Monday, July 28, 2025
HomeBeritaMedia Israel: Netanyahu perpanjang perang demi kepentingan politik

Media Israel: Netanyahu perpanjang perang demi kepentingan politik

Media-media Israel menyoroti laporan investigatif harian The New York Times yang menuding Perdana Menteri Benjamin Netanyahu memperpanjang perang di Gaza demi kepentingan politik pribadinya.

Investigasi tersebut, yang didasarkan pada dokumen pertemuan dan rekaman rahasia, menunjukkan bahwa Netanyahu lebih mementingkan kelangsungan kekuasaannya ketimbang nasib para sandera Israel yang ditahan oleh Hamas.

Pakar komunikasi strategis asal Israel, Haim Rubenstein, menanggapi laporan itu dengan mengatakan bahwa temuan tersebut tidak mengejutkan.

“Investigasi ini memang mengungkap rincian baru, tapi kesimpulannya sudah jelas sejak lama: Netanyahu menggagalkan sejumlah kesepakatan pertukaran sandera tanpa ragu,” ujar Rubenstein.

Ia menyebut, arah kebijakan Netanyahu sudah tampak sejak 9 Oktober 2023, hanya dua hari setelah serangan besar Hamas yang dikenal sebagai Operasi Thaufan Al-Aqsha.

Saat itu, Rubenstein masih menjadi anggota forum keluarga para sandera dan menyaksikan secara langsung bagaimana upaya untuk membebaskan para tawanan dihancurkan dari tingkat paling atas pemerintahan.

“Dari 41 sandera yang dipulangkan dalam keadaan tak bernyawa, berapa banyak sebenarnya yang bisa kembali hidup seandainya tidak ada intervensi dari kantor perdana menteri?” tanyanya.

Pengulangan skenario

Sementara itu, gejolak politik dalam koalisi pemerintahan terus berlanjut. Reporter urusan politik saluran publik Israel, Kan 11, Yara Shapira, melaporkan bahwa Menteri Keamanan Nasional Itamar Ben Gvir kemungkinan besar akan kembali memainkan skenario lama.

Yaitu, mundur sejenak dari koalisi, lalu kembali bergabung demi menjaga pengaruhnya.

Di sisi lain, Menteri Keuangan Bezalel Smotrich dan kelompok sayap kanan nasionalis religius kini menjadi poros kunci dalam koalisi.

Dalam beberapa pertemuan tertutup, muncul wacana agar mereka mengundurkan diri dari jabatan menteri, namun tetap mendukung koalisi dari luar, guna menekan Netanyahu tanpa menjatuhkan pemerintahannya.

Di tengah ketidakpastian politik ini, jurnalis The New York Times dan Yedioth Ahronoth, Ronen Bergman, menyampaikan kabar buruk terkait jalannya negosiasi.

Menurutnya, pembicaraan mengenai gencatan senjata dan pertukaran sandera tidak menunjukkan kemajuan berarti.

“Masalah utama tetap pada peta penarikan pasukan yang diajukan Israel. Meski ada sedikit fleksibilitas dari pihak Israel, Hamas masih menolaknya,” ujarnya.

Di tengah kebuntuan politik dan diplomasi, suara publik Israel justru menunjukkan arah yang lebih tegas.

Hasil jajak pendapat yang dirilis Kanal 12 menunjukkan bahwa 74 persen responden menghendaki pembebasan seluruh sandera secara sekaligus dan mendesak agar perang segera diakhiri.

Namun, ketika publik ditanya mengapa Netanyahu bersikeras membagi kesepakatan menjadi beberapa tahap, separuh responden menilai motifnya bersifat politis.

Kurang dari sepertiga yang percaya bahwa alasannya bersifat keamanan nasional.

Seorang mantan pemimpin gerakan kanan Israel bahkan menyampaikan kritik keras terhadap cara pemerintah menangani isu sandera.

Ia menyebut, bila pemerintah benar-benar memegang kendali, mestinya mereka membebaskan para sandera yang paling vokal terlebih dahulu untuk meredam tekanan publik.

“Semua kekacauan ini sebenarnya bisa dihindari seandainya pemerintah sejak awal memilih jalur kesepakatan menyeluruh ketimbang memainkan taktik penundaan dan kalkulasi politik,” pungkasnya.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular