Direktur Kantor Media Pemerintah di Gaza, Ismail al-Thawabta, menegaskan bahwa kondisi hidup di Jalur Gaza masih sangat sulit, meski kesepakatan gencatan senjata sebagian mulai berlaku sejak pekan lalu.
Dalam pernyataannya kepada Al Jazeera Net, al-Thawabta menjelaskan bahwa truk-truk pertama yang membawa bantuan kemanusiaan mulai memasuki wilayah Gaza pada Minggu (12/10).
Proses distribusi bantuan akan dilakukan oleh lembaga serta komite masyarakat yang telah lama bekerja di sektor tersebut.
Menurutnya, Gaza kini menghadapi “kelangkaan ekstrem” dalam hal bahan makanan, air layak minum, dan obat-obatan.
Ia menambahkan, lebih dari 90 persen infrastruktur sipil di wilayah itu hancur, sementara sekitar dua juta warga mengalami pengungsian paksa.
“Pemerintah setempat bekerja dengan seluruh kapasitas yang tersisa untuk menjamin batas minimum kebutuhan hidup melalui rencana darurat dan pemulihan,” ujarnya.
Kesepakatan gencatan senjata antara Israel dan Hamas yang dicapai pekan lalu membawa jeda sementara dalam serangan udara dan artileri.
Selain itu juga memberikan kesempatan sekilas bagi warga Gaza untuk “menarik napas” setelah dua tahun perang yang disebut al-Thawabta sebagai “pemusnahan total terhadap kehidupan sipil.”
Kehidupan yang nyaris lumpuh
Dua tahun setelah serangan besar-besaran Israel, penduduk Gaza kini hidup dalam kondisi serba kekurangan.
Kelangkaan pangan, air bersih, dan obat-obatan membuat kebutuhan dasar menjadi perjuangan harian.
Al-Thawabta menekankan bahwa otoritas pemerintahan di Gaza terus berupaya menyediakan kebutuhan minimum, sambil melaksanakan rencana tanggap darurat dan program pemulihan.
Tujuannya, guna menjaga martabat warga dan meringankan penderitaan mereka di tengah situasi luar biasa yang ditimbulkan oleh agresi berkepanjangan.
Namun, meski ada upaya pemerintah dan bantuan internasional yang mulai berdatangan, kehidupan sehari-hari warga Gaza masih menggantung antara harapan untuk kembali ke kehidupan normal dan kenyataan pahit kehancuran.
Sektor kesehatan tetap lumpuh: 38 rumah sakit tidak lagi beroperasi, sementara dinas pertahanan sipil kehilangan 140 personelnya dan puluhan markas serta kendaraan hancur.
Kembali ke Gaza Utara
Mengenai arus warga yang mulai kembali ke wilayah utara, al-Thawabta menjelaskan bahwa proses itu berjalan perlahan dan dengan kewaspadaan tinggi, di bawah pengawasan langsung pemerintah demi keselamatan warga.
“Wilayah utara masih hancur total, tanpa listrik, air, maupun layanan kesehatan,” ujarnya.
Meski begitu, tim-tim lapangan pemerintah terus bekerja untuk membuka jalur-jalur aman, menyalurkan bantuan darurat, dan mengaktifkan kembali sejumlah pusat layanan dasar dalam kapasitas terbatas.
Prioritas utama, kata al-Thawabta, adalah membersihkan reruntuhan, menyediakan titik-titik air dan pangan, serta tempat penampungan sementara bagi warga yang kembali, sebagai bagian dari rencana pemulihan bertahap di tengah keterbatasan sumber daya.
“Semua ini dilakukan dalam kerangka pengaturan keamanan yang ketat untuk menjaga ketertiban dan mencegah pelanggaran, sambil melanjutkan upaya menstabilkan kondisi di wilayah yang paling terdampak,” katanya menegaskan.
Sejak 7 Oktober 2023, serangan besar-besaran Israel telah menghancurkan sebagian besar Jalur Gaza, meratakan lebih dari 90 persen infrastrukturnya, dan memaksa hampir seluruh penduduknya mengungsi lebih dari satu kali.
Serangan itu juga menewaskan, melukai, dan menyebabkan hilangnya ratusan ribu warga Palestina — meninggalkan luka kemanusiaan yang dalam dan wilayah yang hampir mustahil dikenali.