Majelis Fatwa Tertinggi Palestina, Minggu (28/12), menyatakan penolakan tegas terhadap rancangan undang-undang baru Israel.
Undang-undang itu bertujuan melarang pengumandangan azan melalui pengeras suara di masjid-masjid yang berada di wilayah Palestina terjajah.
Rancangan tersebut dinilai sebagai bentuk serangan langsung terhadap kebebasan beribadah, serta tindakan diskriminatif yang melanggar hukum internasional dan norma-norma kemanusiaan serta keagamaan.
Penolakan ini disampaikan menyusul pengumuman Partai Otzma Yehudit (Kekuatan Yahudi), partai sayap kanan ekstrem yang dipimpin Menteri Keamanan Nasional Israel Itamar Ben Gvir.
Pengumuman itu mengenai dorongan terhadap inisiatif legislasi baru untuk melarang penggunaan pengeras suara di masjid-masjid dalam wilayah yang dikenal sebagai “garis hijau”.
Mengutip laporan Channel 14 Israel, rancangan undang-undang tersebut menyatakan bahwa “tidak boleh dipasang atau dioperasikan sistem pengeras suara apa pun di masjid tanpa izin sebelumnya”.
Aturan itu disertai dengan pengawasan ketat serta penerapan denda finansial yang besar bagi pihak yang melanggar.
Dinilai bernuansa rasis
Dalam pernyataan kerasnya, Majelis Fatwa Palestina menyebut rancangan undang-undang yang akan diajukan ke Knesset itu sebagai kebijakan “rasis” yang bertentangan dengan hukum, norma sosial, dan ajaran agama samawi.
Majelis menegaskan bahwa kebijakan tersebut tidak hanya menargetkan masjid secara umum, tetapi juga secara khusus Masjid Al-Aqsa di Yerusalem dan Masjid Ibrahimi di Hebron.
Langkah ini disebut sebagai bagian dari kejahatan baru dalam rangkaian kebijakan penindasan dan represif Israel, serta campur tangan terang-terangan dalam urusan ibadah dan pelanggaran terhadap ritual keagamaan di seluruh wilayah Palestina.
Menurut Majelis Fatwa, rancangan undang-undang itu merupakan mata rantai terbaru dari serangkaian pelanggaran yang dilakukan otoritas pendudukan Israel dan para pemukim ekstremis terhadap situs-situs suci Islam.
Pernyataan tersebut juga menyinggung tindakan para pemukim yang digambarkan melakukan perusakan di berbagai wilayah Palestina, termasuk pembakaran dan penodaan masjid.
Majelis menekankan bahwa “seruan yang dikumandangkan dari menara-menara masjid tidak akan pernah bisa dibungkam, betapapun otoritas pendudukan berupaya menjatuhkan denda dan hukuman”.
Azan, menurut mereka, merupakan bagian tak terpisahkan dari akidah dan keimanan umat Islam, serta tradisi keagamaan yang telah diwariskan lintas generasi.
Bukan sekadar gangguan kebisingan sebagaimana dituduhkan pihak Israel.
Lebih lanjut, Majelis menyebut cara berpikir otoritas Israel sebagai “menyimpang dan mandek”.
Menurut mereka bertujuan menghapus jejak sejarah Islam dan memaksakan karakter Yahudisasi yang dipalsukan atas kawasan tersebut.
Kebijakan semacam ini, Majelis memperingatkan, berpotensi memicu konflik keagamaan yang lebih luas di kawasan.
Majelis Fatwa Palestina pun menyerukan kepada masyarakat internasional agar segera turun tangan menghentikan berbagai pelanggaran terhadap masjid-masjid di seluruh wilayah Palestina, serta mencegah campur tangan Israel dalam praktik ibadah umat Islam.
Kebebasan menjalankan ritual keagamaan, tegas mereka, merupakan hak fundamental umat Islam di Palestina dan di seluruh dunia.
Isi rancangan undang-undang
Di sisi lain, Channel 7 Israel mengutip pernyataan Ben Gvir yang menyebut bahwa “suara azan di banyak tempat merupakan kebisingan yang tidak masuk akal dan merusak kualitas hidup serta kesehatan warga Yahudi”.
Ia menilai praktik tersebut sebagai sesuatu yang “tidak dapat diterima”.
Ben Gvir menegaskan bahwa kepolisian Israel akan bertindak tegas dalam menegakkan undang-undang tersebut apabila disahkan.
Sementara itu, harian Israel Hayom melaporkan bahwa rancangan undang-undang itu mengusulkan denda sebesar 50.000 shekel Israel (sekitar 15.700 dolar AS) bagi pihak yang memasang atau mengoperasikan pengeras suara tanpa izin.
Adapun pelanggaran terhadap ketentuan izin yang telah diberikan akan dikenai denda 10.000 shekel (sekitar 3.140 dolar AS).
Upaya pembatasan azan sejatinya bukan hal baru. Pada Maret 2017, Knesset Israel telah menyetujui pembacaan pendahuluan atas rancangan undang-undang serupa.
Undang-undang itu diajukan kelompok sayap kanan ekstrem untuk melarang azan pada malam hari di masjid-masjid Yerusalem Timur dan kota-kota Arab di dalam wilayah “garis hijau”.
Namun, rancangan tersebut tidak pernah disahkan secara final setelah memicu gelombang protes luas di berbagai kota dan permukiman Arab, sebagaimana dilaporkan The Times of Israel.


