Friday, October 3, 2025
HomeBeritaMajalah Israel: Sejarah Gaza sedang dihapus

Majalah Israel: Sejarah Gaza sedang dihapus

Serangan Israel di Jalur Gaza bukan hanya menghancurkan kehidupan warganya, melainkan juga mengancam lenyapnya jejak sejarah kota yang berusia ribuan tahun.

Majalah daring Israel, +972 Magazine, dalam laporannya menegaskan bahwa militer Israel kini “bekerja untuk menghapus sisa-sisa terakhir dari sejarah Gaza,” melalui penghancuran sistematis kawasan perkampungan di utara wilayah itu.

Laporan yang ditulis jurnalis Bakr Zoubi menggambarkan eksodus massal warga dari Kota Gaza dalam beberapa pekan terakhir.

Ratusan ribu orang meninggalkan rumah mereka, sebagian membayar hingga 5.000 dolar AS demi bisa keluar. Namun, tidak sedikit yang memilih bertahan.

“Mereka sadar, pengungsian ke kamp-kamp tenda di selatan tidak akan memberi rasa aman atau martabat. Lebih baik mati di rumah sendiri ketimbang mati di tenda pengungsian,” tulis Zoubi.

Menurutnya, penghancuran kota ini mengikuti pola serupa yang dilakukan Israel di Rafah, Jabalia, Beit Hanoun, Beit Lahiya, dan sebagian besar Khan Younis.

“Itu bukan sekadar perang, melainkan penghapusan sejarah—ribuan tahun warisan Palestina dan Arab digilas rata,” ujarnya.

Zoubi mengingatkan bahwa Gaza bukan kota sembarangan. Dalam Kitab Kejadian, ia disebut sebagai kota bangsa Kanaan.

Sepanjang sejarah, Gaza pernah menjadi pusat perdagangan penting, benteng perlawanan, sekaligus simbol identitas Palestina. Kota itu juga mengalami silih berganti penjajahan: dari Asyur, Babilonia, Romawi, hingga Kesultanan Ottoman.

Sejarawan Palestina, Arif al-Arif, dalam buku klasiknya Tarikh Ghazza (1943), pernah menulis bahwa Gaza “bukanlah hasil dari satu abad tertentu, tetapi buah dari seluruh generasi sejak awal sejarah hingga hari ini.”

Sebelum Nakba 1948, Gaza adalah pusat administratif kawasan yang mencakup Al-Majdal, Asqalan (kini Ashkelon), dan Ashdod—kota-kota yang kemudian diubah menjadi permukiman modern Israel.

Sejak 1950-an, Gaza juga dikenal sebagai tempat lahir gerakan perlawanan Palestina dan, setelah Perjanjian Oslo, menjadi lokasi awal lembaga-lembaga pemerintahan nasional Palestina.

Selain identitas politik, Gaza juga menyimpan warisan keagamaan penting. Kota itu dikenal sebagai “Ghazza Hasyim”, merujuk pada Hasyim bin Abd Manaf—kakek Nabi Muhammad SAW—yang dimakamkan di Masjid Sayyid Hasyim.

Bangunan masjid itu kini rusak berat akibat serangan udara.

Situs lain yang kini terancam antara lain Masjid Agung al-Umari, dibangun sejak abad ke-7 dan pernah menjadi pusat kajian Imam Syafi’i.

Gereja Santo Porphyrius dari abad ke-5—salah satu gereja tertua di dunia—serta Gereja Keluarga Kudus dari era 1960-an, juga menghadapi ancaman serupa.

Upaya pelestarian pun tidak luput dari kehancuran. Gedung al-Kawthar berlantai 13 yang menyimpan ribuan artefak arkeologis, termasuk dari reruntuhan Biara Santo Hilarion, hancur akibat serangan udara meski sempat ada intervensi dari Prancis dan UNESCO.

Menurut UNESCO, lebih dari 100 situs bersejarah, religius, dan budaya di Gaza telah rusak parah dalam dua tahun terakhir.

Majalah +972 memperingatkan, jika penghancuran terus berlanjut, Gaza bukan hanya kehilangan manusianya, tetapi juga jati diri historisnya.

Pertanyaan yang muncul: apa yang tersisa dari kota yang pernah menjadi simpul penting dalam sejarah peradaban ini, ketika bom dan rudal terus meratakan masjid, gereja, museum, dan situs warisan dunia?

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Terpopuler