Saturday, November 1, 2025
HomeBeritaMedia internasional: Timur Tengah baru hanyalah ilusi

Media internasional: Timur Tengah baru hanyalah ilusi

Sejumlah media internasional menyoroti dinamika terbaru di Timur Tengah yang, menurut para analis, tidak akan terbentuk ulang seperti yang diimpikan Israel.

Di sisi lain, media lain menyoroti kegagalan komunitas internasional yang membuat krisis kemanusiaan di Sudan semakin memburuk.

Dalam sebuah tulisan di Foreign Affairs, Mark Lynch menyebut gagasan tentang “pembentukan Timur Tengah baru” tak lebih dari “ilusi politik”.

Ia menilai bahwa kepentingan Amerika Serikat (AS) di kawasan ini berbeda jauh dengan kepentingan Israel.

“Washington tidak akan mampu sepenuhnya mengadopsi kebijakan Tel Aviv,” tulisnya.

Ia juga menegaskan bahwa Israel harus menyadari bahwa keunggulan militernya tidak cukup untuk menciptakan tatanan baru di kawasan, justru menjadikannya ancaman bagi banyak negara di sekitarnya.

Lynch juga menyoroti bahwa penghancuran Jalur Gaza dan dorongan untuk mencaplok Tepi Barat telah menggugurkan seluruh upaya menuju solusi damai yang dapat melahirkan negara Palestina merdeka.

Di Israel sendiri, harian Haaretz menulis bahwa Partai Likud yang dipimpin Perdana Menteri Benjamin Netanyahu—yang kini menjadi buronan Mahkamah Pidana Internasional—telah berubah menjadi partai kaum religius Yahudi.

Likud, tulis Haaretz, kini sepenuhnya bergantung pada dukungan kelompok Haredi baik dalam pemilihan internal maupun dalam koalisi pemerintahan demi mempertahankan kekuasaan.

Artikel itu menyoroti bagaimana para menteri menghadiri berbagai kegiatan keagamaan dan mengimplementasikan agenda kelompok ultraortodoks.

Sementara kebijakan publik dan anggaran negara diarahkan untuk kepentingan keagamaan yang sempit dan bertentangan dengan nilai-nilai Zionisme awal.

Dari Lebanon, Wall Street Journal menyoroti kerumitan upaya perlucutan senjata Hizbullah.

Menurut laporan itu, kelompok tersebut masih memiliki basis dukungan masyarakat yang kuat.

Kini tengah kembali ke struktur organisasi yang lebih terdesentralisasi—mirip dengan cara kerjanya pada dekade 1980-an.

Mengutip pejabat intelijen Arab, koran itu menulis bahwa Hizbullah tidak merasa kalah meski menghadapi gempuran militer, dan meyakini dapat membangun kembali kekuatannya.

“Kelompok ini yakin bisa bertahan dan menyesuaikan diri,” demikian laporan Wall Street Journal.

Dunia yang mengecewakan satu generasi

Sementara itu, kolumnis The Washington Post Ishaan Tharoor menulis bahwa perang di Sudan telah memasuki fase yang “menggentarkan.”

Ia menuding bahwa pemerintahan Presiden Donald Trump (dalam konteks analisis retrospektif) tidak melakukan banyak hal untuk menghentikan perang.

Hal itu karena penyelesaian krisis kemanusiaan terbesar di dunia “tidak pernah menjadi prioritasnya.”

“Pemerintahan itu lebih tertarik pada kesepakatan cepat dan momen foto,” tulis Tharoor.

Ia menambahkan, konflik Sudan tidak memiliki solusi sederhana, dan hal itu justru membuat perang terus meluas.

Akibatnya menewaskan puluhan ribu orang, mengusir jutaan warga, serta melahirkan kekejaman tanpa pertanggungjawaban.

“Dunia telah mengecewakan satu generasi,” tulisnya menutup artikel tersebut.

Koran The Times juga melaporkan hasil analisis citra satelit yang mengungkap terjadinya pembunuhan massal di Kota Al-Fashir, setelah wilayah itu jatuh ke tangan Pasukan Dukungan Cepat (RSF).

Laporan itu menyebut bahwa organisasi kemanusiaan mendesak pembukaan koridor aman bagi warga sipil yang terperangkap dan penyaluran bantuan bagi para penyintas.

Ketua International Rescue Committee, David Miliband, memperingatkan bahwa “melihat hanya segelintir orang yang berhasil keluar dengan selamat seharusnya membuat dunia cemas.”

Ia menegaskan, dunia tidak boleh menutup mata terhadap babak baru horor kemanusiaan di Darfur.

 

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Terpopuler