Pertemuan antara Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump dan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu di Gedung Putih berlangsung bak sebuah parade kemenangan.
Dalam jamuan makan malam pribadi di Blue Room, keduanya saling mengangkat gelas, merayakan apa yang mereka sebut sebagai pencapaian bersama.
Yaitu, Iran telah “dijinakkan”, masa depan Gaza tengah “direkayasa”, dan kemitraan mereka kembali selaras seperti dulu.
Media menyebutnya “jamuan kemenangan”, sementara lainnya menyebut pertemuan itu sebagai “pertunjukan cinta yang memuakkan”.
Apa pun sebutannya, satu hal pasti: rakyat Timur Tengah tak diundang ke meja pembicaraan.
Berikut lima poin penting dari pertemuan yang mungkin menentukan arah kawasan — tanpa melibatkan suara mereka yang terdampak langsung.
Gencatan senjata Gaza atau pemindahan paksa?
Di tengah negosiasi gencatan senjata 60 hari antara Israel dan Hamas yang sedang berlangsung di Doha, Trump dan Netanyahu tampak berbicara tentang sesuatu yang jauh lebih radikal—penghapusan total keberadaan warga Palestina dari Gaza.
Netanyahu menggambarkan Jalur Gaza sebagai tempat yang seharusnya bukan penjara dan menawarkan gagasan tentang “pilihan bebas” bagi warga sipil untuk meninggalkan wilayah itu.
Trump, dalam nada yang tak kalah kontroversial, kembali mengutarakan visinya menjadikan Gaza “Riviera Timur Tengah”.
Sebuah retorika yang oleh banyak pengamat dibaca sebagai dukungan terhadap pemindahan penduduk Palestina secara paksa dengan melibatkan negara-negara tetangga.
Namun, saat makan malam berlangsung, Netanyahu mendapat kabar tentang serangan mendadak Hamas di Beit Hanoun yang menewaskan lima tentara Israel.
Pengingat bahwa kelompok-kelompok perlawanan Palestina masih aktif dan belum menyerah.
Gagasan bahwa masa depan Gaza bisa ditentukan sepenuhnya dari Washington tampak masih jauh dari kenyataan.
Lebanon dalam sasaran pembicaraan
Isu Hizbullah menempati posisi penting dalam agenda pertemuan. AS dikabarkan mengusulkan rencana perlucutan senjata kelompok yang didukung Iran itu.
Sebuah tuntutan yang telah lama diajukan Israel menyusul ketegangan yang meningkat di perbatasan utara.
Namun, Hizbullah secara tegas menolak usulan tersebut dan menegaskan kembali komitmennya untuk melawan agresi Israel.
Diskusi tentang stabilitas Lebanon, masa depan pasukan penjaga perdamaian PBB (UNIFIL), dan potensi tekanan AS terhadap Beirut berlangsung di balik layar, terutama karena Israel berupaya menghindari konflik dua front sambil tetap mempertahankan dominasi militernya.
Normalisasi Suriah secara diam-diam
Trump dan Netanyahu juga membahas langkah-langkah menuju normalisasi dengan Suriah, khususnya pasca-Bashar al-Assad atau setidaknya setelah narasi resmi tentang rekonsiliasi Suriah dengan kawasan mulai menguat.
Trump bahkan memuji presiden baru Suriah, Ahmad al-Sharaa, dan menyebutnya “impresif” setelah melakukan pertemuan pribadi.
AS pun dikabarkan telah mencabut sanksi terhadap Damaskus, dan Israel mulai menjalin komunikasi langsung dengan otoritas Suriah.
Namun, di saat yang sama, Israel masih menduduki wilayah Suriah di Dataran Tinggi Golan.
Diskusi ini memberi isyarat bahwa “tatanan pascaperang” di Suriah akan terbentuk bukan berdasarkan konsensus regional, tetapi sesuai kepentingan AS dan Israel.
Iran: Parade kemenangan sementara
Topik paling membanggakan malam itu adalah Iran. Serangan bersama AS-Israel terhadap infrastruktur nuklir Iran dipuji sebagai manuver strategis kelas tinggi.
Trump menyebut operasi tersebut sukses besar, dan Netanyahu mengklaim program nuklir Iran “mundur bertahun-tahun”.
Namun, tak satu pun dari keduanya membahas konsekuensi yang lebih luas: potensi eskalasi regional, ancaman serangan balasan, atau preferensi Israel terhadap perubahan rezim di Teheran.
Untuk saat ini, nada yang diusung adalah kemenangan, dengan pesan simbolik bahwa Teheran dan kawasan harus “menerima sinyal” dari kekuatan AS-Israel.
Kekaguman timbal balik dan lobi hadiah nobel
Dalam momen simbolis, Netanyahu secara resmi mencalonkan Trump untuk menerima Hadiah Nobel Perdamaian.
Ia memuji perannya dalam Abraham Accords serta “upaya perdamaian” yang masih berlangsung.
Trump, yang tampak senang, menegaskan kembali dukungan penuhnya untuk Israel—baik dalam bentuk bantuan militer maupun perlindungan diplomatik.
Namun, tak satu pun dari mereka menyebut pembentukan negara Palestina. Netanyahu secara terang-terangan menolak gagasan negara berdaulat Palestina.
Sebaliknya, ia menyebut bahwa Gaza mungkin akan dikelola oleh “kekuatan lokal baru” dengan pengawasan Israel, sementara Otoritas Palestina dikesampingkan sepenuhnya.
“Israel akan tetap memegang kendali keamanan atas Palestina—selamanya,” ujarnya.