Sejumlah surat kabar dan media internasional menyoroti kondisi kemanusiaan yang kian memprihatinkan di Jalur Gaza.
Salah satunya, harian Financial Times, mengangkat kesulitan besar yang dihadapi para pelajar dan siswa sekolah dalam upaya kembali ke sistem pendidikan yang normal untuk pertama kalinya dalam lebih dari 2 tahun terakhir.
Surat kabar asal Inggris itu mengingatkan bahwa institusi pendidikan termasuk di antara korban terbesar dari perang Israel di Gaza.
Sekolah-sekolah yang tidak rata dengan tanah akibat pengeboman kini justru berubah fungsi menjadi tempat perlindungan dan pusat penampungan bagi warga yang mengungsi.
Financial Times mencatat, para pelajar dan siswa hidup dalam situasi yang sangat menyedihkan sehingga hampir mustahil bagi mereka menjalani proses belajar yang lancar.
Gangguan jaringan internet dan pasokan listrik yang terus-menerus, ketiadaan ruang belajar yang layak bahkan di lingkungan rumah.
Hingga keterpaksaan banyak anak untuk bekerja demi membantu memenuhi kebutuhan hidup keluarga mereka yang hancur, menjadi penghalang utama bagi keberlangsungan pendidikan.
Dalam konteks yang sama, sebuah artikel di majalah Foreign Affairs memperingatkan bahaya normalisasi kondisi tragis yang tengah berlangsung di Gaza hingga menjadi realitas permanen.
Artikel tersebut menggambarkan kemungkinan Gaza terus berada dalam situasi serangan Israel yang terbatas namun bersifat kronis dan berkepanjangan.
Majalah itu menjelaskan bahwa gencatan senjata memang telah meredakan intensitas pertempuran serta membuka jalan bagi masuknya bantuan kemanusiaan secara terbatas.
Namun, langkah tersebut belum diikuti dengan terbukanya cakrawala politik yang jelas maupun proses rekonstruksi yang nyata.
Artikel Foreign Affairs juga menyoroti dalamnya perbedaan politik dan keamanan antara Hamas dan Israel yang hingga kini menghambat tercapainya kemajuan berarti.
“Dengan terus berlanjutnya kekerasan sporadis dan menurunnya perhatian internasional, terdapat risiko nyata menguatnya sebuah realitas rapuh jangka panjang, di mana Gaza dikelola melalui krisis demi krisis, bukan melalui solusi, tanpa kemajuan menuju perdamaian yang berkelanjutan maupun pembangunan yang sesungguhnya,” sebutnya.
Sementara itu, harian Le Monde dari Prancis melaporkan bahwa hanya tersisa waktu satu pekan bagi puluhan organisasi nonpemerintah internasional untuk mengetahui apakah Israel akan mengizinkan mereka melanjutkan operasinya di Gaza atau tidak.
Surat kabar tersebut menyebutkan bahwa Israel tengah mengubah prosedur dan persyaratan kerja bagi organisasi kemanusiaan internasional di wilayah itu.
Meskipun organisasi-organisasi tersebut telah lama beroperasi di Gaza dengan persetujuan otoritas Israel.
Dalam sebuah pernyataan bersama yang diterbitkan pekan lalu oleh lebih dari 200 organisasi internasional dan Palestina, badan-badan PBB kembali menegaskan bahwa dikeluarkannya organisasi-organisasi kemanusiaan tersebut akan berdampak sangat fatal.
Dampak itu terhadap layanan dasar yang dibutuhkan sekitar dua juta warga Palestina yang hidup di tengah kehancuran dan banjir.
Seruan larangan ekspor senjata
Dari Inggris, surat kabar The Times melaporkan adanya surat terbuka yang ditandatangani empat mantan perwira tinggi Angkatan Darat Inggris dan ditujukan kepada pemerintahan Perdana Menteri Keir Starmer.
Dalam surat tersebut, mereka mendesak agar Inggris memberlakukan larangan penuh terhadap ekspor senjata ke Israel.
Para mantan perwira itu menegaskan bahwa gencatan senjata yang rapuh di Gaza tidak dapat dijadikan alasan untuk memulihkan hubungan militer antara Inggris dan Israel. Mereka juga menyerukan pengetatan sanksi terhadap Israel.
Selain itu, mereka menuntut penghentian keterlibatan perwira Israel dalam program pendidikan dan pelatihan militer di Inggris, serta meminta agar seluruh bentuk pertukaran kunjungan militer antara kedua negara dihentikan.


