Monday, May 19, 2025
HomeBaitul MaqdisMasjid Umar bin Khattab, jejak sejarah Islam di jantung kota tua Yerusalem

Masjid Umar bin Khattab, jejak sejarah Islam di jantung kota tua Yerusalem

Di tengah riuhnya jalanan sempit Kota Tua Yerusalem, tak jauh dari gereja paling suci bagi umat Kristiani—Gereja Makam Kudus—berdiri tegak sebuah bangunan bersahaja namun sarat makna: Masjid Umar bin Khattab.

Masjid ini tak hanya menjadi tempat ibadah umat Islam, tetapi juga saksi sejarah penaklukan Yerusalem oleh kaum Muslimin serta simbol hidupnya toleransi agama di jantung kota suci.

Masjid ini tercatat dalam daftar warisan dunia UNESCO sejak 1981 sebagai bagian dari kekayaan sejarah dan budaya Kota Tua Yerusalem dan tembok-tembok tuanya.

Letaknya yang menempel dengan kawasan Kristen memperkuat statusnya sebagai simbol harmoni antarumat beragama yang telah berlangsung berabad-abad.

Penamaan: Jejak sang khalifah

Nama masjid ini merujuk pada Khalifah kedua umat Islam, Umar bin Khattab, yang mengunjungi Yerusalem pada tahun 15 Hijriah (636 Masehi).

Kunjungan itu pasca kemenangan pasukan Muslim di bawah komando Abu Ubaidah bin Al-Jarrah atas pasukan Romawi dalam Perang Yarmuk.

Dikisahkan, ketika ditawari untuk salat di dalam Gereja Makam Kudus oleh pemuka gereja, Umar menolak demi menjaga tempat itu tetap sebagai rumah ibadah Kristen.

Ia lalu membentangkan jubahnya dan salat di halaman luar gereja, di tempat yang kemudian menjadi lokasi masjid ini.

Pembangunan masjid dalam bentuknya sekarang baru dilakukan pada masa Dinasti Ayyubiyah, tepatnya tahun 589 H/1193 M oleh Raja Al-Afdhal bin Salahuddin Al-Ayyubi, putra sang penakluk legendaris, Salahuddin.

Sejak saat itu, masjid ini terus dirawat dan dipertahankan bentuk aslinya oleh otoritas Waqaf Islam, sebagai monumen hidup penaklukan Islam atas Yerusalem.

Arsitektur Ayyubiyah dan nuansa kesederhanaan

Secara arsitektural, Masjid Umar bin Khattab mencerminkan gaya bangunan Ayyubiyah klasik: berbentuk persegi, terbuat dari balok kayu dan batang pohon tua, serta ditopang oleh tiga pilar utama di ruang dalam.

Bangunan ini mampu menampung hingga 3.000 jemaah. Ketiga sayap ruang salatnya memanjang selebar 30 kaki dan setinggi 50 kaki, menjadikannya cukup luas untuk ukuran kawasan padat Kota Tua.

Menara masjid—berbentuk persegi dan menjulang setinggi 15 meter—dibangun pada 1465 dan diperbarui di masa Sultan Abdul Majid I dari Dinasti Utsmaniyah.

Saat memasuki kompleks masjid, pengunjung akan menaiki 11 anak tangga menuju pelataran terbuka yang dihiasi tanaman anggur dan bunga.

Interior masjid ditandai dengan kesederhanaan. Tiga kubah silang menaungi ruang salat, sementara mimbar dan mihrab dibiarkan tanpa ornamen berlebihan.

Mihrab masjid menyimpan prasasti batu bertulis, menandai tahun pendirian masjid dalam bentuknya saat ini, yaitu 589 H.

Pada tahun 1970-an, dinding dalam masjid dipasangi batu ukir untuk mencegah kelembapan, dan sebuah perpustakaan kecil ditambahkan, memuat ratusan kitab Islam, sejarah, dan bahasa Arab.

Di dalam kompleks masjid juga terdapat teks piagam Al-‘Uhdah Al-‘Umariyah atau Perjanjian Umar, yang menjadi dasar hubungan damai antara umat Muslim dan Kristen di Yerusalem setelah penaklukan.

Simbol toleransi yang terganggu

Kendati menjadi simbol toleransi dan keberagaman, Masjid Umar tidak luput dari gangguan dan kekerasan.

Pada 21 Agustus 1969, masjid ini turut terbakar akibat aksi pembakaran disengaja terhadap Masjid Al-Aqsa oleh ekstremis Yahudi asal Australia, Dennis Michael Rohan. Api menjalar hingga ke bagian Masjid Umar, merusak sebagian bangunannya.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular