itu, di wilayah timur laut Suriah, Pedersen menyinggung kesulitan implementasi kesepakatan 10 Maret antara pemerintah di Damaskus dan Pasukan Demokratik Suriah (SDF) yang dipimpin kelompok YPG/PKK.
“Kami terus berkomunikasi dengan kedua pihak tentang pentingnya saling memberi kompromi demi kemajuan implementasi kesepakatan tersebut sebelum akhir tahun,” katanya.
Sejak penggulingan rezim Bashar al-Assad pada akhir 2024, pemerintahan baru Suriah telah meluncurkan berbagai reformasi ekonomi dan politik, serta memperkuat kerja sama dengan negara-negara di kawasan dan mitra internasional.
Assad, yang memimpin Suriah hampir 25 tahun, melarikan diri ke Rusia pada Desember lalu, mengakhiri kekuasaan Partai Baath yang telah berlangsung sejak 1963. Sebuah pemerintahan transisi di bawah kepemimpinan Presiden Ahmad al-Sharaa dibentuk pada Januari.